Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 April 2015

Bendungan Besar Versus Petani Kecil (IVAN HADAR)

Ke depan, demi swasembada pangan, Presiden Joko Widodo berjanji membangun 50 bendungan besar di seluruh Indonesia.

Banyak pihak menyambutnya dengan antusias. Peresmian pembangunan bendungan besar di Raknamo, misalnya, dinilai Gubernur NTT Frans Lebu Raya sebagai hadiah ulang tahun ke-56 provinsi yang sering dilanda kekeringan ini. Namun, di sisi lain, ada pula suara kritis. Setidaknya, dalam catatan sejarah dan pertimbangan ekonomi,  bendungan besar merangsang dan memprioritaskan pertanian skala besar sekaligus menggusur petani kecil dan merusak lingkungan. Hal ini yang terjadi pada konsep "Revolusi Hijau" di zaman Orde Baru. Waduk Kedung Ombo ketika itu, misalnya, bercerita tentang penenggelaman lahan subur, perusakan lingkungan, dan penggusuran petani kecil.

Padahal, berdasarkan temuan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO, 2005), kedaulatan pangan satu negara sebagian besar bertumpu pada produksi pertanian kecil multifungsi. Temuan ini berbeda dengan konsep lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan Global Donor Platform on Rural Development, yang lebih memprioritaskan pada agroindustri berorientasi pasar dunia dan berfungsi penyuplai jaringan supermarket global.

Pertanian kecil multifungsi memang tak melulu berdasarkan kalkulasi ekonomi, tetapi lebih pada ketahanan dan kedaulatan pangan lokal dan nasional, bertambahnya lapangan pekerjaan, serta merupakan bagian integral dari budaya dan kearifan lokal. Lebih dari itu, meski sering dituding mempromosikan romantisisme small is beautiful, berbagai studi menunjukkan, lokasi yang pas, cara berproduksi ramah lingkungan, dan pertanian skala kecil ternyata sangat produktif. Sebaliknya, sistem monokultur dan industrialisasi pertanian adalah penyebab utama punahnya banyak jenis tanaman.

Menurut lembaga PBB Hunger Task Force, penyebab utama kelaparan adalah ketimpangan ekstrem dalam distribusi lahan. Proses penggusuran, dan pada sisi lain konsentrasi berlebihan kepemilikan lahan, telah memarjinalkan dan memblokir pembangunan desa.

Pengalaman dari mancanegara mengajarkan, aksesibilitas atas tanah persyaratan terpenting bagi pembangunan pertanian sekaligus pembangunan desa (Brandt/Otzen, 2002). Karena itu, reformasi agraria jadi keharusan. Aksesibilitas atas tanah (landreform) adalah "bahasa" ekonomi-politik baru, di mana salah satu kata kuncinya adalah property rights. Penggunaan istilah aksesibilitas mengingatkan kita pada Amartya Sen dan asumsinya tentang "entitlement", yaitu tak seorang pun harus lapar karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses (memproduksi) bahan pangan.

Pertanian ekologis

Landreform yang gagal di Amerika Selatan dan Filipina disebabkan keterbatasan dana, birokrasi yang njlimetdan korup, serta resistensi politis para tuan tanah. Meskipun demikian, jawaban atas kelemahan reformasi agraria oleh negara, demikian La Via Campesina, bukanlah liberalisasi melainkan memperbaiki dan memperkuat peran negara.

Bagi Sofia Monsalve, koordinator kampanye internasional reformasi agraria Bread, Land, and Freedom (2003), ".reformasi agraria adalah kewajiban penegakan HAM oleh negara, termasuk mengupayakan hak atas pangan. Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan sumber-sumber produktif lain agar masyarakat bisa menyediakan sendiri makanannya."

Pada Hari Pangan Sedunia, Oktober lalu, FAO mengakui peran pertanian berbasiskan keluarga tani kecil sebagai penyedia pangan masyarakat dunia yang mampu mengentaskan kelaparan. Saat ini, satu dari sembilan orang di dunia atau 805 juta jiwa mengalami kelaparan (FAO, September 2014). Di tingkat nasional, 8,7 persen atau satu dari 11 orang di Indonesia masih mengalami kelaparan.

FAO menjadikan tahun 2014 sebagai tahun internasional petani keluarga. Dengan demikian, menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, lembaga PBB tersebut telah mengakui peran petani kecil sebagai saka guru penghapus kelaparan dunia (SPI, 16/10/2014).

Selama ini kelaparan terjadi akibat kekeliruan sistem pertanian yang dikembangkan dengan mengabaikan peran dan kedudukan pertanian kecil dalam. Pemerintahan SBY pun menentang regionalisasi pangan ketika menempatkan Jawa sebagai lumbung pangan Indonesia.

Ini hal yang menurut banyak pihak keliru karena seharusnya ketahanan dan kedaulatan pangan menuntut agar setiap daerah memproduksi pangannya sendiri. Berkaitan dengan kedaulatan pangan, prinsip pertanian ekologis yang memanfaatkan lingkungan sekitar lokasi pertanian tampaknya menjadi salah satu tawaran solusi terhadap berbagai permasalahan.

Dalam konsep pertanian ekologis, konsumen cenderung memakan pangan dari lokasi di mana ia berada, dan sebisa mungkin mengurangi konsumsi bahan makanan yang harus didatangkan dari luar. Hasil penelitian beberapa pakar pertanian ekologis (SPI, 2010) menunjukkan, hasil produksi pangan pertanian ekologis selain murah juga produktivitasnya dua kali lipat dibandingkan dengan pertanian skala besar, di samping ramah lingkungan. Pertanian yang juga bersifat organik ini menjauhkan diri dari pemanfaatan bahan kimia dan menumbuhkan bahan pangan sesuai kondisi alam setempat.

Dalam pilpres terakhir, mayoritas kelompok pengangguran, komunitas petani dan nelayan pendukung Jokowi. Bendungan memang dibangun dengan tujuan bagus, seperti mengendalikan banjir, mengairi sawah, dan membangkitkan listrik. Namun, bendungan besar memiliki sejarah kelam. Bagi Arundhati Roy, penulis dan feminis India yang memimpin gerakan anti bendungan besar, bendungan punya daya rusak seperti bom nuklir, makin besar, kian merusak (Farid Gaban, Februari 2015).

Berdasarkan data BPS (2013), petani gurem yang mengusai lahan kurang dari 0,5 hektar semakin tersingkir. Sebaliknya, kepemilikan lahan pertanian justru dikuasai pihak-pihak yang memiliki modal besar. Tak heran jika ada sinyalemen bahwa salah satu penyebab utama kenaikan harga beras akhir-akhir ini adalah akibat ulah pelaku besar usaha pertanian (Kompas, 5 Maret 2015).

IVAN HADAR

Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education; Koordinator Nasional Target MDG, 2007-2010

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Bendungan BesarVersus Petani Kecil".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger