Rangkaian gerakan nasionalis di masa pra-kemerdekaan membuat kaum terpelajar kita percaya bahwa "sejarah" adalah resultan dari implementasi maksud-maksud yang disadari. Ide kemerdekaan-otonomi, kesempatan, peluang, keterbukaan-menjadi aset nasional yang sama nilainya dengan humus di permukaan tanah pulau-pulau. Namun lapisan teratas tanah terbuka untuk erosi. Ia memerlukan usaha pencegahan yang relevan dan konsisten.
Maka perlu disadari sejarah merupakan pula sebuah "cerita" tentang yang tak terduga dan aneka kelalaian. Yang sering tak terduga adalah kelalaian. Akibatnya, hukum kedua termodinamika punya analogi: sistem sosio-politik kita cenderung kian merosot ke entropi. Ia semakin efektif karena masyarakat kita berkembang jadi medan kekuatan-kekuatan impersonal yang menyuburkan pertumbuhan individualisme bawaan kapitalisme liberal dari pembangunan ekonomi teknokratis.
Padahal, kemerdekaan nasional terwujud berkat dedikasi orang-orang, di antaranya relatif muda, yang melampaui pertimbangan individualisme. Ongkos mahal kemerdekaan mereka bayar dengan nyawa yang tak ternilai dalam kehidupan pribadi. Lalu apakah bangsa ini, Indonesia, yang begitu didambakan dan begitu diabdi, dapat bertahan? Jawabannya tergantung, antara lain, pada "siapa" kita ini, pada "pengertian bangsa", pada apa yang dimaksud dengan "bertahan" (
Ketika perang revolusioner di Amerika kian mendesak, Jenderal George Washington memberi perintah pada pasukannya (30/4/1777), "
Sewaktu pra-merdeka muda-mudi kita bersumpah "kami bertanah-air satu", natur arsipelago Indonesia ketika itu masih berupa suatu lokalitas fisik dan berpenduduk. Ketika di masa pasca merdeka kita menyatakan diri suatu bangsa yang merdeka, natur negeri kepulauan ini bukan lagi sekadar berupa substansi fisik. Hotel adalah sebuah lokalitas fisik dan eksistensinya memerlukan penghuni (penduduk). Negara-Bangsa merdeka bukan lokalitas fisik dan tak butuh penduduk, tetapi warga negara, personalitas yang tak hanya "
Jika hanya berdasarkan konvensi, tanpa rujukan pada natur, ia berpijak pada opini yang menentukan konvensi. Bila opini berubah-secara luas meliputi kebiasaan, norma, adat istiadat-konvensi akan berubah, disusul hak. Demikian pula karakter dan kejiwaan warga negara. Berhubung kewarganegaraan adalah suatu
Bagi orang atau orang-orang seperti ini, Tanah Air dihayati dalam term fisik, bumi tempat berpijak serta menggali rezeki dan dalam term formal, entitas politik dan ketatanegaraan yang memberikan mereka identitas serta status manusia merdeka, tetapi tidak merunut term mental, yang mengharapkan dari mereka kesediaan senasib-sepenanggungan dengan Tanah Air, kerelaan berkorban demi preservasi harkat dan martabat Negara-Bangsa. Harta galian dari bumi Indonesia mereka tumpuk dan putar di negeri lain, menciptakan lapangan kerja di sana.
Politikus dan negarawan
Parpol perlu waspada agar tak menjadi kumpulan kaum oportunis. Para politikus boleh saja membina dirinya menjadi profesional di bidang politik, namun sungguh tak layak bila mereka lalu membuat kerja politik menjadi sumber kekayaan dan pelesiran. Apakah mereka tak risi menerima "gaji" yang jauh lebih besar daripada penghasilan rata-rata orang yang mereka wakili ditambah aneka fasilitas kerja yang tak pernah diminta persetujuannya lebih dulu dari publik. Begitupun masih jelalatan cari proyek. Kini organisasi mereka, parpol, malah diberi subsidi. Mengapa dana itu tak disalurkan saja ke bidang pendidikan yang kerjanya jelas membangun masa depan Indonesia. Ternyata pemerintah tak punya
Kader parpol berusia muda perlu sadar tak akan selamanya jadi generasi muda. Satu waktu mereka harus bisa dewasa, berani mengambil alih pimpinan partai dari politikus senior yang selalu mau berkuasa, membangun dinasti politik keluarga berdasarkan keturunan, keuangan. Yang korup bukanlah kekuasaan
Jadi politikus seharusnya bukan ideal "generasi dewasa", tetapi negarawan. Politikus adalah negarawan yang membuat Negara-Bangsa mengabdi pada dirinya, termasuk kepentingan primordial kelompoknya. Negarawan adalah politikus yang membuat dirinya pengabdi Negara-Bangsa dan rakyat. Rakyat tetap ingin diperintah para arifin. Publik mendambakan elite berkarakter dan berprestasi berekam jejak jelas. Namun karakter nasional adalah suatu substansi riil, dibentuk sebagian oleh hukum dan politik, pasti tak terbuat dari marmer. Premis tata kepartaian kita justru tak melayani harapan ideal itu. Anggota legislatif asyik menyusun kekuatan, berkoalisi, dengan tujuan menjegal pemerintah agar politikus dan parpol yang menguasai eksekutif gagal memberikan yang terbaik bagi rakyat. Tujuan utama mereka memenangi pemilu berikutnya, bukan kebahagiaan umum rakyat.
Besar namun lemah
Negara adalah bangsa terorganisasi. Kerjanya yang kian kompleks urusan pemerintah. Maka diperlukan opini publik guna mencerahkan kompleksitas itu. Ada tulisan pribadi, atentif, dan serius di rubrik opini dan ruang pembaca media cetak, namun tak ditanggapi sebagai opini publik oleh pemerintah yang dipagari aneka lapisan dari
Akibatnya, saksikan saja kondisi pemerintah yang berlaku. Ia besar (kabinet berkementerian banyak), tetapi tidak kuat; mampu memberi, tetapi tidak memimpin, kedodoran. Kondisi ini sebagian karena degradasi dogma demokratis. Ia jadi begitu jelas oleh kenyataan bahwa kini tidak ada pujian yang lebih tinggi daripada ucapan bahwa pemerintah atau pejabat adalah responsif. Namun suatu pemerintahan yang keresponsifannya berupa suatu obsesi, cenderung tak mampu memimpin, lebih-lebih kalau sikap itu berupa
Kemampuan sejati pemimpin adalah bisa mengatakan kepada rakyat apa-apa yang mereka butuhkan sebelum mereka menyadarinya sendiri.
Pemerintah keliru ketika memercayakan program kerja kabinet pada kepakaran atau spesialisasi. Spesialisasi ada di kabinet, di staf kepresidenan, di administrasi pemerintahan. Sistem pendidikan pun terus membanjiri pemerintahan dengan alumni yang kian spesialistis. Progres memang butuh spesialisasi. Namun spesialisasi mengabaikan banyak hal yang diniscayakan. Kenyataan ini membahayakan progres dan, akhirnya, peradaban yang adalah rajutan keragaman ide yang khas dan unik. Perlu kesadaran tentang ranah intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah kontemporer.
Sidang kabinet perlu sesekali mengadakan diskusi serius tentang ide politik. UUD '45 dan semua dokumen politik yang terkait, di antaranya Pancasila, merupakan suatu
Pemerintah Indonesia yang demokratis perlu bertindak sebagai tutor dan pelayan bagi rakyat. Bila ia lalai melakukannya, berarti berutang kebajikan kepada mereka. Mengingat kewarganegaraan adalah suatu
Konsep pembangunan ini sudah dimuat di harian ini. Kalau ia disimak dengan teliti akan terbayang efek-efek pancasilais dalam tata kehidupan sehari-hari tanpa menyebut eksplisit terkait dengan sila mana. Bahkan ada efek lain berupa kebijakan yang cukup komprehensif. Jadi aksi pembangunan ini laksana sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampau. Ini memang baru suatu gambaran imajiner, bukan riil, tetapi teorinya
Pancasila ternyata bisa berlaku dalam kondisi kekinian. Negara-Bangsa tak seharusnya dianggap sebagai tak lebih baik daripada persepakatan dalam perdagangan cengkeh, kelapa sawit, dan konsen rendahan lainnya. Negara-Bangsa perlu ditanggapi melalui referensi yang berbeda karena ia bukan suatu kemitraan usaha yang tunduk hanya pada kehidupan makhluk yang bersifat temporal dan bisa lapuk. Ia satu kemitraan dalam semua ide keilmuan dan filosofis, dalam semua kiat, dalam segala nilai dan kebijakan, dalam setiap perfeksi. Maka ia diniscayakan jadi kemitraan di kalangan intelektual, warga negara yang telah mengenyam pendidikan relatif cukup berkat kemerdekaan.
Dalam mengusahakan perbaikan peradaban human, landasan berpijak tak hanya sulit didapat, tetapi juga sulit dipertahankan. Pancasila dapat, asal kita tak munafik, diandalkan menjadi
DAOED JOESOEF ALUMNUS UNIVERSITÉ PLURIDISCIPLINAIRES PANTHÉON-SORBONNE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar