Memperkaya, bahkan mengoreksi, bertujuan agar bangsa memiliki narasi sejarah yang terbebas dari kepentingan politik sektoral, pragmatis, dan jangka pendek. Kebaikan bersama menjadi batu penjuru dan batu sendi. Introspeksi dan koreksi, bila perlu, merupakan bagian dari proses menemukan kebenaran (Karl Popper).
Peristiwa 28 Oktober 1928 mengingatkan kebanggaan kita tentang ikrar pemuda Indonesia sebagai bangsa yang berbangsa, bernegara, dan berbahasa satu: Indonesia. Narasi besar Kongres Pemuda II itu, kecuali yang bersifat pelengkap atau tambahan, dirasa memadai. Dekrit kesatuan 28 Oktober 1928, Hari Sumpah Pemuda, merupakan salah satu tonggak kesadaran kebangsaan Indonesia.
Meski dinilai masih etnosentris Jawa, berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 disepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Warna kebangsaan yang digagas mahasiswa sekolah dokter Jawa itu awalnya belum mencakup realitas kemajemukan etnis di Indonesia. Boedi Oetomo, toh, menjadi tonggak kesadaran kebangsaan Indonesia.
Senyampang upaya memperkaya dan keberanian mengoreksi, sudah lama diintroduksi gagasan tanggal 25 Oktober 1908 sebagai tonggak kedua kesadaran kebangsaan Indonesia. Pada tanggal itu terbentuk Vereeniging Indische (VI) di Belanda, berganti menjadi Vereeniging Indonesische, dan terakhir Perhimpoenan Indonesia. Kehadirannya sebagai tonggak kedua kesadaran kebangsaan Indonesia.
Serupa Boedi Oetomo yang awalnya masih etnosentris, hal yang sama dialami VI; tidak dalam etnisitas, tetapi dalam hal cita-cita. Ketika Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk tahun 1913, VI mulai memikirkan politik. Lewat organisasi itu, keinginan kemerdekaan bagi Indonesia gencar disampaikan, terutama ketika Mohammad Hatta sebagai ketua tahun 1926-1930.
Dalam konteks data historis itu, jika 20 Mei 1908 adalah tonggak pertama, tanggal 25 Oktober 1908 diusulkan oleh sejarawan dan politisi sebagai tonggak kedua. Tokoh penting inisiator VI dan terpilih sebagai ketua pertama adalah Rajiun Harahap gelar Sutan Kasayangan Soripada (1874- 1927). Catatan ini sekadar ajakan kita berintrospeksi atas berbagai peristiwa nasional, termasuk menempatkan lebih sesuai sejumlah tokoh yang terlupakan, misalnya Sutan Kasayangan Soripada, SM Amin atau Willem Iskander.
Pemilihan Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, sebagai lokasi hari pertama kampanye pemilu presiden oleh Presiden Joko Widodo, setahun lalu, seperti isyarat melengkapi dan mengoreksi. Peringatan dan perayaan pun punya hikmah yang berdampak ke masa depan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Narasi Tonggak Kebangsaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar