Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 07 Oktober 2015

Tajuk Rencana: Keduanya Harus Menahan Diri (Kompas)



Proses perdamaian yang beku, jalan di tempat, tekanan di dalam, baik kepada pemerintah Israel maupun Palestina, telah menimbulkan rasa frustrasi.

Kerusuhan merenggut korban jiwa—baik dari pihak Israel maupun Palestina—yang terjadi di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa, Jerusalem, dan Tepi Barat merupakan cerminan dari rasa frustrasi yang menghinggapi rakyat ataupun elite politik Israel dan Palestina menghadapi situasi yang tidak menentu.

Apabila kedua pemimpin—Israel dan Palestina—tidak mampu mengendalikan diri dan mengendalikan rakyatnya, para elite politiknya yang terus membakar emosi mereka, militer, dan polisi, situasi bisa menjadi bertambah buruk. Sangat masuk akal apabila muncul kekhawatiran bahwa kerusuhan akan bisa menjadi dadakan lahirnya Intifadah Ketiga, perlawanan rakyat Palestina.

Intifadah Pertama (1987-1993) adalah perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di Palestina pada 9 Desember 1987. Perlawanan dimulai di kemah pengungsi Jabalia dan dengan cepat menyebar ke seluruh Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur. Intifadah Kedua atau disebut Intifadah Al-Aqsa terjadi pada 2000.

Apabila Intifadah Ketiga benar-benar pecah, situasi akan bertambah buruk. Proses perdamaian yang sekarang beku—dan yang oleh Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas di Sidang Umum PBB disebut tidak mengikat lagi—akan semakin mengeras. Apalagi, masalah perdamaian Israel dan Palestina nyaris dilupakan dunia karena lebih terfokus pada krisis Suriah yang semakin menjadi-jadi dan menimbulkan gelombang besar pengungsi.

Proses perundingan perdamaian memang semakin tidak jelas. Sekurang-kurangnya masih ada empat isu utama yang belum bisa dipecahkan dan disepakati kedua belah pihak. Pertama, soal pengungsi. Kedua, soal Jerusalem. Ketiga, soal perbatasan dan, keempat, soal keamanan. Selama keempat isu itu tidak mencapai kesepakatan, kemungkinan kecil bisa tercapai perdamaian antara Israel dan Palestina.

Sekarang ini, situasi di lapangan sangat tidak mendukung bagi terciptanya perdamaian. Kedua belah pihak sama-sama diselimuti emosi dan dikuasai kemarahan. Situasi politik di dalam negeri masing-masing pihak juga memperumit situasi.

Di Israel, PM Benjamin Netanyahu dianggap terlalu bersikap lemah terhadap Palestina. Sebaliknya, Mahmoud Abbas dianggap kurang memenuhi harapan karena tak mampu menghentikan penyerobotan dan pembangunan permukiman baru. Posisinya pun terancam oleh Mohammed Dahlan dan Hamas.

Kita berharap kedua pemimpin mampu meredakan suasana dan menciptakan situasi yang memungkinkan hidupnya kembali proses perdamaian.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Keduanya Harus Menahan Diri".



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger