Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Juli 2015

Mendidik Kejujuran (DONI KOESOEMA A)

Di tengah kultur korup yang menggerus sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, mendidik kejujuran merupakan tantangan berat bagi para pendidik.

Ketika ujian nasional (UN) telah dilepas dari beban utamanya sebagai penentu kelulusan pun, kebocoran soal UN dan ketidakjujuran tetap terjadi. Mengakui adanya ketidakjujuran dan mau berkomitmen memberantasnya adalah langkah awal yang baik.

 Ketidakjujuran telah merambah hampir di seluruh bidang pendidikan, mulai dari saat siswa mendaftar sekolah (manajemen sekolah), masuk kelas dan melakukan kegiatan pembelajaran, sampai proses evaluasi dan penilaian pendidikan.

Fenomena jual-beli kursi saat penerimaan siswa baru bukanlah hal baru. Di Provinsi Banten, untuk pendaftar SD ada istilah membayar "uang bangku" alias jaminan awal agar siswa dapat masuk SD negeri. Besarnya pun tiap tahun makin meningkat. Jual-beli "bangku" sekolah indikasi nyata tidak dihargainya kejujuran dan prestasi siswa.

Sistem pendaftaran daring yang dianggap bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme pun ternyata tetap bisa diakali. Modus utamanya biasanya pembatasan data dan informasi terhadap publik, melebihkan jumlah rombongan belajar, dan kolusi dengan panitia penerimaan siswa baru. Muncullah istilah "siswa siluman". Siswa ini tidak lolos dalam seleksi daring atau tidak pernah mendaftar, tetapi tiba-tiba bisa duduk manis sebagai siswa baru di tahun ajaran baru.

Di dalam kelas, fenomena ketidakjujuran terjadi ketika siswa mencontek saat ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir sekolah, maupun UN. Bentuk perilaku ketidakjujuran lain yang sering terjadi adalah pekerjaan rumah (PR) yang dikerjakan oleh orang tua, siswa mengerjakan PR di sekolah, atau mempergunakan mata pelajaran lain untuk mengerjakan PR.

Dalam menilai siswa pun, ketidakjujuran merebak di mana-mana. Sistem katrol nilai saat penentuan kenaikan kelas di akhir tahun pun sudah dianggap lumrah. Rapat dewan guru bisa berisi negosiasi tentang bagaimana mendongkrak nilai siswa sehingga siswa tertentu tetap dapat naik kelas.

Agar semua siswa lulus, mendongkrak nilai ujian sekolah pun dilakukan. Jika mendongkrak nilai ujian sekolah pun masih belum mampu, ada strategi lain. Caranya, melakukan kecurangan sistematis, baik membantu siswa dengan memberikan jawaban yang benar maupun menghapus jawaban siswa dan mengganti dengan jawaban yang lebih benar.

Kelemahan sistem

Ada seribu cara untuk memanipulasi nilai siswa, baik dari unit sekolah, oleh guru, kepala sekolah, maupun di kalangan penyelenggara ujian itu sendiri; mulai dari pembuatan soal, percetakan, sampai pendistribusian dan pelaksanaan UN itu sendiri. Di Bekasi bahkan pernah beredar tawaran untuk mengubah nilai UN siswa oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki akses pada data nilai UN siswa dengan imbalan tertentu. Tahun lalu, soal UN malah bocor di Google Drive.

Ketidakjujuran dalam pendidikan terjadi bukan saja karena kelemahan individu per individu, melainkan karena ada sistem dan struktur yang memaksa individu-individu itu untuk berlaku tak jujur. Gagasan Mendikbud Anies Baswedan untuk memublikasi nilai Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) sekolah harus dibaca sebagai kesadaran bahwa persoalan ketidakjujuran dalam pendidikan adalah persoalan sistemik ketimbang individual.

Hasil IIUN yang dirilis oleh Kemdikbud menunjukkan kualitas kejujuran atau integritas siswa dalam melaksanakan UN masih rendah. Masih ada sekitar 50 persen sekolah berada dalam posisi IIUN rendah, tetapi dengan nilai UN tinggi. Ini artinya, nilai tinggi dalam UN tidaklah murni karena kejujuran dari siswa, melainkan karena indeks integritasnya rendah. Terlepas dari polemik tentang cara perhitungan dan metodenya, rekapitulasi IIUN menunjukkan fakta bahwa pelaksanaan UN belum sesuai dengan apa yang diharapkan.

IIUN hanyalah salah satu alat ukur untuk menunjukkan kepada kita bahwa ketidakjujuran dalam pendidikan kita sudah berada di ambang membahayakan bagi masa depan bangsa. Korupsi tak akan bisa diberantas jika sumber pendidikan awal bagi kehadiran warga negara yang bertanggung jawab tidak mampu menumbuhkan kultur kejujuran yang melahirkan komitmen dari individu untuk memperjuangkannya.

Langkah strategis

Data IIUN tidak akan bermakna apa-apa bila hanya berhenti sekadar paparan data. Pemerintah perlu segera mendesain kebijakan yang lebih strategis agar pelaksanaan UN memiliki integritas yang tinggi dan proses pembelajaran di lingkungan pendidikan sungguh menumbuhkan kultur kejujuran.

Beberapa kebijakan perlu segera dilakukan. Pertama, pemerintah perlu memberikan pelatihan kepada penyelenggara ujian agar dapat melaksanakan ujian sesuai dengan standar yang berlaku, mulai dari proses pembuatan soal sampai pelaksanaan dan pasca-pelaksanaan UN.  Kedua, pemerintah perlu segera merespons bila ada indikasi kecurangan dalam sebuah ujian dan menindaklanjutinya secara strategis.  Ketiga, perlindungan perlu diberikan kepada whistle-blower yang melaporkan berbagai macam perilaku kecurangan selama UN.

Dari sisi pedagogi dan pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan sikap jujur, pemerintah perlu mengajak pihak sekolah untuk menumbuhkan kultur kejujuran dalam berbagai macam dimensi: mulai dari proses penerimaan siswa baru sampai proses penilaian pendidikan yang sudah dipercayakan kepada guru dan sekolah. Pendampingan dan pengembangan keterampilan dalam menilai diperlukan agar para guru semakin terampil memberikan penilaian terhadap siswa secara jujur dan tepat sasaran dalam membantu menumbuhkan pengetahuan dan keterampilan siswa.

Menumbuhkan kultur pendidikan yang jujur perlu sistem dan lingkungan belajar yang ramah. Lebih dari itu, adalah sebuah kondisi yang tidak dapat ditawar, yaitu adanya integritas moral pendidik. Integritas moral dan keteladanan dalam diri pendidik akan muncul bila didukung oleh sebuah sistem, struktur, dan kebijakan pendidikan yang ramah bagi bertumbuhnya nilai-nilai kejujuran. Hanya dengan integritas moral seperti ini, sistem katrol nilai, penggelembungan nilai, jual-beli nilai, dan tindak kecurangan selama UN ataupun dalam proses pembelajaran harian akan pelan-pelan terkikis.

 DONI KOESOEMA A PEMERHATI PENDIDIKAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Mendidik Kejujuran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger