Jelas pandangan ini harus dipertajam karena yang akan habis hanyalah minyak dan gas bumi (migas), sedangkan energi fosil lain, batubara, masih tersedia sangat banyak. Batubara justru dapat menjadi energi masa depan pengganti migas. Batubara pertama kali digunakan secara komersial di Tiongkok sekitar 1000 Sebelum Masehi (SM), antara lain untuk mencairkan tembaga dan mencetak uang logam. Bangsa Romawi mulai menggunakannya sekitar 400 SM. Penemuan revolusional mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batubara.
Gasifikasi dan likuifikasi
Peran batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang dengan kian meningkatnya pemakaian minyak. Sejak 1960, minyak bumi menempati posisi teratas sebagai sumber energi utama menggantikan batubara. Dibandingkan migas, kekurangan batubara adalah bentuk yang berupa padatan sehingga transportasi dengan pipa sulit dilakukan.
Namun, sudah ada teknologi yang dapat mengatasi masalah itu. Pertama, gasifikasi. Gasifikasi batubara adalah pengubahan batubara dari bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas. Dalam perubahan batubara padat menjadi gas, materi yang tidak diinginkan yang terkandung dalam batubara, seperti senyawa sulfur dan abu, dihilangkan dengan menggunakan metode tertentu sehingga dihasilkan gas bersih dan dapat dialirkan sebagai sumber energi sebagaimana gas alam konvensional. Teknologinya sebenarnya sudah lama dikenal. Sejak awal abad ke-19 sampai sekitar 1960, suplai gas kota berasal dari batubara.
Dari segi keekonomian, proyek gasifikasi batubara untuk pembangkitan tenaga listrik biasanya butuh biaya lebih besar dibandingkan PLTU batubara biasa dengan kapasitas lebih kurang sama. Namun, jika diperhitungkan berbagai keuntungan seperti diuraikan di atas, kerugian-kerugian itu dapat tertutup.
Kedua, likuifikasi. Likuifikasi batubara adalah pengubahan batubara padat menjadi bahan bakar cair. Pencairan dibedakan antara indirect coal liquefaction (ICL/secara tak langsung) dan direct coal liquefaction (DCL/secara langsung). ICL adalah pencairan batubara melalui tahapan gasifikasi, sedangkan DCL dari bentuk padat langsung ke cair.
Meski tidak sepanjang sejarah gasifikasi batubara, sejarah likuifikasi batubara juga cukup panjang, sekitar satu abad. Jerman memanfaatkan bahan bakar batubara cair dalam Perang Dunia (PD) I dan PD II. Pada PD II, 92 persen bahan bakar untuk pesawat terbang dan 50 persen untuk BBM berasal dari batubara. Angkatan perang Jepang juga memanfaatkan bahan bakar cair dari batubara pada PD II.
Likuifikasi batubara dengan teknologi lebih canggih dapat menghasilkan BBM sintetis untuk menyuplai berbagai kebutuhan energi dalam negeri. Hal ini terbukti dengan kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetis dari batubara yang dikembangkan pada masa Afrika Selatan harus menghadapi embargo negara penghasil minyak karena kebijakan apartheidnya. Afsel memproduksi bahan bakar cair dari batubara sejak 1955.
Investasi pengolahan
Negara-negara lain juga telah mengembangkan proyek-proyek likuifikasi batubara dengan teknologi lebih mutakhir, seperti AS, Jerman, Jepang, Australia, dan India. Namun, Afsel dan Tiongkok adalah yang terdepan dalam upaya ini. Setiap ton batubara padat yang diolah (dalam reaktor Bergius) dapat menghasilkan 6,2 barrel BBM sintesis berkualitas tinggi. Bahan ini dapat dipergunakan sebagai pengganti BBM pesawat jet, mesin diesel, serta bensin dan BBM biasa. Kualitas batubara cair yang dihasilkan sama dengan minyak mentah dan harga jualnya bisa bersaing. Menurut sebuah studi, batubara cair akan ekonomis pada harga minyak 48 dollar AS-75 dollar AS per barrel, lebih kurang pada tingkat harga sekarang.
Teknologi pengolahannya juga cukup ramah lingkungan. Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lain), limbah itu masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal. Bahkan, sisa gas hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan jadi bahan bakar. Walaupun investasi awal kilang batubara cair lebih mahal dibandingkan kilang minyak bumi dan biodiesel, harga bahan bakunya lebih murah sehingga konversi ke BBM berbasis batubara sangat sesuai untuk pemanfaatan cadangan batubara muda, yang tidak mudah pemasarannya. Ini khususnya bagi Indonesia mengingat potensinya besar, sekitar 23 miliar ton (60 persen cadangan nasional) atau setara 37 miliar barrel bahan bakar cair sintetis.
Di tengah kebutuhan energi yang meningkat, bangsa Indonesia dilelahkan oleh permasalahan BBM, subsidi, dan impornya. Ketergantungan pada BBM sebagai sumber energi utama perlu dikurangi. Upaya memanfaatkan batubara guna menggantikan gas bumi untuk berbagai kebutuhan dan menggunakan batubara cair guna mengganti minyak diesel (MFO) untuk PLTD, terutama di daerah terpencil, mengganti gas bumi dalam pengusahaan minyak (EOR) dan operasi kilang LNG, serta mengganti LSWR di kilang minyak (refinery) akan menguntungkan ekonomi nasional.
Dukungan kuat pemerintah diperlukan pada tahap awal investasi, tetapi dalam jangka menengah keekonomiannya akan terpenuhi secara komersial, seperti Afsel dalam hal batubara dan Brasil dalam halbiofuel. Intinya, harus diambil kebijakan visioner berdampak jangka panjang, tetapi harus segera dimulai dari sekarang. Pertanyaannya, jika emerging economies lain, seperti Afsel, Brasil, dan Tiongkok, berani dan berhasil mengambil langkah-langkah besar guna mengamankan ketahanan dan kemandirian energi untuk mendukung ketahanan dan kemandirian ekonominya, mengapa Indonesia tidak bisa?
GINANDJAR KARTASASMITA
Menteri Pertambangan dan Energi Periode 1988-1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar