Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 27 November 2015

Tajuk Rencana: Menggugat Akurasi Data Pangan (Kompas)

Isu data pangan yang diindikasikan direkayasa untuk kepentingan justifikasi keberhasilan program sudah sejak lama menjadi sorotan berbagai pihak.

Keluhan terkait kredibilitas data pangan sudah muncul sejak lama, tetapi sepertinya tak pernah ada upaya serius membenahi. Akibatnya fatal. Gejolak harga pangan yang terjadi sepanjang 2015 adalah juga akibat tidak akuratnya data yang masuk karena kesalahan dalam mengumpulkan dan mengolah data di lapangan.

Akibatnya, respons kebijakan yang diambil pemerintah juga tidak tepat. Bukan itu saja, beban ke anggaran juga cenderung membengkak karena mendasarkan pada data luasan panen yang juga cenderung digelembungkan.

Bukan sekali ini dugaan data dipermainkan untuk berbagai kepentingan, baik politik, perdagangan, maupun kepentingan lain. Modus yang paling sering, data produksi dan stok dipermainkan agar keran impor dibuka, untuk kepentingan importir pangan.

Dalam kasus beras, jika dilihat, salah satu persoalannya ada pada kelemahan dan perbedaan dalam metode pengumpulan data. Badan Pusat Statistik menyalahkan kualitas data luas panen yang disampaikan Kementerian Pertanian sebagai sumber tidak akuratnya data produksi. Tak jarang, data luas panen ini gagal menangkap perubahan di lapangan terkait produktivitas dan luas panen, khususnya akibat alih fungsi lahan atau pengaruh faktor alam, seperti gangguan cuaca, serangan hama, dan penyakit tanaman.

Adanya dua pihak yang membuat prediksi produksi juga menyebabkan sering terjadi silang pendapat dan selisih angka yang sangat besar antara Kementan dan BPS dalam hal produksi padi nasional, yang berisiko fatal bagi kebijakan pangan nasional, dan membuat kredibilitas data itu sendiri juga diragukan.

Dalam kasus gejolak pangan 2015, ketika itu pemerintah sangat yakin kita tak perlu impor beras pada 2015 kendati ada El Nino karena dalam hitungan Kementan masih terjadi surplus 4 juta ton produksi nasional. Klaim kenaikan produksi dan surplus ini kontradiktif dengan gambaran di lapangan yang justru menunjukkan indikasi kuat ke arah penurunan produksi, baik karena keterlambatan tanam akibat kemarau maupun dampak El Nino.

Apa yang terjadi di lapangan? Beras langka di pasar dan harga melonjak serta memicu spekulasi pedagang sehingga kian memperparah gejolak yang ada. Karena desakan berbagai kalangan, pemerintah akhirnya membuka keran impor sehingga lonjakan harga bisa diredam.

Ini tak hanya terjadi pada beras, tetapi juga komoditas lain, seperti jagung dan kedelai. Apa yang terjadi tahun ini jadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk tak bermain-main dengan data pangan. Kredibilitas dan ketajaman kebijakan pertama-tama harus berangkat dari data lapangan yang akurat. Tanpa itu, sama saja dengan berjudi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Menggugat Akurasi Data Pangan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger