Penggemar bulu tangkis mungkin mengingat Olimpiade London 2012. Momen London 2012 seperti titik nadir bulu tangkis Indonesia. Sejak bulu tangkis dipertandingkan pertama kali di Olimpiade Barcelona 1992, para pebulu tangkis Indonesia selalu membawa pulang medali emas.
Namun, di London, tradisi itu terhenti. Lebih parah lagi, tak ada satu medali pun diraih. Kini, Olimpiade berikutnya sudah di depan mata. Rio 2016 akan digelar 5-21 Agustus.
Usai London 2012, Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) tidak serta-merta bisa mengembalikan kejayaan bulu tangkis Tanah Air. Kesulitan mencari pemain dengan kualitas teknik mumpuni dan bermental baja membuat PBSI mengoptimalkan pebulu tangkis yang ada sebagai pilihan terbaik, khususnya di tunggal. Itu pun sulit diandalkan juara.
Andalan Merah Putih pun tak berubah, hanya dari nomor ganda. Ada Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di ganda campuran dan ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan.
Nama ganda putri Greysia Polii/Nitya Krishinda menambah daftar andalan sejak meraih emas Asian Games Incheon 2014. Namun, untuk tampil dalam final turnamen kelas Super Series dan Super Series Premier, sebagai turnamen bergengsi, masih tak mudah bagi Greysia/Nitya.
Akan tetapi, dalam satu tahun terakhir, nama Tontowi/Liliyana dan Hendra/Ahsan jarang disebut pembawa acara pengalungan medali untuk berdiri di podium tertinggi. Sebaliknya, para pesaing semakin menguat. Sebutlah seperti ganda putra Korea Selatan, Lee Yong-dae/Yoo Yeon-seong, yang menjuarai delapan turnamen selama 2015.
Dari Tiongkok muncul banyak nama baru bak cendawan di musim hujan. Meski prestasi mereka masih naik-turun, barisan pemain muda Tiongkok tetap menjadi ancaman.
Persaingan diwarnai pula ganda dari Eropa, seperti Denmark dan Inggris. Semua bisa menjegal ambisi Indonesia membawa pulang emas dari Olimpiade.
Bagaimana dengan pemain muda Indonesia? Sejak beberapa tahun terakhir, PBSI memang menyiapkan generasi penerus, dari mencari pemain baru hingga membongkar pasang pemain untuk ganda.
Bongkar pasang ini menelurkan hasil apik. Misalnya dengan munculnya nama Praveen Jordan/Debby Susanto di ganda campuran yang saat ini menempati ranking ke-8 dunia.
Namun, ganda putra Ricky Karanda Suwardi/Angga Pratama, yang berpasangan menjelang akhir 2014 dan diplot menjadi pendamping Hendra/Ahsan ke Olimpiade Rio, belum memuaskan. Mereka pernah mengejutkan ganda elite dunia dengan menjuarai Singapura Terbuka Super Series, April 2015. Namun, setelah itu penampilan mereka tak konsisten. Dari 12 turnamen, hasil terbaik hanya dua kali ke semifinal.
Dengan masa pengumpulan poin menuju Rio yang tersisa empat bulan (berlangsung sejak Mei 2015-awal Mei 2016), peringkat mereka belum cukup untuk mendampingi Hendra/Ahsan ke Olimpiade. Apalagi, peraturan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) memberlakukan syarat lebih ketat di ganda. Negara yang ingin diwakili dua pasangan harus menempatkan mereka di peringkat delapan besar. Jika tidak, hanya satu pasangan yang berhak tampil di Olimpiade. Berdasarkan daftar peringkat terakhir dikeluarkan BWF (17 Desember), Hendra/Ahsan berada di peringkat kedua dunia, sementara Ricky/Angga di urutan ke-10.
Di tunggal putra dan putri, meski ada pemain-pemain muda, kemampuan mereka belum setara dengan para pemain papan atas dunia. Umpamanya saja Chen Long, Lee Chong Wei, Lin Dan, atau barisan pemain yang lebih muda, seperti Jan O Jorgensen, Viktor Axelsen, dan Kento Momota di putra. Di putri, selain pemain Tiongkok, ada Carolina Marin dan Saina Nehwal yang akan menjadi kandidat peraih emas Olimpiade.
Inkonsistensi yang muncul setahun belakangan ini pun akhirnya memunculkan pembelaan bahwa mereka adalah manusia. Kekalahan adalah hal yang biasa, seperti juga kemenangan.
Namun, ada yang harus diperhatikan ketika para pebulu tangkis Indonesia takluk dari lawan dengan kualitas permainan yang sebenarnya jauh di bawah mereka. Tontowi/Liliyana mengalami hal itu ketika tersingkir di babak pertama dalam dua turnamen berturut-turut, Tiongkok dan Perancis Terbuka (Oktober dan November).
Kekalahan demi kekalahan membuat poin para jagoan bulu tangkis Indonesia tergerus. Tak usah memikirkan hasil Rio sebelum tiket tampil di sana aman di tangan. Yang perlu dipikirkan adalah meningkatkan kualitas permainan di masa kualifikasi.
Seorang petinggi badan usaha milik negara-di sela-sela acara yang digelar PBSI-berkata, mungkin ada banyak cabang olahraga yang mewakili Indonesia di Olimpiade. Tetapi, rasanya, membawa pulang medali dari cabang bulu tangkis menjadi suatu kewajiban. Bisakah?
(MAHDI MUHAMMAD)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Berharap Lagi Tradisi Emas dari Bulu Tangkis".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar