Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Juli 2015

Krisis Yunani Membingungkan (J SOEDRADJAD DJIWANDONO)

Krisis keuangan Yunani yang berjalan sejak tahun 2010 adalah krisis pinjaman pemerintah atau sovereign debt crisis. Krisis ini mencuat sebagai salah satu dampak dari krisis keuangan dunia karena pasar meragukan kemampuan Pemerintah Yunani melunasi pinjamannya yang sangat besar.

Ternyata Yunani pada waktu resmi menjadi anggota zona euro (Eurozone)- sembilan belas negara Eropa dalam uni moneter (monetary union) yang menggunakan euro sebagai mata uang mereka- tahun 2002 sebenarnya tidak memenuhi syarat. Dengan menjadi anggota zona euro, Yunani mengganti mata uangnya (drachma) dengan euro. Namun, euro dan drachma sebenarnya tidak setara, uangnya menjadi jauh lebih tinggi nilainya atau over-valued. Dengan penggunaan euro, ekspor Yunani menjadi tidak kompetitif. Di pihak lain, karena menjadi anggota kelompok "negara kaya", peringkat Yunani disetarakan dengan mereka yang jauh di atasnya dan biaya meminjam menjadi jauh lebih murah.

Dampak pertama buruk buat ekonomi Yunani, melemahkan ekspor dan sebaliknya buat impor karena itu memperbesar defisit neraca pembayaran. Yang kedua, membuat Yunani lebih gampang membiayai kegiatannya dengan utang, jadi "baik". Pertimbangan ekonomi dan pengalaman menunjukkan bahwa pembiayaan melalui pinjaman (leveraging) itu menguntungkan. Akan tetapi, hal ini ada batasnya. Masih diperdebatkan, tetapi studi Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff menunjukkan, pada tingkat rasio pinjaman terhadap PDB tertentu (90 persen) dampak positif ini berubah jadi sebaliknya. Ini yang mengancam perekonomian Yunani dan banyak negara lain.

Masalahnya adalah bahwa selain melanggar ketentuan maksimal besarnya pinjaman Yunani juga melakukan rekayasa penghitungan, dengan bantuan Goldman Sachs yang menutup besar yang sesungguhnya dari pelanggaran ketentuan. Hal ini menurunkan peringkat pinjaman Yunani menjadi di bawah standar buat investasi, menjadi junk bond yang menggoyahkan pasar. Sejak itu, investor menjauhi Yunani dan kondisi ekonominya terus memburuk. Untuk menghadapi krisis yang berkembang, Pemerintah Yunani meminta bantuan Komisi Eropa dan Bank Sentral Eropa (ECB) sebagai anggota Uni Eropa dan zona euro. Demikian juga IMF. Ketiga kreditor ini dikenal sebagai Troika.

Krisis yang sudah berjalan lima tahun ini telah menyebabkan dampak negatif luar biasa pada perekonomian Yunani. PDB menurun 25 persen, tingkat pengangguran mencapai 30 persen, bahkan dua kali lipat buat orang muda, upah nominal turun 20 persen, dan seterusnya. Pada awal 2015 terjadi pergantian pemerintahan di mana partai sosialis Syriza memenangi pemilu. Pemerintahan baru di bawah PM Alexis Tsipras berjanji menghentikan program penghematan (austerity) yang menyengsarakan orang Yunani. Namun, program ini adalah persyaratan pihak kreditor dalam memberikan pinjaman penyelamatan (bail out) buat Yunani dalam mengatasi krisis yang sedang dihadapi.

Yunani telah dua kali menerima bantuan penyelamatan dari Troika, tahun 2010 dan 2012, dengan jumlah keseluruhan pinjaman 240 miliar euro, sekitar 270 miliar dollar AS. Dari jumlah penduduk yang sekitar 11 juta, jumlah pinjaman ini luar biasa besar. Pinjaman Indonesia waktu mengatasi krisis 1997/1998 dari IMF adalah 10,5 miliar dollar AS. Atau, termasuk pinjaman dari Bank Dunia dan ADB jumlah dari ketiganya ("troika" bagi Indonesia waktu itu) adalah sekitar 18 miliar dollar AS. Banyak hal menarik sekaligus membingungkan dari krisis pinjaman Yunani. Saya ingin membahas berbagai perkembangan terakhir yang serba tidak jelas itu.

Perkembangan terakhir

Sejak memulai pemerintahan baru, PM Tsipras terus-menerus bernegosiasi bersama Menteri Keuangan Janis Varufakis yang kontroversial itu dengan pihak kreditor untuk memenuhi janjinya kepada pemilihnya, menangani krisis dengan menghentikan program penyelamatan yang memberatkan penduduk.

Pada dasarnya, negosiasi ini sangat rumit karena keinginan yang bertolak belakang dan saling curiga dari kedua belah pihak. Pihak kreditor melihat program penghematan yang dijanjikan akan dipatuhi oleh pemerintah lama, seperti peningkatan penerimaan pajak, penurunan pengeluaran pensiun dan subsidi yang dianggap terlalu berlebihan, pengurangan berbagai pengeluaran pemerintah lain ataupun program reformasi ekonomi dengan liberalisasi kalaupun ada kemajuan sangat lamban. Sebaliknya, semua program tersebut dirasa memberatkan buat Yunani, karena itu harus diubah.

Lebih dari lima bulan perundingan tidak menghasilkan kemajuan, sedangkan jadwal waktu berlakunya program penyelamatan dengan bantuan Troika habis masa berlaku 30 Juni lalu. Kalau masa berlakunya habis, sisa pinjaman yang belum ditarik tak bisa digunakan lagi. Dalam pada itu, ada jadwal pembayaran kembali pinjaman IMF yang harus dipenuhi 29 Juni sebesar 1,5 miliar euro dan kepada ECB lebih dari 3 miliar euro pada bulan Juli. Jadi adanya kesepakatan baru sebelum akhir Juni sangat krusial buat nasib Yunani. Ketidakpastian tentang adanya kesepakatan antara Yunani dan Troika ini dengan kemungkinan keluarnya Yunani dari zona euro (Grexit) telah mengguncangkan perbankan. Terjadi arus penarikan dana deposito dan tabungan pada bank-bank, dipindahkan ke tempat yang lebih aman (flight to safety) dalam jumlah yang semakin besar sehingga bank-bank terancam kehabisan dana dan menjadi bangkrut. Bantuan likuiditas dari ECB akhirnya menjadi satu-satunya sumber dana bagi perbankan. Namun, sumber ini pun akan hilang kalau Grexit terjadi.

Dalam keadaan demikian, PM Tsipras tiba-tiba meninggalkan negosiasi dan membuat referendum bagi penduduk Yunani untuk memilih menyetujui program penghematan yang dipersyaratkan Troika dalam pinjaman penyelamatan atau menolaknya. Mengagetkan bagi banyak pihak bahwa suatu langkah yang aneh buat banyak pihak dan tinggi risikonya bagi pemerintahan PM Tsipras ini hasilnya secara telak mendukung sikap pemerintahannya dengan 61 persen penduduk menolak program penghematan yang dipersyaratkan Troika.

Referendum dan hasilnya membingungkan mereka yang mengamati perkembangan krisis Yunani. Buat PM Tsipras membuat suatu referendum dengan meminta penduduk mendukung posisinya menghadapi tuntutan Troika adalah suatu tindakan yang berisiko tinggi. Kalau jawaban penduduk menerima, dia jelas harus mundur dari jabatannya. Selain keputusan yang kontroversial dan referendum yang kurang jelas arti substansi sesungguhnya, yang lebih mengherankan lagi adalah kemenangan PM Tsipras dalam referendum ini telak dengan 61 persen menolak program penyelamatan seperti yang diinginkannya.

PM Tsipras tentu merasa keputusan melakukan referendum ini benar dan sukses. Dengan dukungan mayoritas penduduk Yunani, PM Tsipras penuh percaya diri ingin kembali ke meja perundingan. Kembali membingungkan karena sebenarnya referendum itu memutuskan sesuatu yang resminya sudah tidak belaku lagi sejak 30 Juni. Jadi, secara hukum referendum itu tidak ada gunanya. Dengan mandat yang baru, tentu PM Tsipras merasa lebih percaya diri. Niat baiknya ditunjukkan dengan mengganti Menkeu Varufakis yang dianggap terlalu kontroversial oleh pihak Troika dengan Euclid Tsakalakos yang lebih diplomatis.

Akan tetapi, mungkin agak dilupakan oleh PM Tsipras bahwa dia harus berhadapan dengan pihak lain dalam suatu perundingan "bilateral". Jadi, apakah akan bisa dilakukan negosiasi baru untuk bail out ketiga tidak hanya tergantung dari dia saja meskipun secara demokratis dia didukung mayoritas penduduk Yunani.

Namun, tampaknya kebanyakan di pihak kreditor mendasarkan sikapnya atas keinginan agar zona euro tetap utuh, bahwa euro sebagai kesatuan uang zona euro tidak boleh gagal. Secara konsepmonetary union hanya akan efektif kalau setelah masuk tidak ada ruang bagi anggota untuk keluar, irreversiblemenurut Profesor Barry Eichengreen dari UC Berkeley. Secara politis kebanyakan merasakan hal ini. Bahkan, Presiden ECB Mario Draghi tahun 2012 menyatakan akan menyelamatkan euro dengan cara apa pun (whatever it takes) sebenarnya juga berdasar atas konsep bahwa pembentukan monetary union itu tidak boleh mundur.

Suatu catatan

Ketika menulis kolom ini, diberitakan bahwa tampaknya Pemerintah Yunani, PM Tsipras dan Menkeu Tsakalakos, sudah mengajukan program dengan berbagai langkah untuk memenuhi keinginan kreditor. Belum jelas apakah pihak kreditor akan menerima program ini. Namun, menurut saya, minimal hal ini menunjukkan adanya niat baik dan kemauan politik untuk kembali memulai perundingan mencari solusi. Perundingan bilateral hanya akan membawa hasil kalau ada sikap saling percaya dari kedua belah pihak sebagai prasyarat bisa terjadinya proses saling mendekatkan posisi (give and take) ke arah adanya kesepakatan.

Sementara saya melihat bahwa Grexit tidak akan terjadi. Penyesuaian harus dilakukan; bagi Yunani, kondisi yang menyesakkan ini masih akan berlanjut. Hanya saja dengan waktu untuk bernapas, dengan masa depan yang lebih memberikan kepastian sedikit demi sedikit Yunani akan bisa bangkit kembali. Bagi Troika juga harus ada kesediaan untuk membuat penyesuaian. Program penyelamatan akan dilakukan oleh semua pihak terkait di Yunani, karena itu seperti dalam kasus krisis Asia, para pemangku kepentingan Yunani harus merasa memilikinya, bukan program yang dicekokkan oleh Troika kepada mereka.

Menurut saya, hanya keputusan politis yang bisa memberi jalan keluar buat masalah yang timbul sebagai implikasi keputusan politis sebelumnya. Keputusan melancarkan euro sebagai currency union buat zona euro adalah suatu keputusan politis, bukan ekonomi. Keputusan membolehkan Yunani menjadi anggota zona euro tahun 2002 juga keputusan politis.

Sekarang, karena krisis ini merupakan implikasi dari keputusan politis sebelumnya, jalan keluar hanya bisa dengan keputusan politis pula. Misalnya, perlunya ada dan berapa besar pemotongan nilai utang (haircut), penjerengan waktu pengembalian pinjaman, apalagi pengampunan utang, semuanya hanya bisa melalui keputusan politis. Perhitungan untuk melakukannya secara efisien itu masalah ekonomi-keuangan, tetapi keputusan pertamanya adalah politis. Semoga.

J SOEDRADJAD DJIWANDONO

Profesor International Economics, S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura; dan Guru Besar Emeritus Ekonomi Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Krisis Yunani Membingungkan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger