Aksi militer AS tersebut—dilakukan pada Selasa lalu dengan mengirimkan kapal perusak berpeluru kendali USS Lassen melintas sejauh 12 mil laut, sekitar 22 kilometer, dari pulau yang dibangun Tiongkok di Spratly—sebagai jawaban terhadap klaim kedaulatan maritim secara sepihak atas kawasan tersebut oleh Beijing. Inilah perubahan yang signifikan dari Washington, dari retorika menjadi tindakan, aksi militer.
Dari kacamata Tiongkok, aksi militer AS itu dipandang sebagai "ancaman terhadap kedaulatan dan kepentingan keamanannya". Karena itu, wajar apabila Beijing bereaksi keras dan menyatakan, "Tiongkok tidak akan memaafkan setiap tindakan yang merusak keamanan Tiongkok."
Namun, AS menyatakan bahwa gerakan kapal perusak yang merupakan bagian dari Armada Tujuh tersebut bukan sebuah provokasi. Kapal itu dalam pelayaran pulang ke pangkalannya di Yokosuka, Jepang.
Apa pun alasan Washington, manuver USS Lassen dapat dibaca sebagai pertanda awal untuk memulai sebuah kontes terbuka atas masa depan jalur laut yang menjadi perlintasan lebih dari separuh perdagangan maritim dunia. Jalur laut tersebut menghubungkan negara-negara kaya minyak di Timur Tengah dengan kekuatan ekonomi di kawasan Pasifik Barat.
Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: AS menentang klaim kedaulatan Tiongkok atas perairan tersebut.
Bagi AS, posisinya sebagai kekuatan utama maritim di kawasan Asia Pasifik tetaplah sangat penting. Hal tersebut yang harus terus dipertahankan walaupun kini mulai tergerus dengan kebangkitan negara-negara di kawasan, terutama Tiongkok. AS, karena itu, berusaha untuk mempertahankan posisi sebagai aktor utama. Kehadiran militernya di kawasan Asia Pasifik juga dipertegas dengan meningkatkan peran ekonominya melalui Trans-Pacific Partnership.
Berangkat dari dasar pemikiran ini, langkah Tiongkok mengklaim kedaulatan maritim atas kawasan Laut Tiongkok Selatan, termasuk pembangunan pulau di Spratly, tidak bisa diterima AS. Apalagi, kawasan tersebut dengan pulau-pulaunya hingga kini masih dalam status dipersengketakan sejumlah negara.
Kita tidak bisa membayangkan andaikan dampak aksi USS Lassen berkelanjutan, tidak sebatas protes dari Tiongkok, tetapi juga tindakan nyata di laut. Karena itu, kita berharap AS lebih hati-hati tidak mendorong Tiongkok menanggapi lebih jauh. Meskipun AS pasti dapat mengatasinya, situasi itu akan merugikan negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "AS Peringatkan Tiongkok".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar