Peringkat ini disusun oleh Global Firepower berdasarkan indeks kekuatan (power index) perang konvensional yang mereka kembangkan sendiri. Ada enam faktor kekuatan utama yang membentuk indeks ini, yaitu sumber daya manusia (SDM), angkatan darat, angkatan udara, angkatan laut, sumber daya alam (SDA) khususnya minyak, logistik, keuangan, dan geografis.
Kalau didetailkan faktor-faktor itu di antaranya adalah, jumlah penduduk, jumlah tentara yang aktif, jumlah tentara cadangan, jumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) angkatan darat, laut, dan udara, jumlah angkatan kerja, panjang dan jangkauan jalan kereta api, jalan raya, pelabuhan dan terminal, magnitudo belanja militer, utang luar negeri, cadangan devisa dan emas, paritas daya beli, luas daratan, panjang garis pantai, garis perbatasan dengan negara lain, dan lain-lain. Penguasaan dan kemampuan senjata nuklir dan perang virtual tidak diperhitungkan dalam indeks ini.
Kekuatan pokok minimum
Masa sih kekuatan militer kita di peringkat ke-12 sementara kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Forces/MEF) saja belum terpenuhi? Konsep MEF dikembangkan Menteri Pertahanan di era Juwono Sudarsono dan dipidatokan oleh Presiden SBY pada 2005. MEF kita saat ini masih di bawah 50 persen.
Berikut contoh konkretnya. Untuk melindungi dan mengamankan teritorial maritim yang luas, sedikitnya diperlukan 12 kapal selam. Kita baru akan punya tujuh. Dua sudah beroperasi, tiga sudah dibeli, tetapi masih dirakit di galangan kapal Korea Selatan, dua lagi akan dibeli pada tahun fiskal 2016, mungkin dari Rusia. Praktis sebenarnya kita baru punya dua kapal selam yang beroperasi. Itupun karena usia, harus dikandangkan dalam lima tahun ke depan.
Kita memang harus hati-hati membaca, menafsirkan, apalagi mau mengambil kebijakan dari publikasi peringkat kekuatan militer ini . Publikasi indeks kekuatan itu tidak memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pertama, GFP tidak transparan dalam metode yang dipakai dalam menyusun indeks. Memang disebut faktor-faktor yang menyusun indeks, tetapi tak cukup. Perlu dijelaskan pada khalayak bagaimana desain riset, termasuk instrumen, teknik pengumpulan , dan analisis data. Dalam survei lintas negara untuk indeks keterbukaan anggaran atau indeks korupsi, misalnya, ada mekanisme mengecek hasil survei secara berjenjang.
Hasil survei dari tingkat pertama yang dikerjakan oleh peneliti utama itu kemudian diperiksa dan ditinjau ulang oleh orang yang punya keahlian sama, selanjutnya direfleksikan pada praktik terbaik yang sudah ada, dan terakhir juga diperiksa dan dimintakan tanggapan dari pemerintah yang jadi obyek kajian.
Kedua, GFP tidak akuntabel. Ia tak menjelaskan siapa dirinya dan eksistensinya. Kita tak tahu mengapa dan untuk apa GFP mengembangkan indeks ini. Demikian juga kita tak tahu siapa saja dalam GFP, apa visi, misi, strateginya. Absennya dua hal ini menjadikan indeks ini tak sekelas dengan Indeks Rahasia Keuangan yang dikembangkan Tax Justice Network, indeks risiko korupsi militer dan alutsista yang dikembangkan Transparency International-Inggris (TII-UK), atau indeks keterbukaan anggaran yang dikembangan International Budget Partnership.
Dari perspektif gerakan anti korupsi, mungkin lebih menarik memetakan kekuatan tata kelolanya ketimbang kekuatan militernya. Tata kelola institusi militer yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan patuh pada hukum penting untuk dapat menekan risiko korupsi pada level minimum. Dari 20 negara, militer Mesir (F) dan Indonesia (E) yang paling tinggi risiko korupsinya. Sementara AS (B), Rusia (D-), Tiongkok (D-), India (D+), Inggris (B), Perancis (C), Korea Selatan (B), Jerman (A), Jepang (C), Turki (D-), Israel (D+), Australia (A), Taiwan (B), Italia (C), Pakistan (D-), Polandia (C), dan Thailand (D+).
Negara yang kuat militernya dan risiko korupsinya kecil adalah AS, Jerman, Australia, Inggris, dan Perancis. Sedangkan negara yang kuat militernya, namun risiko korupsinya juga tinggi adalah Rusia, Tiongkok, dan India.
Selain dua keberatan itu, meski cukup informatif, indeks dan peringkat ini kurang relevan karena pengembangan dan penguatan postur pertahanan kita tak ditempatkan dalam konteks persaingan dan perlombaan kekuatan dengan negara lain. Apalagi untuk agresi dan intervensi ke kedaulatan lain. Pembangunan postur kekuatan pertahanan kita lebih diarahkan pada kemampuan mencegah dan menangkal ancaman dari alam dan luar negeri. Karena itu, pembangunan pertahanan, paling tidak sampai 2024, lebih ditekankan pada pemenuhan MEF.
Pembangunan postur pertahanan kita dibagi ke dalam tiga babak pemenuhan MEF, tahap I (2010-2014), tahap II (2015-2019), dan tahap III (2020-2024). Mungkin nanti setelah MEF terpenuhi kita tertarik juga menjelajahi perairan internasional, seperti halnya AS, Rusia, dan Tiongkok. Kalau ini terjadi, mungkin kita harus punya beberapa kapal induk. Kelihatannya itu masih jauh karena saat ini kita dihadapkan pada masalah melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kementerian Pertahanan dan TNI sudah mulai merasakan secara langsung dampak dari pelambatan ekonomi ini. Tahun fiskal 2016, anggaran Kemenhan mengerut sekitar Rp 7 triliun atau 6,3 persen, dari tahun sebelumnya Rp 102,2 triliun menjadi Rp 95,9 triliun.
Mengoptimalkan kontrak tambahan
Bisakah memenuhi atau sekurangnya mempertahankan capaian MEF justru ketika ekonomi melambat dan anggaran dipangkas? Bisa. Ada dua langkah yang bisa dikembangkan. Pertama, menekan risiko korupsi menjadi sekecil mungkin. Kedua, mengoptimal kontrak tambahan (offset contract) dalam pengadaan alutsista. Dari perspektif gerakan anti korupsi, sebenarnya mungkin lebih menarik memetakan kekuatan tata kelolanya ketimbang kekuatan militernya. Tata kelola institusi militer yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan patuh pada hukum penting untuk dapat menekan risiko korupsi pada level minimum.
Bukan hanya sadar, Kemenhan dan TNI sudah mengambil tindakan nyata untuk mengatasi tingginya risiko korupsi di tubuh militer. Agustus 2014 lalu Jenderal Moeldoko sudah mendeklarasikan zona integritas dan wilayah bebas korupsi di lingkungan TNI. Beberapa tindakan lanjut sudah dilakukan di antaranya pelatihan anti korupsi untuk perwira .
Tantangan Panglima TNI baru, Jenderal Gatot Nurmantyo, adalah melanjutkan komitmen ini dengan memperdalam dan memperluas implementasi zona integritas dan wilayah bebas korupsi di lingkungan TNI. Misalnya, dengan makin meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengadaan alutsista, memperbaiki manajemen gratifikasi, meningkatkan kepatuhan dalam melaporkan kekayaan, dan lain-lain.
Dalam pengadaan alutsista selain kontrak utama, ada juga kontrak tambahan yang langsung dan tidak langsung. Kontrak tambahan langsung, misalnya, dalam bentuk transfer teknologi atau produksi bersama alutsista yang dibeli. Kontrak tidak langsung, misalnya, berupa pembangunan rumah sakit atau perumahan bagi prajurit. Kontrak tambahan dalam pengadaan alusista yang nilainya triliunan rupiah itu harus dioptimalkan untuk kepentingan pengembangan dan penguatan industri pertahanan dalam negeri dan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Negosiasi dagang pengadaan alutsista dengan Rusia nanti dalam pengadaan Sukhoi-35 dan kapal selam harus diarahkan misalnya pada: 1) peningkatan kemampuan PT Dirgantara Indonesia memproduksi pesawat tempur atau suku cadang pesawat tempur, 2) peningkatan PT PAL dalam memproduksi kapal selam atau suku cadang kapal selam, 3) peningkatan kemampuan PT Pindad dalam memproduksi dan memasarkan persenjataan militer, dan 4) peningkatan kesejahteraan prajurit dengan membangun rumah sakit atau perumahan prajurit.
Belanja alutsista yang nendang memang harus begitu. Ini tantangan besar bagi Menhan dan Panglima TNI.
DEDI HARYADI
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "TNI dalam Dua Indeks".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar