Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Juli 2015

Berbagi Blok Mahakam dengan Asing (JUNAIDI ALBAB SETIAWAN)

Keputusan pemerintah untuk memberi  jatah 30 persen kepada PT Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation  dalam pengelolaan Blok Mahakam, patut disayangkan.

Sementara Pertamina sebagai perusahaan migas milik negara mendapat porsi 70 persen saham yang masih harus dikurangi denganparticipating interest kepada badan usaha milik daerah (BUMD) setempat sesuai Pasal 34, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004.

Di tengah optimisme terhadap kemampuan Pertamina sebagai BUMN migas Indonesia yang semakin mendunia serta tekad kuat pemerintah untuk mewujudkan  kedaulatan energi secara berdikari,  "kesempatan emas"  untuk mengelola Blok Mahakam  mandiri 100 persen justru telah disia-siakan. Kontrak kerja sama (KKS) Blok Mahakam yang menurut UU seharusnya berakhir pada Oktober 2016 dan dikembalikan sepenuhnya kepada negara, justru disikapi dengan perasaan "minder".

Akibatnya  potensi penerimaan negara menjadi  tidak maksimal. Pertamina sebagai BUMN bidang migas masih diragukan kemampuannya untuk meneruskan pengelolaan Blok Mahakam secara penuh.

Potensi Blok Mahakam

Kontrak kerja sama atas wilayah kerja (WK) Blok Mahakam ditandatangani  oleh negara dengan kontraktor  joint company PT Total E&P Indonesie (TEPI-Perancis) dengan Inpex Corporation (Jepang), dengan komposisi penyertaan masing- masing 50 persen,  untuk jangka waktu 30 tahun  sejak 6 Oktober 1966 dan berakhir 30 Maret 1997.

Kontrak tersebut telah diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun pada 11 Januari 1997 dan berakhir pada 31 Desember 2017. Wilayah kerja ini memiliki luas 2.738,51 kilometer persegi dan terletak di Kalimantan Timur serta merupakan wilayah kerja onshore danoffshore yang potensial dan memiliki cadangan gas terbesar di Indonesia.

Cadangan awal (gabungan cadangan terbukti dan cadangan potensial atau dikenal dengan istilah 2P) yang ditemukan saat itu 1,68 miliar barrel minyak dan gas bumi 21,2 triliun kaki kubik (TCF). Blok tersebut mulai berproduksi pada 1974. Rata-rata produksi tahunan WK Mahakam saat ini adalah gas sebesar 1.747,59 MMSCFD serta minyak dan kondensat 69.186 BOPD (Kompas, 7/3).

Menurut SKK Migas, setelah hampir 50 tahun, sisa cadangan 2P minyak saat ini 185 juta barrel dan cadangan 2P gas 5,7 TCF. Pada akhir masa kontrak tahun 2017 diperkirakan masih menyisakan cadangan 2P minyak 131 juta barel dan cadangan 2P gas 3,8 TCF.

Dari jumlah tersebut diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TCF, namun menurut Indonesian Resources Studies (IRESS), bersumber dari data Pertamina, cadangan Blok Mahakam adalah 8-10 TCF, dari situ negara berpotensi memperoleh pendapatan bersih mencapai 1,47 miliar dollar AS atau berkisar Rp 16 triliun per tahun. Perbedaan data antara SKK Migas dengan Pertamina ini sesungguhnya tidak penting karena faktanya TEPI masih sangat bernafsu mengelola blok ini.

Blok Mahakam sesungguhnya masih dapat dikembangkan jika  secara aktif mengeksplorasi di laut dalam sekitar wilayah tersebut dengan investasi baru tambahan. Sehingga Blok Mahakam sesungguhnya masih cukup menjanjikan untuk memberikan pemasukan lebih bagi negara di masa mendatang.

Menyiakan kesempatan

Berakhirnya KKS Blok Mahakam membuat Indonesia berkesempatan mengelola sendiri dan mendapatkan hasil produksi yang lebih besar. Peristiwa itu seharusnya menjadi berkah bagi bangsa mengingatkan produksi Blok Mahakam mencakup 25 persen kebutuhan migas nasional dan saat ini Indonesia berada di ambang krisis energi akibat menipisnya cadangan minyak. Maka, momentum penguasaan sepenuhnya Blok Mahakam seharusnya dimanfaatkan pemerintah dengan baik.

Dengan berakhirnya KKS, maka  Blok Mahakam menjadi hak negara sepenuhnya. Negara tidak perlu lagi mengeluarkan banyak biaya untuk eksplorasi dan membangun sarana produksi sebagaimana di tahap awal eksploitasi, karena Blok Mahakam berada dalam fase produksi ekstraksi (brownfields).

Dengan berakhirnya kontrak, maka kepemilikan data hasil survei umum, eksploitasi dan ekplorasi, dan segala alat kelengkapan produksi yang sudah ditutup dengan cost recoverysepenuhnya menjadi milik negara. Yang diperlukan dalam tiga tahun menjelang akhir tahun 2017 adalah transisi secara gradual dari TEPI kepada negara.

Dengan berakhirnya KKS, TEPI harus dipandang sebagai perusahaan baru yang tidak lagi bersangkut paut dengan Blok Mahakam.  Karena setelah 2017, TEPI adalah investor baru yang masuk dalam tahap memanen hasil produksi, bukan lagi sebagai TEPI yang berkewajiban melewati tahap kritis penuh risiko usaha, berupa pencarian cadangan migas (ekplorasi) dengan kewajiban menyediakan teknologi, dana, dan menanggung risiko produksi.

Sudah diuntungkan

Dalam kurun waktu sejak KKS ditandatangani pada 1966 dan  kemudian menyusul penandatanganan Plan of Development pada 1974 sebagai tanda dimulainya tahap eksploitasi, berupa kegiatan  pengembangan dan pembangunan fasilitas produksi, TEPI sudah mendapatkan haknya sesuai KKS, berupa bagian keuntungan (production sharing) yang tidak sedikit. Oleh karena itu, jika saat ini TEPI masih tetap diposisikan seolah-olah sebagai kontraktor lama dan langsung mendapat bagian 30 persen, maka bagian tersebut terlalu besar dan patut dipertanyakan atas dasar apa pemerintah memberikan porsi sebesar itu.

Selain itu pemberian porsi 30 persen   juga melanggar ketentuan persaingan usaha yang sehat karena menutup peluang investor lain untuk ikut bersaing masuk di tahap "panen" ini.

Harus diingat, kebijakan penawaran wilayah kerja tidak semata-mata didasarkan pertimbangan teknis, ekonomis, tingkat risiko, efisiensi, namun juga harus berdasarkan asas keterbukaan, keadilan, akuntabilitas, dan persaingan usaha yang sehat (Pasal 4 PP 35/2004 dan Pasal 5 KepMen ESDM No 1480/ 2004).

Ketidakpastian hukum

Penandatanganan KKS juga akan dilakukan di tengah ketidakpastian hukum karena (i) Didasarkan pada UU migas yang sudah tidak layak dan telah masuk agenda prolegnas untuk segera diganti, (ii) Posisi kelembagaan SKK Migas yang lemah karena SKK Migas hanyalah  satuan kerja sementara di bawah kementerian ESDM, bukan badan hukum (rechtpersoon) mandiri sebagaimana BP Migas, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pihak (legal standing) dalam KKS. Akibatnya (iii) dalam KKS pemerintah harus turun langsung dan hubungan hukum menjadi government to business(G to B) atau pemerintah berbisnis dengan swasta dengan segala risikonya. (iv) Kuasa pertambangan diberikan oleh negara kepada pemerintah bukan kepada perusahaan negara sebagaimana KKS ditandangani 50 tahun lalu. Sehingga penandatanganan KKS sangat berisiko bagi pemerintah dan juga bagi investor.

Oleh karena itu, keputusan pemberian porsi 30 persen kepada TEPI akan menempatkan pemerintah berisiko menghadapi gugatan uji  materi (yudicial review) mengenai (i) Kompetensi pemerintah untuk membagi  hak negara atas Blok Mahakam kepada asing di tengah karut marutnya peraturan, maupun (ii) Gugatan perdata (class action) mengenai pemberian saham 30 persen milik rakyat kepada TEPI melalui proses yang kurang transparan dan melanggar asas persaingan usaha yang sehat.

Kesimpulannya, seharusnya pemerintah berani mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam mengingat kesempatan dan potensinya. Terlebih migas masih menempati posisi menentukan bagi keberlangsungan pembangunan. Di mata rakyat langkah itu akan dinilai sebagai keseriusan dalam mewujudkan kemandirian energi. Mental mandiri harus dimulai dengan cara melepaskan "ketergantungan" dan memperkokoh "kemandirian". 

JUNAIDI ALBAB SETIAWAN

Pengamat dan Praktisi Hukum Migas

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Berbagi Blok Mahakam dengan Asing".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger