Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 01 Desember 2015

Pilkada Serentak dan Kualitas Demokrasi (WAWAN SOBARI)

Di luar aspek teknis, pilkada serentak 2015 mempertaruhkan kredibilitas demokrasi sebagai pilihan konstitusional pasca Orde Baru. Pilkada serentak di 269 daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas demokrasi.

Faktanya, masih ada kekeliruan berpikir terkait pengukuran keberhasilan pilkada. Komisi Pemilihan Umum dan pemerintah lebih banyak menyoroti kesiapan dan keberhasilan teknis penyelenggaraan. Misalnya, kesiapan logistik dan daftar pemilih, penghitungan suara, kerangka hukum pemilu, pengaturan kampanye, dan manajemen kepemiluan.

Keberhasilan pemilu sebenarnya bisa diukur melalui kontribusi jangka panjang terhadap perbaikan kualitas demokrasi. Penyelenggaraan pemilu diyakini akan meningkatkan kualitas partisipasi warga, daya saing antarentitas politik (competitiveness) dan kebebasan publik dalam menyuarakan kepentingan. Dengan itu, keberhasilan pemilu tak sekadar memenuhi target-target administratif-proses daripada substantif-hasil. Perspektif apa yang tepat dalam mengukur kualitas demokrasi setelah pilkada serentak?

Perspektif utama

Secara garis besar terdapat sejumlah pendekatan berbasis kawasan dan kategori kemajuan negara dalam mengukur kualitas demokrasi. Dalam sejumlah literatur dijelaskan bahwa kualitas  demokrasi di Eropa Barat, Eropa Timur, dan Amerika Utara diukur melalui ketercapaian sejumlah aspek, seperti kualitas representasi, akuntabilitas elektoral, responsivitas mandat dan kebijakan, partisipasi, kebebasan efektif, dan derajat kompetisi. Melalui aspek-aspek tersebut, kualitas demokrasi dinilai secara sekuensial sesuai perspektif liberal yang mengacu pada tingkat konsolidasi demokrasi.

Di Amerika Latin, ukuran kualitas demokrasi meliputi kebebasan efektif, daya saing, dan partisipasi (Altman dan Perez- Linan, 2002). Berikutnya, ukuran kualitas demokrasi di negara-negara dunia ketiga yang mengedepankan aspek-aspek prosedural. Kompetisi politik yang adil antarentitas politik menjadi target utama dalam proses elektoral. Selebihnya, demokrasi terkait upaya pemenuhan kesetaraan antarwarga dan akuntabilitas pemerintahan terpilih.

Kesamaan dari berbagai pendekatan itu adalah menilai kemajuan demokrasi melalui perspektif konsolidasi. Demokrasi dikategorisasi dalam spektrum menuju kemajuan di satu sisi dan sekadar bertahan (survival) di sisi lain. Salah satu kritik Schendler (1998) terhadap perspektif tersebut adalah konsolidasi dianggap paling tepat mengukur negara-negara demokrasi baru.

Reduksi otoriterisme

Dalam konteks Indonesia, ukuran-ukuran kualitas demokrasi tersebut sebagian tidak relevan. Penyebabnya, ada beberapa paradoks dalam praktik berdemokrasi yang justru mengurangi kompatibilitas dengan ukuran-ukuran tersebut.

Pemerintah secara resmi merujuk pada perspektif konsolidasi yang dominan itu. Kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi merupakan tiga aspek utama indeks demokrasi Indonesia (IDI) yang perkembangannya merepresentasikan arah konsolidasi. Hanya saja, ada ketidakrelevanan akibat beberapa paradoks berdemokrasi.

Sejak pilkada pertama kali digelar tahun 2005, sejumlah kelemahan dan ambivalensi terhadap prinsip-prinsip demokrasi terus bermunculan. Di banyak pilkada ditemukan betapa kuatnya peran parpol, ketidakadilan penyelenggara, rendahnya partisipasi, dan maraknya kekerasan. Praktik-praktik itu semakin diperparah oleh kuatnya dominasi elite politik lokal patronase terhadap warga dan birokrasi.

Salah satu praktik patronase adalah politik uang. Lingkaran Survei Indonesia menemukan peningkatan skala dan pengaruh politik uang secara nasional dalam dua periode pilkada. Survei Oktober 2005 menemukan bahwa 27,5 persen publik akan menerima uang dan memilih calon yang memberi uang. Angka tersebut naik hingga 37,5 persen lima tahun kemudian (Oktober 2010). Pemberian uang memengaruhi pilihan atas kandidat.

Kenaikan alokasi

Baru-baru ini, Menteri Dalam Negeri mencium gelagat kenaikan drastis alokasi dana bantuan sosial (bansos) dalam APBD. Kenaikan alokasi itu dicurigai sebagai bagian dari praktik beli suara (vote-buying) calon petahana. Mengutip data Fitra, ICW, dan Direktur Keuangan Kemendagri, terdapat 89 daerah yang menaikkan dana bansos berlipat kali.

Muara dari persoalan itu adalah masih kuatnya infiltrasi praktik otoriterisme. Dalam studi perbandingan politik dikenal praktik rezim hibrid atau otoriterisme kompetitif. Menurut Corrales (2015), rezim hibrid menjalankan demokrasi dan otoriterisme secara bersamaan. Pemimpin yang dipilih melalui pemilu justru mempraktikkan kekuasaan otoriter yang menggerus fungsi kontrol dan oposisi.

Maka, ukuran-ukuran kualitas demokrasi menjadi kurang relevan karena realitas empiris demokrasi berjalan stagnan. Elite lokal dan para pendukungnya yang intensif menjalankan politik patronase menjadi penyebabnya. Mengutip studi Case (2009) ukuran yang relatif tepat justru merujuk pada kemampuan mereduksi otoriterisme (authoritarian durability). Untuk itu ada tiga indikator utama yang bisa dikembangkan guna mengukur kualitas demokrasi. Pertama, kemampuan mencegah pemusatan kekuasaan di tangan kepala daerah. Tepatnya, mencegah intoleransi terhadap kritik dan oposisi kekuatan pengontrol dan penyeimbang (legislatif, parpol, kelompok kepentingan, dan bisnis).

Kedua, kapasitas memperbaiki legitimasi kekuasaan dengan mendorong kepala daerah fokus pada kinerja demi kemanfaatan publik daripada performa politik. Ketiga, mencegah praktik partisipasi instrumental atau mobilisasi terhadap warga. Kepala daerah didorong mempraktikkan partisipasi transformatif yang berorientasi perubahan daerah.

WAWAN SOBARI

DOSEN PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Pilkada Serentak dan Kualitas Demokrasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger