Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 April 2015

TAJUK RENCANA: Bahasa Kekerasan Dominan (Kompas)

Mengapa radikalisme dan kekerasan belakangan ini menjadi bahasa yang paling banyak digunakan untuk mengungkapkan kehendaknya.

Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Tiada hari tanpa berita kekerasan, baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun internasional. Bom bunuh diri terus berledakan di banyak negara, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebut saja, misalnya, di Somalia, Nigeria, Pakistan, Afganistan, Irak, dan Mali. Di negara-negara itu, serangan bom bunuh diri seperti menjadi "menu" harian.

Di belahan dunia lain, perang berbau sektarian, kesukuan, dan kelompok etnis juga banyak terjadi. Apa yang terjadi di Libya, Suriah, Irak, juga Yaman, adalah wajah dari bahasa kekerasan. Sementara itu, konflik yang sudah melintasi zaman—Israel dan Palestina—belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir.

Berita terakhir, kompleks kantor Kementerian Pendidikan di Somalia diserang pengebom bunuh diri. Somalia, negeri di tanduk Afrika ini, menjadi markas kelompok radikal Al-Shabab. Nigeria, misalnya, negara di Afrika barat, harus berjuang keras menghadapi kelompok Boko Haram, yang oleh banyak pihak dikategorikan sebagai kelompok teroris. Kelompok ini juga beroperasi di Chad, Niger, dan Kamerun. Menurut catatan, sejak tahun 2009 hingga 2014, mereka telah membunuh lebih dari 5.000 orang sipil.

Seperti itulah sebagian wajah buruk dunia kita sekarang ini di tengah kemajuan teknologi yang demikian pesat, persaingan politik global dan pertarungan ekonomi global yang sangat keras, dan merebaknya berbagai penyakit mematikan di banyak negara.

Ada bagian dunia yang sudah demikian maju dan beradab; tetapi pada saat yang sama masih ada bagian dunia, termasuk penduduknya, yang tertinggal dan kurang beradab karena lebih mengedepankan bahasa kekerasan untuk mewujudkan keinginannya ketimbang bahasa yang lebih menyejukkan, pendekatan yang lebih manusiawi.

Di tingkat nasional, kita juga menyaksikan, bahasa kekerasan lebih menonjol dan dominan, tidak hanya di tingkat bawah, tetapi juga di tingkat atas yang semestinya lebih bisa berpikir dan berperilaku berkeadaban. Kita juga menyaksikan manusia, sekelompok manusia, melenyapkan perbedaan dan merampas hak-hak individu. Kejahatan dan kekerasan menjadi bagian kehidupan sehari-hari, seolah merupakan pekerjaan administrasi rutin. Apakah manusia sudah kehilangan sifat kemanusiaannya?

Itulah realitas tragis yang kita hadapi sekarang ini. Padahal, kekerasan dan perang tidak pernah mendatangkan perdamaian. Untuk tingkat nasional, tentu pemerintah dituntut semakin berani dan tegas bertindak, sedangkan tingkat internasional menjadi tanggung jawab semua negara untuk bersama-sama melawan kekerasan dan radikalisme yang kini semakin menjadi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Bahasa Kekerasan Dominan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger