Jauh di bawah angka yang pernah dicapai dalam tiga tahun terakhir. Akhir Agustus, pemerintah menargetkan pengadaan pada September sebanyak 1,4 juta ton, terealisasi hanya 30 persen.
Apabila memahami logistik beras, merancang target tinggi pada musim gadu sangat tidak lazim dan "melawan" pasar beras yang telah normal. Kemampuan Bulog dalam menyerap gabah/beras pada bulan puncak panen raya saja (April-Mei) paling tinggi 1 juta ton per bulan. Hingga Januari 2016, hampir tak mungkin lagi ada tambahan pengadaan Bulog karena telah memasuki musim paceklik dan harga gabah/beras sudah tinggi.
Mengapa Bulog masih sulit dalam memenuhi pengadaan gabah/beras dalam negeri yang tinggi? Padahal, sejumlah direksi Bulog telah diganti, khusus direktur pengadaan dibentuk agar lebih fokus tidak terpecah perhatiannya dengan penyaluran. Pada saat yang sama, tim gabungan kementerian pertanian dan Bulog dibangun. Mereka sangat intensif mengunjungi lapangan, memonitor dan menginformasikan data ke Bulog daerah tentang waktu, luas panen, dan harga.
TNI AD/Polri pun dilibatkan di lapangan. Para petani penerima bantuan dan pengusaha penggilingan padi satu per satu didatangi TNI bersama dengan dinas pertanian setempat (Kompas, 4/9). Babinsa aktif mencarikan gabah/beras untuk Bulog. Di beberapa tempat, misalnya NTB dan Sulsel, perdagangan gabah/beras antarwilayah/provinsi dihambat, digiring agar disalurkan ke Bulog. Para pedagang/pengusaha penggilingan padi "takut" menyimpan stok walau untuk kebutuhan normal. Perdagangan beras antarwilayah/pulau lesu, tetapi harga beras tinggi dan cenderung naik.
Tampaknya, sejumlah asumsi pemerintah kurang tepat, di antaranya stok beras banyak dipegang pelaku usaha/penggilingan padi dan angka produksi padi/beras tinggi pada musim gadu. Di pihak lain, Bulog overshootingdalam melakukan pengadaan beras komersial dengan menetapkan harga tinggi sehingga menjadi acuan harga beras untuk semua kualitas. Perang harga pun terjadi antara Bulog (sebagai perusahaan besar) dan para pedagang/penggilingan padi untuk merebut gabah/beras yang jumlahnya terbatas dan kualitasnya bagus pada panen musim gadu.
Akibatnya adalah harga gabah/beras tinggi, naik dengan laju yang lebih cepat akhir-akhir ini, akan berlangsung hingga awal tahun depan. Pada minggu keempat September, harga beras kualitas medium di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, telah mencapai Rp 9.040 per kg, atau Rp 1.600 lebih tinggi di atas harga pada minggu yang sama 2014, atau mendekati "harga mafia" yang pernah terjadi pada minggu keempat Februari yang mencapai Rp 10.090 per kg.
Stok beras tidak aman
Dalam beberapa minggu terakhir, Presiden menyatakan stok beras nasional aman, terakhir tanggal 3 Oktober lalu (Kompas, 4/10). Apakah itu suatu pernyataan politik? Data stok memperlihatkan sebaliknya.
Pemerintah tidak mempunyai cadangan beras pemerintah (CBP), minus sejak Maret lalu. Situasi minusnya CBP dalam jangka lama seperti tahun ini tidak pernah terjadi sehingga pemerintah tidak punya "amunisi" untuk menstabilkan harga beras. Sungguhpun pemerintah dapat mengisi CBP dengan beras komersial (premium) Bulog yang jumlahnya 700.000 ton, itu tidak mengubah posisi kekuatan stok beras nasional karena hanya memindahkan pencatatan.
Pemerintah sangat mengandalkan program beras untuk rakyat miskin (raskin) guna meredam kenaikan harga pada bulan-bulan mendatang, dirancang penyaluran raskin bulan ke-13 (Oktober sebanyak 460.000 ton) dan bulan ke-14 (November dalam jumlah yang sama). Hingga September, Bulog telah menghabiskan stok beras sebesar 2,1 juta ton untuk program raskin, dengan pagu tahun ini termasuk raskin ke-13 dan ke-14 mencapai 3,3 juta ton. Suatu angka penyaluran beras yang terlalu besar, yang dapat membuat Bulog terperangkap dengan impor beras, tak sebanding dengan pengadaan anggaran pelayanan publik (PSO) plus komersial yang paling tinggi 2,5 juta ton.
Pada akhir September, stok beras Bulog tinggal 1 juta ton, cukup untuk penyaluran PSO hingga Januari 2016. Namun, kalau raskin ke-13 dan ke-14 jadi disalurkan, ditambah dengan operasi pasar sebesar 300.000 ton, stok akhir tahun Bulog minus sekitar 1 juta ton, yang tidak pernah terjadi selama Bulog didirikan.
Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dua hal berikut. Pertama, pemerintah jangan terlalu percaya diri dengan situasi stok beras nasional sekarang ini, taruhan politiknya terlalu tinggi. Plan B seharusnya telah diputuskan sejak Agustus setelah menganalisis pertumbuhan produksi beras, stok Bulog, harga beras di pasar, dan iklim. Kedua, pemerintah sebaiknya "memperkuat" lembaga Bulog untuk kepentingan jangka panjang, bukan seperti sekarang ini sangat ad hoc, kepentingan sesaat demi hasrat politik jangka pendek. Semoga pemerintah tidak salah langkah, yang akan berdampak terhadap biaya sosial dan ekonomi tinggi.
M HUSEIN SAWIT
Senior Advisor Perum Bulog 2003-2010, Tim Ahli Kepala Bulog 1996-2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar