Fenomena ini bukanlah sesuatu yang mengherankan. Tujuannya jelas agar petinggi partai di DPP mau mendukung keinginan calon ini untuk diusung partainya dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Memang bukanlah hal yang mudah bagi calon kepala daerah untuk bertemu dengan petinggi partai politik. Mereka harus punya jaringan ke dalam lingkaran petinggi parpol tersebut.
Janji bertemu pun harus dibuat beberapa minggu sebelum pertemuan dilakukan. Tentu, lewat pertemuan itu, sang calon berharap bisa mendapatkan tiket menjadi kepala daerah. Biasanya cara ini jauh lebih efektif ketimbang harus melalui mekanisme konvensi di tingkat daerah. Meskipun sang calon sudah mendaftarkan diri melalui pengurus partai di daerah, tetapi mereka meyakini bahwa kata putus siapa yang dicalonkan oleh partai tetap ada di elite pusat. Ini bukti kuat bahwa parpol di Indonesia masih menerapkan model oligarki dalam pengambilan keputusan di internal.
Fenomena oligarki di tubuh parpol bukanlah hal baru. Sejak transisi ke demokrasi dilaksanakan, keinginan masyarakat memunculkan parpol modern yang demokratis masih sulit terwujud.
Dalam realitasnya, tidak sedikit aspirasi masyarakat yang dijaring pengurus partai di daerah jarang menjadi pertimbangan utama bagi petinggi partai di tingkat pusat. Bahkan tak jarang calon kepala daerah yang memang dijagokan oleh pengurus partai di daerah sama sekali tidak dilirik petinggi partai di tingkat pusat jika yang bersangkutan tidak menemui mereka.
Kolaborasi politik-bisnis
Tentu ada pertimbangan yang diberikan petinggi parpol untuk merestui seseorang menjadi calon kepala daerah. Selain kepentingan partai, juga ada kepentingan pribadi para petinggi partai, yang umumnya untuk menempatkan seseorang menjadi kepala daerah. Dengan sowan ke petinggi partai ini, maka beberapa kesepakatan dapat dibuat di antara mereka.
Bahkan terbuka kemungkinan dengan penetapan calon yang dilakukan secara tertutup ini berlangsung transaksi di antara elite dan calon kepala daerah yang akan diusung partai. Cara-cara transaksi politik seperti ini jelas menafikan hakikat demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Bahkan sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, jika itu terkait dengan "uang mahar" yang diserahkan calon kepada petinggi partai.
Lebih jauh dari itu, sebenarnya apa yang dilakukan pengurus partai di daerah menjaring calon kepala daerah sudah mencerminkan proses perekrutan kepemimpinan secara terbuka. Ini tentunya baik bagi perkembangan demokrasi dan proses kaderisasi kepemimpinan di daerah. Tetapi, sayang, intervensi petinggi partai di tingkat pusat justru merusak tatanan demokrasi yang mulai dipercaya publik.
Penjaringan yang dilakukan pengurus partai di daerah tidak lagi menjadi mekanisme utama mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Akibatnya muncul persepsi bahwa mekanisme seleksi di tingkat pengurus daerah hanya basa-basi demokrasi dalam mencari pemimpin di daerah.
Kuatnya restu petinggi parpol dalam mengusulkan calon kepala daerah semakin menegaskan ada yang keliru dalam proses demokrasi dalam parpol. Proses pengambilan keputusan di dalam parpol cenderung didominasi sekelompok elite yang merasa memiliki partai. Dampak buruk dominasi ini adalah menguatnya budaya paternalistik sehingga calon kepala daerah yang terpilih cenderung akan menghamba kepada penguasa partai.
Jadi, jangan heran jika kepala daerah yang terpilih karena restu petinggi partai ini akan sungkan ketika berhadapan dengan mereka. Yang patut juga dikhawatirkan adalah dampak setelah calon kepala daerah ini terpilih. Sebab, tidak sedikit petinggi parpol ini juga berlatar belakang pengusaha yang memang memiliki jaringan bisnis hingga ke daerah. Sudah tentu, jika kepala daerah ini terpilih, petinggi partai yang juga memiliki berbagai macam usaha mulai melaksanakan politik bisnisnya di daerah itu.
Ini menjadi ironi di saat antusiasme publik mulai meningkat dengan pelaksanaan pilkada langsung. Kita tahu, betapa hebatnya penolakan masyarakat menuntut pembatalan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Namun, faktanya, pilkada yang akan dilaksanakan juga tidak lepas dari intervensi elite partai yang memang punya kepentingan lain dalam berdemokrasi.
Pesimistis
Mestinya indikasi ini sudah bisa dibaca ketika politisi di Senayan bersepakat untuk menaikkan angka ambang batas pencalonan dari jalur perseorangan sebesar 3,5 persen dari jumlah penduduk suatu daerah pemilihan. Jika dalam UU sebelumnya rentang nilai ambang batas tersebut berkisar dari 4 sampai 6,5 persen, maka dalam Pasal 41 UU No 8/2015-terkait pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota-kisarannya naik menjadi 6,5 sampai 10 persen. Akibatnya calon kepala daerah yang maju melalui jalur ini akan kesulitan memenuhi persyaratan mencalonkan diri. Strategi ini ternyata cukup berhasil menempatkan parpol pada posisi yang dominan dalam menentukan siapa yang berhak menjadi calon kepala daerah.
Dengan melihat fenomena ini, muncul rasa pesimistis terhadap akan munculnya pemimpin yang berkualitas sesuai dengan keinginan masyarakat di daerah. Dengan kata lain, tidak ada jaminan tokoh yang populer dan disukai masyarakat-kalaupun ada-akan muncul dan ikut berkompetisi dalam pilkada. Ia bisa tersingkir hanya karena tak dapat restu dari petinggi partai.
ASRINALDI A
Dosen di Jurusan Ilmu Politik, Universitas Andalas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar