Tak mengherankan jika sepeda motor menyemut setiap saat di jalan. Namun, di luar kenikmatan dan kesejahteraan yang dirasakan pesepeda motor, kehadiran mereka menimbulkan sakit kepala tiada henti bagi kami. Kami telah berusaha mencari cara mengusir dampak negatif euforia keberhasilan perekonomian ini. Tanaman dan pagar kami buat di trotoar depan rumah agar terhindar dari sambaran sepeda motor yang tak merasa bersalah berjalan di trotoar.
Bebasnya penjualan sepeda motor bersilinder 200 cc atau lebih juga telah membuat jalan di depan rumah kami menjadi ajang balap siang dan malam. Kami akhirnya berswadaya membangun polisi tidur mencegah pengendara menarik tali gasnya lebih kencang lagi.
Namun, giliran mengatasi suara bising akibat bebasnya penggunaan knalpot berisik, kami benar-benar buntu, tak memiliki jalan keluar. Menutup semua lubang angin rumah tak mungkin kami lakukan. Berswadaya membangun dinding peredam di sepanjang jalan juga mustahil. Kepada pemerintahlah kami sekarang memohon.
Kami berharap pemerintah bisa merasakan penderitaan kami akibat kenyamanan yang terenggut oleh gelimang rupiah penjualan knalpot yang tak patut. Kami berdoa agar pemerintah segera menemukan lahan pengganti bagi pelaku industri knalpot modifikasi sehingga pemerintah bisa lebih cepat berpihak kepada kami.
I NYOMAN SURI ADNYANA, JALAN PALEM RAYA, PERUMAHAN PONDOK PEKAYON INDAH, KECAMATAN BEKASI SELATAN, BEKASI, JAWA BARAT
Bung Karno, Berastagi, dan Parapat
Teks pada grafik "Inspirasi dari Pengasingan" di Kompas (20/5) halaman 12 sangat menarik untuk mengingatkan kita pada cita-cita perjuangan Bung Karno dan Bung Hatta. Sayang sekali, pengasingan Bung Karno di Berastagi dan Parapat terlewatkan.
Ketika Clash II, Bung Karno, Bung Hatta, dan kawan-kawan diasingkan ke luar Jawa. Pada 22 Desember 1948, Bung Karno, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir diterbangkan ke Medan dan ditempatkan di Berastagi untuk beberapa hari. Pada awal Januari 1949, mereka dipindahkan ke Parapat.
Tak berapa lama kemudian, Sutan Sjahrir menuju Jakarta guna berdiplomasi, sementara Bung Karno dan Haji Agus Salim dipindahkan ke Muntok, bergabung dengan Bung Hatta dan kawan-kawan yang sudah lebih dahulu diasingkan di sana. Pada awal Juli 1949, Dwi Tunggal akhirnya kembali ke Yogyakarta.
Semoga tempat-tempat bersejarah itu dapat terus dilestarikan untuk mengingatkan pada cita-cita para pendiri bangsa.
BAMBANG ERYUDHAWAN, JALAN SUMENEP 16, JAKARTA PUSAT
Redaksi:
Terima kasih atas masukan Anda.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar