Blok Masela-yang memiliki cadangan terbukti gas buminya sebesar 10,73 triliun kaki kubik (TCF)-termasuk di dalamnya karena isu ini sebagai pintu masuk pengembangan investasi lanjutan di kawasan tersebut.
Blok Masela adalah lahan gas yang berada di sekitar Pulau Masela. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar, dari 92 pulau terluar di Indonesia, terletak di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) dan berbatasan dengan Australia dan Timor Leste.
Kandungan gas kawasan ini sarat dengan kepentingan nasional sehingga semua keputusan harus mendasarinya. Ukuran kepentingan ini beragam. Mulai dari kepentingan masyarakat lokal, swasta nasional, sampai negara secara berimbang. Prinsip ini patut dipegang teguh karena sekali keputusan diambil, soal bagaimana mengelolanya dan siapa pengelolanya, maka ke depan cadangan di sekitar kawasan tersebut akan dengan mudah dikembangkan. Bahkan juga menguntungkan karena dapat menggunakan jasa fasilitas yang sudah tersedia.
Kita tidak anti investor asing, tetapi mereka harus tunduk pada kebijakan nasional. Ada dua pemicu lemahnya posisi tawar kita, yaitu aplikasi teknologi dan kemampuan investasi. Keduanya bisa membuat pemerintah tertekan untuk mengikuti keinginan investor.
Inpex Corporation (Jepang) tentu sangat berkepentingan dengan produksi gas untuk kepentingan bangsanya sehingga mereka termotivasi untuk berinvestasi. Sementara Shell (Belanda) memiliki keunggulan dari sisi introduksi teknologi. Maka, kemungkinan ancaman mengundurkan diri dalam proses investasi akan selalu ada jika keinginannya tidak terakomodasi.
Apakah sebagai bangsa kita merasa kiamat jika ancaman di atas menjadi kenyataan? Jawabannya tentu "tidak". Maka, pemerintah perlu mengantisipasi kemungkinan terburuk dengan mempersiapkan Pertamina karena BUMN ini telah memiliki pengalaman yang mumpuni. Soal investasi, sepanjang profitabilitasnya jelas, maka kekuatan nasional bisa diarahkan untuk merealisasikannya sebagai bentuk semangat nasionalisme.
Pemerintah juga harus mengaitkan agenda ini dengan pertumbuhan industri nasional ke depan. Caranya dengan mempersiapkan langkah untuk membangun industri berbasis bahan baku gas yang bermanfaat bagi ekonomi setempat di samping LNG, seperti halnya pupuk, metanol, beserta kawasan industrinya sehingga mimpi tol laut bisa terealisasi secara gradual karena membangkitkan dinamika perniagaan kawasan. Isu ini tentu saja merupakan domain Kementerian Perindustrian.
Asa masyarakat
Masyarakat Maluku tidak pernah menyangka bahwa kelak ditemukan sumber daya alam strategis ini di wilayah pijakannya. Karena mereka tahu bahwa sumber daya alam wilayah ini tidaklah beragam seperti di Kalimantan, Sumatera, ataupun Papua.
Selama ini yang menjadi kebanggaan masyarakat Maluku hanyalah potensi perikanannya. Itu pun komoditas ini tidak mampu mengurangi persentase jumlah penduduk miskin di provinsi ini hanya karena kegagalan pengelolaan (baca: "Kelautan dan Perikanan: Kaya, tetapi Miskin"; Kompas, 28 September 2015). Kasus Benjina menjadi bukti ukuran kegagalan dimaksud. Fakta ini memberikan pembelajaran soal perlunya konsistensi pengelolaan sesuai hukum dan peraturan perundang-undangan dan penegakannya oleh aparatur di lapangan. Masyarakat Maluku melihat sumber daya alam ini sebagai berkat Tuhan untuk memperbaiki tekanan ekonomi mereka.
Di atas laut versus di darat
Ada hal menarik untuk dicermati soal keuntungan dan kelemahan jika dilakukan pengolahan di atas laut dan di darat. Ada kesan yang dicobakan penjustifikasiannya bahwa sistem terapung lebih murah (baca: "Cadangan Gas Masela Lebih Besar: Investasi LNG Terapung Murah"; Kompas, 25 September 2015). Dari berita ini terlihat ada pro-kontra soal dua pilihan ini.
Contohnya, kepala SKK Migas memilih pengolahan di atas laut, sementara Menko Kemaritiman Rizal Ramli memilih sebaliknya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil jalan tengah dengan berupaya mengevaluasi kedua opsi ini dengan kehati-hatian, melibatkan sebanyak-banyaknya semua pemangku kepentingan.
Padahal, perbedaan biaya konstruksi dari kedua opsi itu sangat kecil jika dibandingkan dengan total revenue yang akan didapat dari produksi gas lapangan Masela. Jadi, untuk apa diperdebatkan? Lebih baik kita mengkaji opsi mana yang lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia, khususnya masyarakat di sekitar Masela.
Jika masyarakat Maluku dimintai pendapat tentang hal ini, mereka sangat tidak sependapat dengan pilihan di atas laut (floating). Mengapa? Pertama, mereka berpendapat bahwa kandungan sumber daya alam di suatu daerah merupakan posisi tawar. Maka, kalau diterapkan floating system sama dengan menghilangkan atau melemahkan posisi tawar dimaksud. Banyak bukti soal ini di Kalimantan Timur dengan kehadiran PT Pupuk Kalimantan Timur di Kota Bontang dan dengan sistem pengolahan di darat menyebabkan pesatnya kemajuan kota ini.
Kedua, dengan memilih opsi di atas laut apakah kita bisa memantau aktivitas produksinya secara detail? Jangan-jangan pengelola tahu kelemahan pengawasan kita sehingga didorong ke pilihan ini sedemikian sehingga tidak ada akses untuk publik melakukan fungsi kontrol terhadap aktivitas pengolahannya.
Tugas terpenting Kementerian ESDM sebelum tanggal 10 Oktober, antara lain, pertama, melakukan pengujian soal kebenaran besaran investasi di atas laut dan di darat karena ada pendapat yang berlawanan dengan rekomendasi SKK Migas. Kedua, kalau opsi pengolahan di darat yang diambil, besaran investasi pun dapat dibedah oleh sumber daya manusia nasional kita sebagai opini pembanding.
Dengan begitu, Menteri ESDM dapat mengambil keputusan rasional untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan dengan tidak hanya membandingkan soal mahal-murah biaya konstruksinya. Lebih dari itu, juga harus mempertimbangkan opsi mana yang lebih besar manfaatnya dan ini tentunya bagi negara dan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat sekitar wilayah Masela.
ALEX RETRAUBUN
MANTAN WAKIL MENTERI PERINDUSTRIAN DAN GURU BESAR UNIVERSITAS PATTIMURA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar