Joko Widodo dalam kapasitas sebagai presiden mungkin diam-diam sedikit melunak, entah berapa persen dan untuk berapa lama, demi perkembangan yang lebih besar.
Tulisan ini tidak hendak menyediakan suatu spekulasi apa pun, entah mengenai probabilitas
Adalah Rene Girard, filsuf Amerika kelahiran Perancis, yang meneliti suatu strukturalisasi pembentukan identitas sosial melalui mekanisme pengambinghitaman (
Girard menyebut teori utamanya sebagai mimesis. Dari mimesis, muncul mekanisme kebencian terhadap pihak lain yang tersistem dalam sebuah kepentingan yang sama. Seseorang menjadi teman, bukan saja pertama-tama karena punya hobi sama, tetapi lebih-lebih karena punya musuh yang sama.
Dalam cara pandang Girard inilah, stagnasi perkembangan bangsa Indonesia merupakan takdir abadi. Indonesia sulit maju (
Kasus antara KPK dan Polri secara diametral sudah valid sebagai bukti sahih perilaku politik jegal-jegalan tersebut, baik secara diakronis maupun sinkronis. "Diakronis" berarti secara keseluruhan jegal-jegalan politik itu terjadi dari dulu, sekarang, dan seterusnya tetap seperti itu. "Sinkronis" berarti tekstur politik semacam ini ada di semua bidang dan di setiap institusi politik, baik tingkat nasional maupun lokal-regional. Cerita keterpecahan partai politik secara internal sudah menjadi nujum bawaan, persis sejak berdirinya partai-partai tersebut.
Kultur otoritatif
Girard mungkin neo-Aristotelian. Apa yang ia utarakan nyaris mirip teori Aristoteles mengenai
Tidak heran, kriminalisasi terhadap KPK seperti narasi kecapaian bangsa ini dalam memercayai suatu institusi ataupun seorang figur "Rambo" yang bisa membawa perubahan dan perbaikan. Sentimentalisme adanya tokoh-tokoh yang suci dari korupsi adalah sebuah kenaifan, kalau bukan utopia. Indonesia tidak punya santo dalam bidang anti korupsi.
Kecenderungan dasar untuk meniru (
Banyaknya orang pintar dalam perpolitikan di negara ini lebih sebagai kutuk daripada berkah. Demokrasi menjadi liar karena tidak ada lagi hierarki, baik menyangkut kebenaran maupun otoritas. Semua pihak selalu mengklaim diri sebagai yang paling benar dan yang paling sah.
Demokrasi tanpa hierarki ekuivalen dengan "begalisme" politik. Kebrutalan filosofis dalam begalisme politik telah menjadi hambatan hermeutis yang sangat serius. Tidak adanya respek terhadap otoritas menjadi dosa asal dalam kultur perpolitikan Indonesia.
Suatu negara bisa maju karena kerasnya membendung brutalisme politik dalam level primer. Meskipun sedemikian tajam perbedaan antarkubu, akhirnya keputusan, tetapi dibuat berdasarkan otoritas. Respek terhadap otoritas memang tidak sekadar bualan moral, tetapi sangat institusional.
Di Amerika, contohnya, Anda sangat gampang menemukan anak yang dihinggapi rasa bersalah yang sedemikian kuat, bahkan ketika berbeda pendapat dengan orangtua, belum sampai tahap berselisih paham (
Politik tanpa adanya kultur otoritatif sama saja definisi yang melawan dirinya sendiri.
Memang selalu menjadi kubu minoritas, yang lama-lama terancam punah, mereka yang sungguh berminat pada Indonesia sebagai bangsa. Kelompok minoritas ini selalu kalah oleh ulah kelompok besar yang kasar dan
Akhirul, begal ternyata bukan hanya di jalanan sepi, melainkan juga secara terang-terangan dan brutal ada di berbagai institusi primordial yang celakanya masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Politik memang kotor, apalagi ditambah para begal politik.
Wallahu'allam.
TULUS SUDARTO,ROHANIWAN, MENETAP DI LOS ANGELES
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Politik Begal".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar