Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Juli 2015

Parpol dan Calon Kepala Daerah (RIDHO IMAWAN HANAFI)

Sebuah ikhtiar politik dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada Desember 2015.

PDI-P menyelenggarakan sekolah partai untuk calon kepala daerah. Dalam sambutannya saat membuka sekolah itu, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengingatkan calon kepala daerah yang diusung partainya dalam pilkada serentak nanti bekerja keras. Megawati juga menegaskan agar para calon kepala daerah menghindari masalah hukum dan berharap mereka maju tak hanya demi kepentingan pribadi.

Menurut penyelenggara, melalui sekolah partai itu para calon kepala daerah dibekali pengetahuan menghadapi persaingan di pilkada. Bekal pengetahuan antara lain cara berkomunikasi, cara berkampanye, bagaimana menyusun politik anggaran. Di sekolah itu juga ditekankan perlunya semangat gotong royong dalam pilkada agar dapat beroleh kemenangan (Kompas.com, 28/6). Peserta juga dibekali bagaimana pentingnya membumikan Pancasila sekaligus meletakkan dasar kehidupan bangsa yang lebih baik.

Korupsi kepala daerah sebagaimana diingatkan Megawati masih problem serius. Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dengan mengutip data Kemendagri, seperti dilansir Kompas.com (4/2), terdapat 343 kepala daerah yang beperkara hukum baik di kejaksaan maupun KPK. Sebagian besar karena tersangkut pengelolaan keuangan daerah. Menurut Kemendagri, penyebabnya adalah komitmen anti korupsi yang belum memadai, tiadanya integritas, belum diterapkannya e-procurement, dan rentannya birokrasi atas intervensi kepentingan. 

Sebagai pengusung calon kepala daerah, selain jalur perseorangan di pilkada, partai politik berperan krusial menghadirkan calon kepala daerah yang berintegritas dan menempatkan rakyat sebagai tempat jiwa berada. Upaya itu tak bisa dilepaskan dari rekrutmen politik yang dilakukan parpol. Rekrutmen merupakan salah satu fungsi klasik parpol menyangkut peran mereka sebagai penjaga gerbang dalam mengajukan calon untuk jabatan di semua tingkat pemerintahan (Norris, 2006). Tidak berlebihan, parpol dikatakan sebagai salah satu "pintu masuk" untuk jabatan publik.

Peran figur

Dalam perhelatan pilkada, sebagian hipotesis mengatakan bahwa figur kerap menjadi faktor yang lebih menentukan dibandingkan dengan parpol. Dalam arti lain, persepsi pemilih terhadap profil kandidat jadi faktor dominan yang memengaruhi mereka dalam menentukan pilihan. Hal ini telah meletakkan parpol dalam posisi tantangan serius karena dipersoalkan perannya apakah efektif sebagai mesin pemenangan (sebab mesin parpol terkesan tak banyak bunyi ketimbang jelajah figur dalam mengkreasi isu dan program merebut simpati pemilih di daerah). Atau, hanya berperan sekadar sebagai pengusung calon semata.

Dengan figur sebagai faktor penentu seperti itu bukan kemudian membuat parpol mengevaluasi kinerja mesinnya, salah satunya membenahi lemahnya kaderisasi. Yang terlihat, tak jarang parpol kerap terseret dalam barisan lebih memilih mengusung figur parpol lain yang memiliki popularitas tinggi tanpa memedulikan kader sendiri yang layak didukung. Mengusung kandidat yang berpotensi besar menang merupakan kalkulasi politik wajar. Namun, ketika itu dilakukan dengan mengesampingkan pembenahan rekrutmen dan kaderisasi internal, parpol terjebak dalam politik pragmatis.

 Jebakan seperti itu bisa menggiring parpol defisit kader menghadapi momentum seperti pilkada. Yang dikhawatirkan adalah mereka akan mudah mengusung calon yang tak saja minim kapa- sitas sebagai calon kepala pemerintahan daerah, namun juga tak punya kepekaan sebagai pelayan rakyat. Pencalonan yang instan akan membuat calon yang bersangkutan diragukan dalam ikatan mereka dengan parpol pengusung sehingga dalam praktiknya antara visi-misi maupun tawaran ideologi maupun kebijakan parpol dan calon kepala daerah tidak sejalan.  

 Bagi PDI-P, sekolah partai jadi program penting setidaknya karena momentum dan fungsi. Dari momentum, pilkada serentak akan berlangsung dalam periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Jika PDI-P berhasil memenangi pilkada di banyak daerah, bukan tak mungkin akan memudahkan kepemimpinan Jokowi berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Asumsinya, akan lebih mudah jika pemimpin nasional berkoordinasi dengan pemimpin daerah yang berasal dari satu partai. Jadi, PDI-P akan memetik untung karena mendorong sukses kepemimpinan nasional.

Dari fungsi, sekolah partai merupakan ajang penjaringan atau perekrutan calon kepala daerah bagi PDI-P. Perekrutan politik sebagaimana dikatakan Rush dan Althoff (2008) bisa dilakukan melalui seleksi pemilihan dan latihan. PDI-P bisa melakukan penjaringan melalui pengurus partai daerah berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan pendidikan dan pelatihan sekaligus seleksi, partai akan menemukan calon kepala daerah yang dibutuhkan rakyat. Partai jadi penya- ring kepemimpinan di tahap awal. Untuk selanjutnya disodorkan kepada rakyat yang siap dipilih sehingga rakyat tak memi- lih calon yang tak punya kompetensi dan integritas memadai.

Sekolah partai ala PDI-P bisa digunakan sebagai medium pendalaman dan internalisasi nilai kepartaian kepada calon kepala daerah. Sekolah ini akan menjadi medan perumusan visi dan misi kepemimpinan calon kepala daerah sehingga bisa selaras dengan visi dan misi partai. Dalam konteks ini, diharapkan orientasi kepemimpinan calon kepala daerah tak melenceng dari garis besar kebijakan partai. Untuk itu, partai bisa mengawal kebijakan pembangunan yang akan ditempuh calon kepala daerah. Partai sekaligus bertanggung jawab terhadap baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan daerah.

RIDHO IMAWAN HANAFI

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Parpol dan Calon Kepala Daerah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger