Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 Mei 2015

TAJUK RENCANA: Abainya Birokrasi Kita (Kompas)

Telantarnya 28 peserta Program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan di Provinsi Maluku sungguh disesalkan.

Sebagaimana dilaporkan harian ini Sabtu, 23 Mei 2015, sebanyak 28 peserta program pemuda sarjana penggerak desa dari sejumlah provinsi yang ditugaskan di Provinsi Maluku telantar. Hampir lima bulan mereka tidak mendapatkan uang saku Rp 3,9 juta.

Akibat masalah administrasi dan birokrasi itu, para penggerak desa terpaksa berutang atau meminta kiriman dari orangtua agar bisa bertahan hidup. Sungguh ironis. Para sarjana itu bertugas di Maluku sejak September 2013 dan akan berakhir Agustus 2015. Seorang peserta dari Aceh, Subhan, yang sedang menderita sakit paru-paru, dilaporkan meninggal karena tidak bisa rutin berobat.

Abainya birokrasi kita amat disesalkan. Program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP-3) diselenggarakan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Program itu dimaksudkan untuk mendorong pembangunan di pedesaan yang memang tertinggal. Program itu, sebagaimana dengan program Indonesia Mengajar, adalah program yang baik. Program membantu di bidang pendidikan dan pembangunan di pedesaan adalah program yang patut didukung. Selain untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah, program itu kian memperkuat rasa nasionalisme pemuda dan mengenal Tanah Air secara lebih nyata.

Sarjana dari Aceh bekerja di Maluku dan wilayah lainnya. Lintas provinsi. Ini akan memperkuat rasa nasionalisme pemuda. Kita apresiasi langkah responsif pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sebagaimana dikatakan Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Sakhyan Asmara, Kementerian Pemuda dan Olahraga akan melanjutkan program PSP-3 dan memperbaiki sistem pemberian uang saku (Kompas, 24/5/2015).

Masalah birokrasi dan administrasi, termasuk perubahan sistem penyaluran uang saku, seharusnya tidak perlu mengganggu pencairan uang saku bagi sarjana tersebut. Patut dipertanyakan mengapa harus ada pengalihan sistem pencairan uang saku yang pada awalnya langsung diterima peserta, tetapi sejak Januari 2015 dialihkan melalui Kantor Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi, menyebabkan pencairan uang saku terlambat. Ini hanya menambah rantai birokrasi. Menurut catatan LitbangKompas, hingga tahun 2012, program ini sudah menempatkan 16.567 sarjana di sejumlah wilayah. Telantarnya sarjana penggerak desa menunjukkan betapa abainya sikap birokrat kita terhadap nasib manusia.

Kita berharap pihak kementerian yang bertanggung jawab dalam masalah itu bisa memastikan agar keterlambatan pencairan uang saku tersebut segara diatasi. Tidak perlu ada masalah birokrasi pencairan yang justru hanya menjadi penghambat pencairan uang saku tersebut. Transfer langsung kepada peserta tetap lebih baik.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Abainya Birokrasi Kita".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger