Tidak sedikit yang menyuarakan untuk segera dibentuknya lembaga pangan, yang sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, akan bertanggung jawab dan berada langsung di bawah Presiden. Desakan ini muncul dari anggota DPR, akademisi, praktisi di bidang pangan, serta para pemangku kepentingan lainnya.
Desakan dari berbagai kalangan tersebut dinilai cukup beralasan, mengingat permasalahan pangan datang silih berganti mendera negeri ini. Permasalahan pangan itu di antaranya menipisnya stok beras di Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) yang berdampak pada tersendatnya penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin) dan memberikan stimulan kepada pasar terhadap kenaikan harga beras; fenomena munculnya beras plastik; merembesnya bawang merah impor ilegal di pasar tradisional di beberapa kota besar; dan-yang terkini-kenaikan harga bahan pangan , seperti bawang merah, cabai, daging ayam, daging sapi, dan telur ayam.
Pasal 126 UU No 18/2012 secara eksplisit mengamanatkan bahwa dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan. Lembaga ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Dalam proses pembentukan lembaga pangan ini, UU tersebut menegaskan harus terbentuk paling lambat tiga tahun sejak UU pangan diundangkan.
Kelemahan koordinasi
Sebagaimana diberitakan Kompas (11/6), pemerintah saat ini sedang merancang Peraturan Presiden tentang Badan Pangan Nasional (BPN). Badan ini memiliki fungsi: (a) koordinasi, pengkajian, dan perumusan kebijakan di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, konsumsi dan pengawasan keamanan pangan; (b) pelaksanaan pembinaan dan supervisi di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, konsumsi dan pengawasan keamanan pangan; (c) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan; dan (d) pengembangan dan pengelolaan data informasi pangan.
Mencermati fungsi rancangan BPN tersebut, terlihat lebih banyak mengadopsi prototipe fungsi badan ketahanan pangan (BKP) yang merupakan lembaga di bawah Kementerian Pertanian selama ini. Dalam pengelolaan pangan saat ini, selain BKP, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Bulog terdapat dewan ketahanan pangan (DKP), yang beranggotakan 16 kementerian dan dua lembaga dengan fungsi sebagai lembaga fungsional koordinatif antarkementerian/lembaga yang diketuai langsung presiden, dengan ketua harian menteri pertanian, dan ex officio adalah BKP. Namun, kenyataannya beberapa kelembagaan pangan tersebut oleh berbagai pihak dianggap belum maksimal dalam mengatasi problematika pangan di negeri ini dan sering kali termentahkan pada tingkat koordinasi.
Berkaca pada kondisi tersebut, lembaga pangan yang baru kelak harus punya otoritas, integritas, dan tugas serta fungsi yang kuat. Tidak sekadar menaikkan status BKP menjadi lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK).
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk memperkuat kewenangan dan fungsi BPN adalah menyatukan semua tugas dan fungsi yang ada di kementerian/lembaga menjadi melekat di lembaga pangan tersebut. Selain agar BPN menjadi powerful dari sisi otoritas, juga untuk mempersingkat rantai birokrasi yang begitu panjang dan tumpang tindih tugas dan fungsi selama ini.
Di sini semua kementerian/ lembaga terkait urusan pangan harus duduk bersama merumuskan tugas dan fungsi BPN. Dalam konteks tersebut, melalui wadah DKP, presiden selaku ketua DKP atau forum rapat terbatas dapat memberikan arahan kepada para pembantunya.
Opsi tersebut kemungkinan besar akan mendapat tentangan dari berbagai kementerian/lembaga terkait, mengingat urusan pangan yang dijalankan masing-masing kementerian/lembaga sudah lama dilaksanakan. Namun demikian, opsi tersebut bisa memecahkan kebuntuan lemahnya koordinasi yang terjadi selama ini. Konsekuensinya BKP dan DKP akan melebur dalam lembaga pangan tersebut.
Regulator-operator
Dengan struktur rancangan tersebut, BPN difungsikan menjadi regulator dengan fokus utama pada sisi hilirisasi. Sementara dari sisi hulu, seperti peningkatan produksi, sistem budi daya pangan, dan sebagainya masih tetap di bawah naungan kementerian teknis terkait. Adapun Bulog, dari sisi fungsi, direvitalisasi dan dikembalikan ke "khitahnya" sebagai LPNK bukan perum, seperti saat ini yang harus bermain dengan dua sisi, di satu sisi secara komersial harus profit oriented, di sisi lain harus menjalankan penugasan urusan pangan dari pemerintah. Dan, Bulog sebagai lembaga operator menjalankan hasil kebijakan dari BPN.
Dengan sarana infrastruktur Bulog yang dimiliki saat ini, seperti divisi regional yang tersebar di 26 provinsi, 130 subdivisi regional, 1.550 gudang, 132 unit pengelola gabah/beras, dan 319 unit pusat distribusi pangan/Bulog Mart menjadikan Bulog satu- satunya lembaga yang memiliki kesiapan kelembagaan dan sarana pendukung dalam pengelolaan beras dan beberapa pangan lainnya.
Dalam konteks pengelolaan cadangan pangan, hal tersebut sejalan dengan amanah Pasal 32 UU No 18/2012 tentang Pangan yang menyatakan bahwa pemerintah menugasi kelembagaan pemerintah yang bergerak di bidang pangan untuk mengelola cadangan pangan pemerintah yang didukung dengan sarana, jaringan, dan infrastruktur secara nasional.
Dalam skala yang lebih luas, BPN dapat melaksanakan pembinaan dan mengoordinasikan kegiatan Bulog dalam melaksanakan penugasan pemerintah untuk pengadaan, penyimpanan, distribusi dan stabilisasi harga pangan pokok beras, dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan pemerintah dalam rangka ketahanan pangan.
Untuk mengembalikan peran Bulog kepada "khitahnya", di atas kertas seyogianya tidak sesulit yang kita bayangkan. Ini mengingat sinyal perombakan fungsi Bulog sudah dikemukakan langsung Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan Rakernas Tim Pengendali Inflasi Daerah, 27 Mei. Artinya, tugas utama perancang kelembagaan Bulog saat ini adalah membuat peran Bulog semaksimal mungkin yang selaras dengan BPN kelak.
Oleh karena itu, sebagai hubungan regulator-operator, Bulog yang selama ini memiliki banyak "Bapak", misalkan dalam hal raskin dengan Kementerian Sosial, kemudian dalam hal pengadaan impor, operasi pasar, dan stabilisasi harga pangan dengan Kementerian Perdagangan, dan pemberian rekomendasi izin impor pangan dengan Kementerian Pertanian, dengan adanya BPN, maka Bulog akan berpatron kepada lembaga pangan baru tersebut. Dengan demikian, rantai birokrasi akan menjadi singkat dan problematika pangan yang mengemuka akan cepat diantisipasi.
Tata kerja pusat-daerah
Selain penguatan otoritas kelembagaan pangan di pusat, tidak kalah penting adalah tata kerja yang harus dibangun antara pusat dan daerah di era otonomi daerah. Kelembagaan yang menangani ketahanan pangan yang sudah terbentuk di provinsi dan kabupaten/kota menjadi modal utama untuk menjalin tata kerja antara pusat dan daerah.
Sebagai perpanjangan tangan pusat untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan di daerah, kelembagaan pangan di provinsi dan kabupaten/kota harus memiliki otoritas yang kuat, selaras dengan pembentukan organisasi sebagaimana diamanatkan dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara konseptual, tata kerja organisasi kelembagaan pangan di pusat-daerah dapat mengadopsi pola yang telah dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), di mana di provinsi ada perwakilan BPN begitu pula di kabupaten/kota.
Pada akhirnya, perubahan kelembagaan pangan yang sangat mendasar tersebut-dan memperhatikan bahwa pangan memiliki posisi yang sangat strategis dari sisi politis, sosial, budaya, ketahanan nasional, dan menyangkut hajat hidup orang banyak-maka pembentukan lembaga pangan yang didesak berbagai kalangan adalah suatu hal yang realistis dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Faktor otoritas kelembagaan pangan yang kuat dan kepemimpinan layaknya dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan guna mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan sebagaimana dicita-citakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Pembentukan lembaga ini diharapkan menjadi jembatan keterwujudan negara hadir sekaligus menjadi dirigen, laksana komposer memimpin sebuah orkestra, manakala berbagai permasalahan pangan muncul dapat diselesaikan secara paripurna. Selain itu, juga berbagai target kegiatan dalam rangka swasembada pangan dapat tercapai.
YUDHI HARSATRIADI SANDYATMA
Badan Ketahanan Pangan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Urgensi Lembaga Pangan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar