Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 19 November 2015

Memaknai Insentif Pajak (IRWAN WISANGGENI)

Langkah cerdas pemerintah memberikan insentif pajak perlu diacungi jempol.

Beberapa kebijakan yang pro bisnis memang perlu diapresiasi. Bahkan, insentif pajak menjadi fokus utama dalam paket kebijakan ekonomi jilid V.

Insentif pajak bentuknya beraneka. Misalnya, kebijakan fasilitas PPh Badan atau kerap disebut tax holiday (masa bebas pajak). Fasilitas ini dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 159/PMK 010/2015.

Dalam PMKdijelaskan, fasilitas diberikan kepada industri pionir, industri logam hulu, permesinan, serta pengilangan minyak dan kimia dasar organik. Pengurangan atau diskon pajak minimal 10 persen dan maksimal 100 persen. Dalam peraturan ini, pemerintah memperpanjang jangka waktu fasilitastax holiday selama 15-20 tahun.

Juga Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2015 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka, pemerintah akan memberikan potongan PPh 5 persen kepada perusahaan terbuka (Tbk). Syaratnya, perusahaan harus melepas minimal 40 persen dari seluruh saham, tercatat dan diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Insentif pajak memberikan kontribusi positif dalam dunia usaha, tetapi pemerintah perlu berhati-hati dalam memberikan insentif pajak. Selama pemerintah belum mengukur efektivitasnya, insentif pajak tidak boleh menjadi cek kosong berdalih investasi, yang sesungguhnya tak memberikan kontribusi signifikan bagi publik.

Contohnya, pemerintah sudah memberikan berbagai fasilitas dan keringanan bagi penanaman modal asing (PMA) untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, dari 18.223 PMA yang beroperasi di Indonesia, 28 persen masih rugi. Rentang waktu kerugian hingga saat ini bervariasi, mulai dari 1-2 tahun berturut-turut hingga 3-5 tahun berturut-turut. Sebagai dampaknya, 5.068 PMA belum membayar pajak.

Stimulus pajak bagi dunia usaha lain adalah penurunan tarif pajak PPh Badan akan diberlakukan.Tarif PPh Badan yang berlaku sekarang, yaitu tarif flat 25 persen, wacana ke depan akan diturunkan menjadi 18-20 persen. Tarif ini mendekati tarif di negara ASEAN lain, seperti Singapura tarif PPh badannya 18 persen. Kebijakan ini sangat bagus untuk dunia usaha.

Namun, kebijakan menurunkan tarif PPh Badan perlu dikaji karena kebijakan ini akan berdampak pada menurunnya penerimaan negara selama 1-2 tahun dari sejak diberlakukan tarif baru. Karena target penerimaan negara dari tahun ke tahun selalu bertambah, kebijakan menurunkan tarif PPh Badan akan mempersulit Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memenuhi target penerimaan pajak.

Revaluasi aktiva

Paket kebijakan ekonomi jilidV mengedepankan fasilitas pajak, yang disorot dalam paket ini adalah tarif PPh atas revaluasi aktiva untuk perusahaan BUMN, swasta atau individu. Paket kebijakan dituangkan dalam PMK No 191/PMK.010/2015, tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan.

Dalam Pasal 1 Huruf 2, PMK mengatur besarnya tarif pajak atas revaluasi aktiva jika permohonan revaluasi diajukan sampai 31 Desember 2015 dikenai tarif 3 persen, 4 persen jika permohonan pada 1 Januari 2016 sampai 30 Juni 2016, dan tarif 6 persen untuk permohonan 1 Juli 2016-31 Desember 2016.

Tarif ini sangat menarik wajib pajak karena tarif normal revaluasi aktiva 10 persen, yang diatur selama ini dalam PMK No 79/PMK.03/2008.

Revaluasi aktiva tetap akan memberikan manfaat buat perusahaan-perusahaan yang melakukan. Laporan keuangan perusahaan menjadi sehat karena debt equity ratio (rasio perbandingan utang dengan modal)menjadi baik di mata investor dan kreditor. Hal ini pula yang dilakukan Rizal Ramli ketika menjadi Menteri Koordinator Perekonomian 15 tahun silam. Saat itu PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)mengalami modal minus Rp 9 triliun dan aset Rp 50 triliun. Jalan yang ditempuh PLN adalah merevaluasi aktiva, hasilnya menyehatkan keuangan PLN karena aset meningkat empat kali lipat menjadi Rp 200 triliun. Saat itu PLN harus membayar PPh revaluasi 10 persen, tetapi kondisi keuangan PLN membaik.

Jadi, revaluasi aktiva diperlukan perusahaan-perusahaan untuk menyehatkan kondisi laporan keuangannya, tarif yang di tawarkan DJPdalam PMK No 191/2015 ini sangatlah bagus, semoga dapat berjalan mulus.

Persoalannya terletak pada nilai hasil revaluasi yang biasanya adalah nilai pasar (fair value). Nilai ini dapat saja keliru. Jika nilai aktiva yang diagunkan ke bank, nasabah akan mendapat pinjaman bernilai tinggi sesuai nilai hasil revaluasi aktiva saat itu. Namun, ketika harga aktiva menurun, nilai agunan nasabah akan menurun drastis sehingga risiko perbankan naik.

Semua pos insentif pajak memiliki kelebihan tersendiri, tetapi juga memilikikelemahan. Untuk itu dibutuhkan kebijakan menutup lubang-lubang kelemahan tersebut. Semoga paket ekonomi jilid V berjalan baik.

IRWAN WISANGGENI, DOSEN TRISAKTI SCHOOL OF MANAGEMENT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Memaknai Insentif Pajak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger