Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 08 April 2015

Politik Begal (TULUS SUDARTO)

Terjadinya cooling down antara KPK dan Polri dalam rangka besar pemberantasan korupsi sejenak menyisakan keganjilan dan perasaan waswas. Jangan-jangan ada sebuah kekuatan besar di balik layar yang bersifat do or die.

Joko Widodo dalam kapasitas sebagai presiden mungkin diam-diam sedikit melunak, entah berapa persen dan untuk berapa lama, demi perkembangan yang lebih besar.

 Tulisan ini tidak hendak menyediakan suatu spekulasi apa pun, entah mengenai probabilitas deal politik ataupun kekhawatiran mengenai kembalinya kekuatan-kekuatan koruptif karena melemahnya kredibilitas KPK sebagai mercusuar anti korupsi. Lebih umum, ada suatu tampilan behavioristic yangself-evident bahwa Indonesia tidak punya tampang demokrasi.

 Adalah Rene Girard, filsuf Amerika kelahiran Perancis, yang meneliti suatu strukturalisasi pembentukan identitas sosial melalui mekanisme pengambinghitaman (scapegoating mechanism). Suatu ikatan, baik personal maupun sosial, tidak melulu berdasarkan motif mulia, tetapi oleh karena kepentingan temporal yang muncul dari rasa tidak aman terhadap pihak lain. Pihak ketiga ada dan bisa diciptakan, mengacu mereka yang dipandang berbeda atau lebih maju dibandingkan dengan kelompoknya.

 Girard menyebut teori utamanya sebagai mimesis. Dari mimesis, muncul mekanisme kebencian terhadap pihak lain yang tersistem dalam sebuah kepentingan yang sama. Seseorang menjadi teman, bukan saja pertama-tama karena punya hobi sama, tetapi lebih-lebih karena punya musuh yang sama.

 Dalam cara pandang Girard inilah, stagnasi perkembangan bangsa Indonesia merupakan takdir abadi. Indonesia sulit maju (a fallen nation) bukan karena kekurangan sumber daya atau minim kerja keras, melainkan karena kuatnya mekanisme jegal-jegalan politik tersebut.

 Kasus antara KPK dan Polri secara diametral sudah valid sebagai bukti sahih perilaku politik jegal-jegalan tersebut, baik secara diakronis maupun sinkronis. "Diakronis" berarti secara keseluruhan jegal-jegalan politik itu terjadi dari dulu, sekarang, dan seterusnya tetap seperti itu. "Sinkronis" berarti tekstur politik semacam ini ada di semua bidang dan di setiap institusi politik, baik tingkat nasional maupun lokal-regional. Cerita keterpecahan partai politik secara internal sudah menjadi nujum bawaan, persis sejak berdirinya partai-partai tersebut.

Kultur otoritatif

Girard mungkin neo-Aristotelian. Apa yang ia utarakan nyaris mirip teori Aristoteles mengenai mobs rule. Sesuatu yang sebetulnya tidak normatif dan salah secara moral in se, oleh kekuatan massa yang kontinu dan serentak, bisa menjadi norma bersama per se. Kekuatan massal ini mengubah apa yang bukan norma menjadi suatu yang sangat normal. Karena diyakini sebagai sesuatu yang normal, secara gradual menjadi norma bersama. Kuantifikasional bersifat determinatif dalam pembangunan kesepahaman kolektif.

 Tidak heran, kriminalisasi terhadap KPK seperti narasi kecapaian bangsa ini dalam memercayai suatu institusi ataupun seorang figur "Rambo" yang bisa membawa perubahan dan perbaikan. Sentimentalisme adanya tokoh-tokoh yang suci dari korupsi adalah sebuah kenaifan, kalau bukan utopia. Indonesia tidak punya santo dalam bidang anti korupsi.

 Kecenderungan dasar untuk meniru (mimesis) baik secara institusional maupun personal telah diterjemahkan secara kontra produktif sebagai brutalisme. Dalam istilah permainan tradisional khas anak-anak, barji barbeh:bubar siji bubar kabeh. Seorang anak yang mengambek dalam permainan gobak sodor otomatis akan menyebabkan seluruh permainan mandek. Dalam rebutan layang-layang putus, lebih baik layang-layang dirusak daripada jatuh ke satu anak, entah bagaimana caranya dan apa pun risikonya.

 Banyaknya orang pintar dalam perpolitikan di negara ini lebih sebagai kutuk daripada berkah. Demokrasi menjadi liar karena tidak ada lagi hierarki, baik menyangkut kebenaran maupun otoritas. Semua pihak selalu mengklaim diri sebagai yang paling benar dan yang paling sah.

 Demokrasi tanpa hierarki ekuivalen dengan "begalisme" politik. Kebrutalan filosofis dalam begalisme politik telah menjadi hambatan hermeutis yang sangat serius. Tidak adanya respek terhadap otoritas menjadi dosa asal dalam kultur perpolitikan Indonesia.

 Suatu negara bisa maju karena kerasnya membendung brutalisme politik dalam level primer. Meskipun sedemikian tajam perbedaan antarkubu, akhirnya keputusan, tetapi dibuat berdasarkan otoritas. Respek terhadap otoritas memang tidak sekadar bualan moral, tetapi sangat institusional.

 Di Amerika, contohnya, Anda sangat gampang menemukan anak yang dihinggapi rasa bersalah yang sedemikian kuat, bahkan ketika berbeda pendapat dengan orangtua, belum sampai tahap berselisih paham (arguing). Kita juga spontan pasti menertawakan, kok, sudah remaja berumur 14 tahun harus tetap minta izin dulu ketika hendak mengambil makanan di rumah nenek.  Istilah kasarnya, setiap jengkal tanah ada dalam otoritas tertentu. Respek terhadap otoritas adalah harga mati karena menyangkut identitas dan martabat sebagaimana diutarakan oleh Girard.

 Politik tanpa adanya kultur otoritatif sama saja definisi yang melawan dirinya sendiri. Arguing tidak lagi dilakukan secara nalar, tetapi melalui kekuatan-kekuatan fisik dan massal. Amarah, gertakan, umpatan, mafia, serangan verbal, dan tindakan ofensif, baik secara personal maupun institusional, semuanya mencirikan model kampungan pola komunikasi politik.

 Memang selalu menjadi kubu minoritas, yang lama-lama terancam punah, mereka yang sungguh berminat pada Indonesia sebagai bangsa. Kelompok minoritas ini selalu kalah oleh ulah kelompok besar yang kasar dan srudak-sruduk tanpa sungkan.

 Akhirul, begal ternyata bukan hanya di jalanan sepi, melainkan juga secara terang-terangan dan brutal ada di berbagai institusi primordial yang celakanya masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Politik memang kotor, apalagi ditambah para begal politik.

 Wallahu'allam.

TULUS SUDARTO,ROHANIWAN, MENETAP DI LOS ANGELES

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Politik Begal".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger