Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 22 Juli 2015

Revolusi Mental dan Korupsi (FRANS H WINARTA)

Ada dua peristiwa penegakan hukum yang melambangkan representasi bagaimana penegakan hukum saat ini dilaksanakan tidak senapas dengan politik hukum yang dicanangkan oleh pemerintah.

Tertangkapnya tiga hakim tata usaha negara di PTUN Medan- serta satu panitera dan satu advokat-di saat bulan puasa telah menghebohkan dunia hukum dan lembaga peradilan Indonesia. Peristiwa lain yang tak kurang mengejutkan dan menghebohkan adalah ketika dua komisioner Komisi Yudisial dinyatakan sebagai tersangka karena dianggap mencemarkan nama baik hakim Sarpin Rizaldi, yang mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan.

Seharusnya, dengan dua peristiwa tersebut dan peristiwa lain yang kurang mencerminkan semangat "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi, Presiden Jokowi tidak begitu saja menyerahkan persoalan penegakan hukum kepada penegak hukum. Jokowi perlu mengajak diskusi Mahkamah Agung, KPK, KY, dan organisasi advokat untuk menjelaskan politik hukum pemerintah tentang "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi. Lewat diskusi itu diharapkan misi dan visi politik hukum pemerintah dapat ditunjang dengan penegakan hukum yang anti korupsi dan mencerminkan semangat "Revolusi Mental" yang ia dicanangkan.

Pemisahan kekuasaan bukanlah berarti di antara kekuasaan eksekutif dan legislatif bekerja terpisah secara mutlak, tetapi dapat bersinergi untuk mencapai satu tujuan: menunjang dan mengegolkan politik hukum pemerintah. Dengan demikian, penegakan hukum akan selaras dengan "Revolusi Mental" dan program pemberantasan korupsi.  Pemisahan kedua kekuasaan eksekutif dan yudikatif adalah agar saling mengawasi satu terhadap yang lain, tetapi bukan berarti tidak bekerja sama secara selaras dan bersinergi.

MA sebagai pengawas para hakim dapat saja minta hakim Sarpin menarik laporannya tentang pencemaran nama baik oleh kedua komisioner KY karena ada tujuan yang lebih besar dan penting, yaitu politik hukum pemerintah. Begitu juga MA, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, KY, dan organisasi advokat dapat menuntaskan perkara suap di PTUN Medan sampai tuntas dengan menjatuhkan sanksi kepada yang bersalah senapas dengan politik hukum pemerintah.

Membongkar dan menyelesaikan perkara ini secara tuntas diikuti dengan sanksi administratif bagi tiga hakim dan satu panitera serta pemecatan advokat oleh organisasi advokat. Penuntasan dan penyelesaian perkara ini ditunggu masyarakat tidak saja berhenti pada lima pelaku (tersangka) perkara suap itu, tetapi juga membongkar siapa yang berada di belakang layar dan merekayasa suap tersebut.

Kejar sampai ke akarnya

Di masa lalu sering kali perkara berhenti pada pelaku suap, baik yang menyuap maupun yang menerima suap, tetapi pencipta skenario itu terabaikan dan tidak dicari sampai tuntas ke akarnya. Pemberantasan korupsi yang berhenti sampai pada pelaku saja, tidak membongkar sampai ke akarnya, mencerminkan pemberantasan korupsi setengah hati dan kemungkinan besar tidak akan sukses ke depannya.

Korupsi yudisial, termasuk suap di lembaga peradilan, sudah menjadi pengetahuan umum dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, tidaklah berlebihan jika lembaga peradilan, lembaga penegak hukum, KPK, KY, dan organisasi advokat harus bekerja sama secara terpadu menghadapi praktik korupsi yang masif dan marak ini.

Sering kali kita mendengar pejabat eksekutif menegaskan untuk tidak campur tangan: biarlah proses hukum yang berjalan. Pernyataan seperti ini tidak benar seratus persen karena bagaimana politik hukum pemerintah dapat memberantas korupsi jika program ini tidak ditunjang oleh seluruh lembaga peradilan, lembaga penegak hukum, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, KY, dan organisasi advokat yang ada. Begitu pula "Revolusi Mental" harus dijelaskan apa maksud yang sebenarnya. Ini agar ke depan tidak terjadi lagi hal-hal seperti kedua peristiwa hukum tadi, yang sama sekali tidak mencerminkan politik hukum memberantas korupsi dan "Revolusi Mental".

Akhir kata, dalam memberantas korupsi yang masif dan marak diperlukan sinergi antara pemerintah dan lembaga peradilan serta unsur-unsur penegak hukum dan profesi hukum. Hal ini agar tingkat korupsi di Indonesia dapat ditekan ke tingkat yang serendah-rendahnya.

FRANS H WINARTA

KETUA UMUM PERADIN; DEWAN PENYANTUN YLBHI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Revolusi Mental dan Korupsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger