Sebagai organisasi sosial keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) terbukti berhasil menciptakan dukungan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Paling tidak, menurut survei LSI tahun 2013, jumlah warga nahdliyin mencapai 36,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Namun, yang menarik dari sepanjang sejarah NU ketika terseret ke dalam politik praktis, dari Pemilu 1955 hingga 2009, suara NU tidak pernah melebihi 19 persen perolehan suara nasional.
Kembali (lagi) ke "khittah"
Pertanyaan yang patut diajukan: kenapa? Ada kesenjangan yang lebar antara realitas masyarakat yang 36,5 persen lebih mengaku sebagai orang NU dan perolehan suara partai politik yang mengklaim dirinya NU.
Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan realitas ini, di antaranya data di atas menunjukkan bahwa kekuatan besar NU bukan di kekuatan politik partai, melainkan pada jaringan kekuatan kultural. Itu artinya, mayoritas massa NU memiliki sikap politik relatif otonom dalam pilihan politiknya. Upaya melakukan penggiringan massa NU ke dalam satu partai tidak hanya akan sia-sia, tetapi juga ternyata kurang banyak manfaatnya bagi masyarakat NU yang masih cukup banyak berada dalam garis kemiskinan.
Mayoritas warga nahdliyin tinggal di pedesaan, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS per September 2014, Jatim dan Jateng merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, masing-masing 4,74 juta orang dan 4,56 juta orang. Dari 4,74 juta orang miskin di Jatim, yang merupakan basis utama pendukung NU, sebanyak 3,21 juta orang atau 68 persen tinggal di pedesaan.
Gambaran itu sedikit banyak menunjukkan, sebagian besar warga NU kini terjerat kemiskinan. Upaya Gus Dur (alm) mendirikan partai yang mewadahi orang-orang NU di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1999 tepat dalam konteks upaya mencoba merespons perubahan politik kepartaian yang semakin menguat seiring bergulirnya reformasi demokrasi 1998. Namun, setelah empat kali pemilu, ternyata suara PKB bukannya meningkat, melainkan justru cenderung merosot dibandingkan awal berdirinya pada 1999.
Dalam konteks realitas masyarakat NU yang semakin cerdas dan kritis, kini salah satu agenda mendesak yang harus dijadikan prioritas pengambilan keputusan adalah mengembalikan NU ke rel perjuangannya yang telah dipatri oleh KH Hasyim Asy'ari dan para pendiri NU lainnya, yang disebut Khittah 26. Ketetapan Khittah NU 26 menggariskan bahwa berpolitik adalah pribadi warga NU. Dengan demikian, NU tak terkait secara organisatoris dengan partai politik mana pun. Upaya sebagian pihak yang tetap berusaha menyeret NU ke dalam satu partai tidak hanya telah mengkhianati semangat para pendiri NU, tetapi juga akan mengecilkan citra NU sebagai kekuatan ormas terbesar di Indonesia.
Kerugian NU jika terus-menerus "dibajak" satu partai bukan hanya akan makin mengerdilkan pengaruh politiknya di pentas Indonesia, melainkan juga berisiko misi utamanya sebagai organisasi sosial keagamaan untuk mengurusi pemberdayaan umatnya di bawah jadi telantar. Harus diakui, dalam era demokrasi "semiliberal" saat ini, saat hampir semua pemilihan jabatan politik dilakukan langsung oleh rakyat, NU mengalami godaan politik sangat besar. Semenjak bertiup demokrasi partisipatoris pasca 1998, para pemimpin NU disibukkan oleh perebutan kekuasaan dari pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan DPR/DPRD. Sementara kerja-kerja sosial NU untuk melayani umat yang merupakan misi utama NU, seperti pemberdayaan bidang pendidikan, pesantren, dan dakwal bil-hal, kurang mendapat porsi memadai.
Secara sederhana, kondisi NU ketika berusaha dieksploitasi ke satu partai pasca reformasi saat ini, kue politik dan ekonomi sebagian besar hanya dinikmati kalangan elite, tetapi kurang dinikmati kaum alit (umat di bawah). Ini bukti nyata warga NU hanya dijadikan komoditas pengepul suara dalam pemilu oleh partai yang sering melakukan pencitraan di media dan publik sebagai "Partainya Orang NU".
Atas dasar berbagai pertimbangan di atas, menegaskan kembali Khittah 26 serta mengambil jarak yang sama ke semua partai politik dalam muktamar di Jombang, 1-5 Agustus 2015, adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar. Itu kalau NU tak ingin di masa depan semakin tergelincir ke jurang perpecahan politik dan krisis kepercayaan di kalangan umatnya yang di bawah.
Namun, dalam situasi "partai politik sebagai panglima" saat ini, mengharapkan NU hanya sebagai organisasi puritan semata mengurus kegiatan sosial juga tak realistis. Para pemimpin NU hasil muktamar di Jombang nanti harus tetap memiliki inisiatif melakukan kontak-kontak ke semua partai. NU harus menjadi payung bagi kadernya yang menyebar ke semua partai yang ada dan harus bersikap tegas terhadap pemimpin partai yang berusaha melakukan manipulasi sebagai wadah tunggal aspirasi NU seperti iklan Pemilu 2014 dan 2009.
Hanya dengan mempertegas independensi politik NU dan secara bersamaan tetap kreatif merajut kadernya di semua partai, kebangkitan kembali NU secara menyeluruh akan bisa dicapai. Penyebaran kader NU ke semua lini, termasuk partai, akan lebih menguntungkan karena tidak hanya memudahkan NU agar tidak mudah terkena "limbah konflik" partai, tetapi NU juga akan menjadi sandaran semua kelompok partai politik.
Reorientasi peran NU
Reorientasi peran politik NU ke depan juga harus lebih banyak diarahkan untuk menjadi garda moral bagi umat dan bangsa. NU bisa tetap berpolitik, tetapi lebih banyak sebagai moral force seperti yang sering diistilahkan salah satu tokoh NU terkenal, KH Achmad Sidiq. Sebagai suatu kekuatan moral, NU tidak perlu terseret ke dalam pusaran perebutan kekuasaan. Namun, NU harus bersikap dalam upaya penegakan, yang dalam bahasa NU lebih mudah dikenali dengan istilah kekuasaan yang amanah. Dalam bingkai ini, NU tidak boleh diam dan berpangku tangan terhadap penyimpangan kekuasaan atau kekuasaan korup.
Jargon NU yang terkenal semenjak berdirinya sebagai kekuatan penyeimbang (tawassuth) hanya akan menjadi idiom yang sulit diimplementasikan jika para pemimpin NU nanti masih berorientasi ke perebutan kekuasaan, apalagi hanya menjadi tunggangan ambisi salah satu pemimpin partai politik. Independensi politik NU akan membuatnya lebih bisa berkonsentrasi mengurusi umatnya yang justru memiliki implikasi positif dalam jangka panjang.
Posisi ini memungkinkan NU berkembang sebagai kekuatan sosial yang semakin besar dan berpengaruh di masa depan. Sebab, semua kelompok politik akan membutuhkan dukungan dari organisasi berbasis pesantren dan kiai ini. Kebutuhan legitimasi semua partai besar dan calon pemimpin Indonesia yang ada di Tanah Air itu akan membuat NU mendapat berkah bantuan dari banyak pihak. Sebaliknya, jika NU dalam muktamar di Jombang ini tetap tak bisa menegaskan independensi atau menjaga jarak ke salah satu parpol, akan banyak kerugian yang didapat. Semoga peserta Muktamar NU bisa menahan godaan pragmatisme sehingga bisa mengambil keputusan terbaik bagi NU.
M AMINUDIN
DIREKTUR INSTITUTE FOR STRATEGIC AND DEVELOPMENT STUDIES; PENGURUS PIMPINAN PUSAT GP ANSOR 2001-2013
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Urgensi Pertegas Independensi NU".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar