Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 01 Desember 2015

Menjaga Kehormatan Dewan (OCE MADRIL)

Kemanjuran Mahkamah Kehormatan Dewan sedang diuji. Tak tanggung-tanggung, MKD menghadapi kasus besar yang melibatkan orang kuat di DPR.

Sang komandan diduga terlibat dalam percaloan saham, permintaan saham serta pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Pelapor kasus ini juga bukan sembarang orang: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari sisi obyek perkara dan aktor yang terlibat, kasus ini sungguh merupakan kasus yang amat besar dan serius.

Namun, tampaknya MKD masih gagap dalam menangani perkara besar ini. Terlihat dari perdebatan teknis yang dapat mengganggu kelanjutan kasus ini. Ada dua hal yang diperdebatkan, yakni kedudukan hukum pengadu dan alat bukti. Senyatanya, aturan beracara di MKD cukup sederhana. Ia jadi rumit dan bertele-tele karena kasus terkait politisi kuat yang sedang berkuasa.

Harus dipahami terlebih dahulu bahwa MKD adalah badan internal DPR. MKD adalah peradilan etik dan perilaku. Perkara yang diperiksa MKD bukanlah perkara pidana yang harus diselesaikan dengan pendekatan hukum acara pidana. Pendekatan etik dan perilaku yang berlaku bagi anggota DPR-lah yang jadi acuan. MKD punya hukum acara tersendiri yang diatur khusus dalam UU MD3 dan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015. Di sana diatur mulai dari siapa pengadu, teradu, sampai pada alat bukti.

Mengenai siapa saja yang dapat jadi pengadu, ada tiga pihak: pemimpin DPR, anggota DPR, dan masyarakat. Artinya, pengadu dapat berasal dari dalam atau luar DPR. Yang terpenting substansi aduannya apakah sesuai kompetensi MKD atau tidak. Aduan harus relevan dengan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku anggota Dewan.

Kemudian, mengenai alat bukti, itu telah diatur tersendiri dalam Pasal 138 UU MD3 dan Pasal 27 Peraturan DPR. Ada lima alat bukti yang terdiri dariketerangan saksi; keterangan ahli; surat; data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna; dan petunjuk lain.

Bukti rekaman pembicaraan (bukan penyadapan) yang diberikan menteri ESDM jelas merupakan alat bukti sah sehingga mestinya tak ada lagi perdebatan mengenai keabsahan bukti rekaman yang diberikan. Karena telah terdapat kecukupan alat bukti, harusnya MKD sudah dapat menggelar sidang.

Pembentukan panel

Dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepada Ketua DPR sangatlah serius. Ketua DPR dapat didakwa melanggar sumpah jabatan, UU MD3, dan kode etik. Bahwa melalui tindakannya Ketua DPR diduga mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan negara, itu jelas bertentangan dengan kewajibannya sebagai anggota DPR. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 angka 4 Kode Etik DPR, hal itu termasuk jenis pelanggaran berat dengan ancaman sanksi pemberhentian.

Karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 148 UU MD3 bahwa dalam hal pelanggaran berat, MKD harus membentuk Panel. Anggotanya merupakan gabungan antara unsur MKD (tiga orang) dan unsur masyarakat (empat orang). Kasus ini tidak boleh diperiksa dan disidangkan sendiri oleh MKD. Harus ada pelibatan publik melalui pembentukan panel. Ada banyak tokoh masyarakat yang independen yang bisa diminta menjadi anggota panel.

Pembentukan panel dengan melibatkan unsur masyarakat dapat mencegah MKD agar tidak terjebak dalam pusaran konflik kepentingan dan pertarungan antarkelompok politik di parlemen. Upaya intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan kasus ini juga akan dapat diminimalkan. Kemudian, hasil pemeriksaan juga akan lebih independen dan dipercaya publik.

Penting bagi MKD memastikan kasus ini dituntaskan. Kasus ini telah menghancurkan kewibawaan dan kehormatan DPR. Sebagai lembaga yang bertugas menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR, ini momentum baik bagi MKD memulihkan kepercayaan publik. Ratusan juta mata publik saat ini tertuju kepada MKD, berharap kasus ini dituntaskan dan siapa pun yang bersalah diberi sanksi yang tegas.

OCE MADRIL, PENGAJAR ILMU HUKUM UGM, DIREKTUR ADVOKASI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Menjaga Kehormatan Dewan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger