Selama satu dekade (2003– 2013) jumlah keluarga petani, termasuk kelompok usia muda di dalamnya, menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta.
Urbanisasibesar-besaran kaum muda ke kota tak terbendung. Yang mengurusi pertanian di desa tinggal perempuan, anak-anak, dan para lanjut usia. Lebih ironis lagi, hampir tak ada orangtua dari keluarga petani yang berharap anaknya menggeluti pertanian. Tak mengherankan, kontribusi sektor pertanian makin turun terhadap produk domestik bruto (PDB). Tingginya laju alih fungsi lahan dan menurunnya jumlah tenaga produktif di sektor pertanian membuat produksi padi (2014) menurun 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan dengan tahun 2013 (BPS, 2014).
Perwujudan swasembada beras pada 2017 mengkhawatirkan dengan rencana pemerintah membuka keran impor beras 1,5 juta ton. Target Kementerian Pertanian yang menetapkan produksi gabah kering giling (2015) sebanyak 75,55 juta ton—meningkat 6,64 persen dari produksi 2014 sebesar 70,61 juta ton—diragukan keberhasilannya. Sektor pertanian yang diharapkan dapatmengulang prestasi besar tahun 1984: swasembada beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik, diprediksi akan kandas jika tak ada upaya revolusioner di sektor pertanian.
Satu tahun pemerintahan Jokowi-Kalla kondisi pembangunan pertanian masih stagnan. Kemampuan petani menguasai teknologi pertanian masih rendah. Sebagian besar petani lokal masih mengandalkan alat tradisional. Untuk mengolah lahan, misalnya, petani masih menggunakan tenaga kerbau untuk menarik luku. Hal yang kurang lebih sama ditemukan untuk pemupukan dan pemanenan.
Swasembada beras yang ditargetkan itu punjadi sebuah mimpi! Penggunaan teknologi tradisional, selain hasil yang diperoleh tak optimal, juga membuat perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa di kota. Di mata pemuda desa, sektor pertanian makin kehilangan daya tarik. Ini membuat sektor pertanian jauh tertinggal dibandingkan dengan tetangga—Malaysia dan Thailand—yang kondisi awalnya tak berbeda jauh dengan Indonesia.
Lambatnya perkembangan modernisasi pertanian di Indonesia tak lepas dari pro-kontra kehadiran alat mesin tani di tengah masyarakat petani. Saat diperkenalkan pada 1967, tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih banyak. Jika traktor digunakan, akan terjadi pengangguran sebanyak selisih waktu masing-masing untuk setiap pengerjaan 1 hektar sawah.
Namun, seiring perkembangan teknologi, sektor pertanian dengan teknologi tradisional tak lagi memikat hati pemuda berpendidikan tinggi. Bidang pertanian pangan dianggap kurang bergengsi dan jadi sumber kemiskinan. Sektor pertanian yang umumnya di desa dikenal sebagai pekerjaan melelahkan, panas, dan berlumpur kotor, tetapi hasilnya tak sebanding dengan tenaga tercurah.Profesi petani merupakan status sosial yang dipandang rendah dan tak punya posisi tawar di masyarakat.
Konsolidasi lahan
Minat pemuda yang kian menurun pada sektor pertanian harus segera dijembatani secara baik. Dibutuhkan upaya revolusioner untuk menyeimbangkan tenaga kerja di sektor pertanian dengan luas lahan. Mekanisasi dalam pengolahan lahan dan pemanenan, misalnya, merupakan alternatif terbaik saat ini.
Bagaimana penerapan mekanisasi pertanian? Kondisi faktual, mekanisasi pertanian tak bisa diterapkan efektif pada lahan sawah berpetak kecil-kecil di bawah 0,5 ha. De facto kebanyakan petani punya lahan sawah tak lebih dari 0,5 ha dan memiliki perbedaan kemiringan yang cukup mencolok. Ini menyulitkan mendapat petak sawah dengan topografi benar-benar datar.
Untuk pengolahan lahan secaramekanisasi perlu penataan hamparan sawah yang terdiri atas banyak petak sawah berukuran kecil kemudian dibuat jadi satu hamparan luas dan utuh.Sistem konsolidasi lahan ini jadi kata kunci. Memercayakan pengelolaan lahan kepada kelompok taniyang mampu menggarap lahan dengan mekanisasi akan menjamin keberhasilanpembangunan pertanian.
Sebagai gambaran, jika 50 keluarga petani dengan luas lahan 0,3–0,8 ha digabung dan didesain jadi satu kelompok tani, akan diperoleh satu hamparan lahan luas dan utuh tanpa dibatasi pematang yang memungkinkan diterapkan mekanisasi pertanian secara penuh. Penggabungan ini mempermudah pengelolaan usaha tani: pengolahan lahan, pola tanam serentak, pemupukan, irigasi, pemberantasan hama penyakit, pemanenan, dan pemasaran hasil. Manajemen usaha tani seperti ini akan memberi nilai tambah dan menjadi daya tarik sektor pertanian.
Tentu harus ada jaminan pemerintah bahwa tak ada rekayasa yang menghilangkan hak kepemilikan atas lahan sawah masing- masing. Hak kepemilikan atas lahan tetap dikuasai petani dengan sertifikat yang tetap dipegang pemilik lahan.
Gagasankonsolidasi lahan patut diwujudkan di sentra pertanian guna mendorong bangkitnya modernisasi pertanian dan perwujudan mimpi besar swasembada beras. Mentransformasi sektor pertanian secara terencana akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan penciptaan lapangan kerja melalui industrialisasi hasil pertanian sekaligusmenarik minatpemuda bekerja di sektor pertanian pangan yang selama ini sibuk mencari kerja di kota besar.
Yang tak kalah penting, pemerintah harus menyiapkan perluasan lahan pertanian pangan—membagikan lahan 9 juta ha kepada petani, seperti dijanjikan Jokowi, kering maupun sawah. Sektor pertanian akan jadi jalan perubahan untuk Indonesia.
POSMAN SIBUEA, GURU BESAR ILMU PANGAN DIUNIKA SANTO THOMAS SUMATERA UTARA, MEDAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar