Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 04 April 2015

RENUNGAN PASKAH: Keluar dari Lubang Kematian (MGR ANTONIUS SUBIANTO B OSC)

Rupanya saat ini banyak orang mengalami "kematian" pada saat masih hidup. Kematian (semu) tersebut terjadi karena berbagai penyakit, entah fisik, psikis, sosial, moral, maupun spiritual.

Orang serasa didakwa mati dengan diagnosis penyakit kanker atau HIV/AIDS. Orang menjadi tidak berdaya saat menemui kegagalan dan kebangkrutan. Orang kian tak bersemangat ketika usahanya ditebas oleh kecurangan dan ketidakadilan.

Orang merasa putus asa sewaktu perjuangannya untuk mengungkap kebenaran justru dipelintir dan diputarbalikkan. Orang mengalami hidup tiada makna saat menyaksikan dirinya berkubang dosa dan bergelimang sengsara. Dalam situasi tersebut, mereka bisa menjadi apatis dan pesimistis. "Percuma! Tak ada gunanya berbuat baik. Untuk apa hidup?" Itulah teriakan seorang yang mati saat masih hidup.

Situasi seperti itu dialami para murid Yesus setelah menyaksikan gurunya yang dengan penuh wibawa telah berbicara kejahatan. Cinta dibalas benci. "Untuk apa semua ini? Sia-sia! Lebih baik mati saja." Hidup menjadi pekat dan gelap. Para murid mengalami kematian sekalipun masih hidup.

Setiap hari kita menyaksikan berita media cetak dan elektronik tentang kejadian yang bisa menyebabkan orang mati selagi masih hidup. Tak ada satu hari pun yang bebas dari berita tentang kejahatan finansial, sosial, legal, atau moral yang menyebabkan entah kematian riil ataupun semu. Untuk memperkaya diri, orang melanggar sumpah jabatan yang diucapkan di depan tokoh agama dan Kitab Suci-nya. Para koruptor tak takut kepada Tuhan, tak malu kepada sesama, dan tak peka pada rasa keadilan.

Di situ sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) tak berbunyi bagi para koruptor.

Karena gengsi dan posisi kelompoknya, orang tega menyingkirkan dan menghabisi kelompok lain hanya karena alasan perbedaan. Maka, tindak kekerasan dan kesewenang-wenangan terhadap kelompok etnis, agamais, atau politis tertentu pun masih terjadi di negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika dengan silanya yang ketiga, yaitu Persatuan Indonesia.

Demi kepentingan politik karena dikuasai nafsu pangkat dan jabatan, orang mengkhianati suara hati dengan mempermainkan hukum: yang benar menjadi salah dan yang salah dianggap saleh. Maka, benar dan salah pun tidak mutlak ditentukan oleh evaluasi legal dan penilaian moral, tetapi dipengaruhi perintah "Bapak" atau "Ibu".

Di situ menang dan kalah pun ditentukan oleh diplomasi politik dan supremasi partai. Apakah hal itu berarti sila keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan) telah berlalu?

Agar naiknya pencitraan sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, orang pun mengabaikan sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab).

Maka, hukuman mati yang tak beradab itu pun tetap dilaksanakan di negara yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pemilik kehidupan, sekalipun sudah ada banyak pembicaraan diplomatis, pendekatan personal, petuah moral, dan nasihat spiritual untuk tidak menerapkan hukuman mati.

Hal-hal tersebut bisa membuat orang, pemerintah, pelayan sosial, serta tokoh masyarakat dan agama yang berkomitmen baik untuk mewujudnyatakan Pancasila menjadi apatis dan pesimistis.

Penyangkalan diri

Ternyata Jumat Agung bukanlah akhir segalanya. Tiga hari kemudian terjadi Paskah. Yesus bangkit dari kematian; keluar dari lubang kubur. Para murid yang masih berada di dalam lubang kematian (putus asa dan tak bersemangat hidup) didatangi dan diembusi roh cinta oleh Yesus yang bangkit.

Bagi para murid, kebangkitan Yesus bukanlah sekadar ajaran dan pewartaan, melainkan terutama pengalaman pribadi. Para murid pun bangkit dari "kematian". Mereka berubah dari takut menjadi berani, dari curiga menjadi terbuka, dari hidup murung menjadi girang, dan dari egois menjadi altruis.

Mereka yang tadinya memikirkan dan mencari kepentingan sendiri kini menjadi pewarta kabar baik dan pelayan bagi sesama. Mereka yang tadinya takut mati hingga lari dan menyangkal diri kini menjadi berani membela kebenaran dan melakukan kebaikan.

Realitas yang bertentangan dengan Pancasila di atas menyebabkan orang baik dan benar serasa berada dalam lubang kematian. Akan tetapi, bagi orang yang percaya kepada Tuhan, kejahatan dan kematian bukanlah akhir segalanya. Peristiwa Paskah, yaitu keluarnya Yesus dari lubang kematian, meneguhkan kita yang berkehendak baik untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan negara serta meyakinkan kita bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan.

Indonesia perlu mengalami Paskah, yaitu keluar dari lubang kematian akibat praktik yang bertentangan dengan Pancasila. Warta Paskah mengundang semua orang yang berkehendak baik bukan untuk mengutuki keadaan gelap dan pekat, melainkan untuk menyalakan terang dan harapan melalui usaha-usaha kreatif dan liberatif.

Kita perlu diembusi semangat Paskah untuk berani bangkit dari situasi gelap apa pun dan ditiupi roh cinta agar mengasihi satu sama lain. Di situlah kita akan rela menyangkal diri untuk berbakti bagi bangsa dan negara yang lebih baik dengan terus mengutamakan perkataan serta perbuatan yang baik, benar, dan santun.

MGR ANTONIUS SUBIANTO B OSC, USKUP KEUSKUPAN BANDUNG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2015, di halaman 1 dengan judul "Keluar dari Lubang Kematian".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger