Sengaja tulisan ini menggunakan pilihan kata evaluasi kinerja "kementerian" dan bukan hanya "menteri" dalam perspektif sistem pemerintahan didasarkan atas alasan-alasan berikut.
Pertama, kebijakan publik sektoral merupakan hasil dari sebuah proses politik dan birokrasi dalam sebuah organisasi kementerian. Sebagai implikasi dari asas spesialitas dalam teori hukum administrasi negara, mengingat begitu luasnya ruang lingkup urusan pemerintahan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (
Berdasarkan hal itu, diperlukan adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antar-kewenangan intra dan ekstra organisasi kementerian, termasuk LPNK. Di sinilah titik terjadinya kerumitan dan kompleksitas permasalahan yang sering kali harus dihadapi para menteri di dalam struktur kabinet. Sering kali menteri harus menghadapi "perlawanan birokrasi" di saat harus mencanangkan konsep reformasi birokrasi atau yang kini lebih sering disebut revolusi mental.
Gemuknya struktur organisasi kementerian dan rendahnya kapasitas sumber daya organisasi selama ini sebagai warisan masa lalu, baik berupa orang, barang, maupun uang (
Kedua, menteri bukanlah aktor tunggal yang menentukan kebijakan dalam suatu organisasi pemerintahan. Kebijakan seorang menteri dari satu kementerian selalu memiliki tali-temali dengan kebijakan kementerian lainnya. Hadirnya menteri koordinator (menko) pada awalnya dinisbahkan untuk mengoordinasikan dan menyinergikan kebijakan sektoral di wilayah kewenangan koordinasinya. Namun, hal itu juga bukan sebuah pekerjaan mudah bagi seorang menko. Realitas birokrasi pemerintahan yang sudah sekian lama berwatak sektoral dan lambannya kinerja birokrasi yang cenderung berwatak konservatif sering menjagal upaya menko dalam menyinergikan kebijakan sektoral.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi yang terkotak- kotak dengan watak kultural organisasi sektoral yang berbeda- beda mewariskan arogansi dan egoisme sektoral secara turun- temurun lintas generasi birokrasi. Kehadiran UU No 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang mengukuhkan eksistensi Badan Standardisasi Nasional dan UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan sejatinya ditujukan untuk menata standar operasional prosedur dan standar administrasi pemerintahan dalam rangka mewujudkan sinergi substantif kebijakan sektoral agar mendukung kinerja para menko yang bertanggung jawab atas aspek sinergi dan harmonisasi kelembagaan formal organisasi sektoral yang berada di wilayah tugas, pokok, dan fungsinya.
Berdasarkan argumentasi di atas, dalam rangka kebutuhan rutin Presiden dan Wakil Presiden untuk melakukan evaluasi kinerja para menteri perlu dilakukan secara komprehensif sehingga evaluasi kinerja harus diarahkan pada evaluasi menyeluruh atas kelebihan dan hambatan yang dialami institusi kementeriannya, bukan sekadar terhadap kinerja personal menterinya. Hal ini penting agar dihasilkan solusi menyeluruh atas kelemahan kinerja organisasi pemerintahan yang terjadi dan tak menyeret persoalan evaluasi kinerja organisasi kementerian ke ranah politik transaksional yang sekadar didorong syahwat bagi-bagi kekuasaan politik dengan memperluas basis dukungan koalisi.
W RIAWAN TJANDRA PENGAJAR HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Evaluasi Kinerja Kementerian".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar