Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 02 April 2015

Strategi Industri Pengolahan dan Pemurnian (ANWAR NASUTION)

Industri primer, seperti pertanian, perikanan, dan pertambangan, adalah jantung dari perekonomian nasional saat ini.

Peranan industri primer sangat penting jika dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan pendapatan nasional, penciptaan lapangan pekerjaan, serta sumbangannya terhadap penerimaan pajak, non-pajak, dan penghasilan devisa. Oleh karena itu, masa depan perekonomian nasional sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dapat mengelola ketiga sektor tersebut secara profesional.

Kabar baik bagi dunia usaha, pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan sikap yang lebih kooperatif terhadap industri, khususnya pertambangan. Kelompok kerja (pokja) bentukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memantau kemajuan proyek pembangunan smelter menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita ekspor produk bernilai tambah.

Perlu kebijakan pendukung

Komitmen ini tentu harus ditindaklanjuti, bukan hanya dengan sikap dan jargon, melainkan juga dengan kebijakan yang mendukung terwujudnya amanat UU Mineral dan Batubara (Minerba) untuk melakukan pemurnian di dalam negeri sebelum ekspor. Pemerintah harus konsisten dalam mendukung industri untuk dapat mewujudkan UU Minerba, misalnya dengan kebijakan fiskal yang suportif serta lingkungan penyangga yang mendukung lahirnya industri pengolahan dan pemurnian nasional yang kuat.

Sebuah studi kasus dari konsep ekonomi Albert Hirschman, seorang ekonom pembangunan aliran populis dan penulis buku The Strategy of Economic Development. Hirschman menjelaskan dua mazhab ekonomi di negara berkembang, yakni kebijakan industrialisasi pengganti impor dan industri pengolahan sumber daya alam. Kedua aliran tersebut menekankan pada peningkatan investasi, perubahan struktural, dan peningkatan permintaan agregat di dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada mazhab yang pertama mengenai kebijakan industrialisasi pengganti impor, pemerintah melakukan pembatasan edaran barang konsumsi impor untuk mendorong konsumsi produk domestik. Kebijakan pembatasan ini dilakukan melalui tarif bea masuk yang tinggi, kuota, dan larangan impor terhadap produk tertentu. Adapun mazhab kedua menekankan pada pengolahan produk sumber daya alam di dalam negeri. Sebagai contoh, ide industri pengolahan dan pemurnian domestik diadopsi oleh negara-negara di Amerika Latin dan Afrika hingga tahun 1980-an.

Sebagai pembiayaan proyek pembangunan industri tersebut, negara harus meningkatkan pinjaman luar negeri, di samping membangun bank pembangunan (development bank). Bank pembangunan—nasional dan lokal—menjadi pilihan utama pembiayaan pada proyek pembangunan ekonomi jangka panjang melalui pendanaan jangka panjang, seperti penjualan obligasi. Pada akhirnya, kedua pendekatan ini menimbulkan beban utang yang sangat besar bagi negara, di samping inflasi yang tidak terkendali, efek berganda terjadi di level makro dan mikro.

Hal ini tentu mengingatkan kembali betapa krusialnya peran pemerintah dalam menyukseskan kebijakan pengolahan dan pemurnian mineral. Kembali pada konteks Indonesia, pada titik ini pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar, di antaranya mengenai ketersedian listrik, kesiapan infrastruktur, kebijakan fiskal yang suportif, sistem perbankan, sumber daya manusia (SDM), perizinan, dan kepastian hukum yang menjamin ruang gerak dunia usaha.

Isu pertama adalah mengenai terbatasnya ketersediaan listrik yang relatif ekonomis, stabil, dan dalam jumlah yang besar serta konsisten. Sebagai contoh, di Sumatera Utara, PT Inalum yang melakukan peleburan bijih bauksit dan aluminium dari pemasok Amerika Latin dan Australia. PT Inalum memanfaatkan sumber energi dari air terjun Asahan sehingga dapat beroperasi dengan skala ekonomi yang kompetitif.

Sebagai BUMN, PT Inalum cukup menunjukkan daya saing di tengah eksistensi global supply chains, di mana hasil produksi tambang dari satu negara dapat dileburkan atau dimurnikan di belahan dunia lain yang lebih bersifat padat karya dan mempunyai keunggulan kompetitif.

Kedua, pembangunan industri pemurnian tambang tentu harus didukung kesiapan infrastruktur. Pelabuhan dan ruas jalan yang memadai merupakan syarat mutlak industri pemurnian dapat beroperasi di Indonesia. Tanpa pelabuhan dan ruas jalan, tentu tidak ada "pintu masuk dan keluar" bagi mineral ke dan dari dalam pabrik pemurnian.

Selain isu infrastruktur, peran dominan pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal yang suportif dan menjaga kesehatan industri perbankan juga sangat dibutuhkan. Pemerintah harus menyusun kebijakan yang tidak memberatkan industri untuk berkembang, terlebih pada saat industri tersebut baru akan tumbuh. Di sisi lain, sistem perbankan yang stabil juga menjadi sistem penyangga yang sangat penting. Tanpa sistem keuangan yang sehat, industri smelter bukan tidak mungkin akan membawa dampak negatif terhadap stabilitas perekonomian nasional ke depannya.

Mesti konsekuen

Isu selanjutnya, SDM harus disiapkan sebaik-baiknya. Sebagaimana industri yang baru berkembang, dibutuhkan teknisi ahli dan penasihat untuk mempercepat proses transfer pengetahuan. Industri yang didukung oleh para ahli tentu akan memberikan keunggulan kompetitif lebih besar guna bersiap dalam menghadapi pasar persaingan bebas (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang sudah di depan mata.

Isu perizinan dan kepastian hukum pun selalu menjadi perhatian dunia usaha. Proses perizinan yang efektif dan efisien tentu akan mempercepat perkembangan pembangunan smelter. Begitu pula dengan kepastian hukum. Ketika pemerintah sudah berkomitmen untuk menegakkan hukum, persaingan sehat dapat tumbuh secara organik di industrismelter kelak.

Pada akhirnya, pemerintah tak dapat membiarkan dunia usaha berjuang sendiri untuk membangun sebuah industri baru. Sebagaimana perkembangan industri smelter di RRT, Jepang, Australia, Amerika Latin, dan Korea, pemerintah harus bekerja sama dengan industri untuk segera mewujudkan industri smelter dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional jangka menengah dan panjang, tanpa mengabaikan neraca perdagangan dan stabilitas ekonomi jangka pendek.

Pemerintah telah menyetujui perpanjangan izin ekspor PT Freeport Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus bertindak konsekuen dengan memberikan izin bagi perusahaan tambang lain yang mendukung program hilirisasi ini, baik perusahaan yang membangun smelter sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain.

ANWAR NASUTION, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Strategi Industri Pengolahan dan Pemurnian".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger