Dalam berbagai kesempatan, pemerintahan Presiden Joko Widodo selalu mengampanyekan revolusi mental. Program Revolusi Mental memang perlu didukung karena tepat.
Suatu bangsa yang maju tidak boleh hanya diukur dari statistik keekonomian karena yang lebih penting adalah keadaban berpikir dan tindak laku manusianya. Kejujuran, toleransi, kerja keras, disiplin, taat peraturan, dan kepedulian sosial sama pentingnya dengan pendapatan per kapita.
Dengan kemajuan mentalitas, diharapkan kemajuan lain dalam hal ketertiban sosial dan perekonomian juga terdorong ke depan. Namun, apakah rakyat Indonesia mengerti revolusi ini? Pemerintah tidak hanya bisa menyuruh rakyat merevolusi mental jika mereka tidak terlebih dahulu merevolusi mentalnya dan mengejawantahkan dalam perbuatan bernegara.
Revolusi mental adalah tidak korupsi dan pro pemberantasan korupsi; menepati janji dan, jika ternyata tidak bisa, berani menjelaskan kepada rakyat apa adanya; bekerja untuk kepentingan rakyat tidak untuk partai, kelompok, atau kepentingan sendiri.
Pejabat negara berkewajiban memberikan tontonan berkualitas tentang revolusi mental kepada rakyat Indonesia.
CHRISTOFORUS D SATRYA, JALAN AWILIGAR, CIBEUNYING, CIMENYAN, BANDUNG
Bayar Iuran BPJS
Saya selalu membayar iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan via ATM. Namun, saat bertransaksi, tampilan di layar ATM hanya menanyakan berapa bulan iuran yang akan dibayar. Tidak ada keterangan kapan bulan terakhir membayar iuran.
Mohon kepada pihak BPJS Kesehatan agar menyempurnakan tampilan di layar ATM. Sebaiknya bulan terakhir peserta membayar iuran diinformasikan dan pada tanda terima dari ATM juga tercatat sampai kapan iuran itu dibayarkan. Bukan hanya jumlah bulan membayar iuran.
Dengan demikian, peserta tidak perlu mengingat-ingat kapan membayar iuran terakhir dan kapan harus membayar iuran selanjutnya, mengingat keterlambatan pembayaran dapat mengakibatkan layanan BPJS Kesehatan terputus.
BUDI SETIAWAN, KOMPLEKS PP BLOK B5, MEKARSARI, CIMANGGIS, KOTA DEPOK
Kiriman Terlambat
Rabu, 16 Desember 2015 pukul 09.05, saya mengirim paket berisi baju, sepatu, dan aksesori Natal yang dipesan secara daring ke Atambua, untuk diteruskan ke Dili, Timor Leste, lewat agen PT Pos Indonesia. Petugas agen pos menjanjikan kiriman akan sampai dalam 3-5 hari. Saya merasa aman karena barang baru dipakai 25 Desember 2015.
Pada 22 Desember, ketika saya cek, ternyata paket saya belum sampai ke Atambua. Malam harinya, saya mengecek ke agen tempat pengiriman, diinfokan paket dalam proses pengiriman.
Rabu, 23 Desember, saya mengecek lagi ke penerima di Atambua. Barang masih belum sampai. Menurut agen pengiriman, paket masih tertahan di Bandara Soekarno-Hatta. Aneh, info dalam 24 jam bisa berbeda.
Saya menelepon 161, tetapi tak bisa diakses. Saya pun melacak status barang kiriman di situs PT Pos Indonesia, isinya baru manifes serah. Kantor pos di Atambua yang juga terus saya hubungi selalu memberikan jawaban sama: paket belum diterima.
Paket baru tiba di Atambua pada 29 Desember pukul 12.00 WIT. Sia-sialah paket yang isinya akan digunakan untuk perayaan Natal, 25 Desember.
FX CATUR SUPATMONO, PUNDUNG RT 005 RW 032, TIRTOMARTANI, KALASAN, SLEMAN, DI YOGYAKARTA
Lomba Menulis Partai Baru
Antara 20 September dan 5 Oktober 2015, Partai Perindo menyelenggarakan lomba menulis bagi mahasiswa terkait peringatan satu tahun berdirinya partai tersebut. Informasi lomba disebarluaskan melalui halaman penggemar (fanpage) Facebook ataupun media massa.
Disebutkan, hasil lomba akan diumumkan beberapa waktu kemudian, sekaligus sejumlah hadiah berupa uang tunai. Namun, sampai 17 Desember 2015, lomba tersebut tidak jelas lanjutannya.
Peserta lomba yang mencoba berkorespondensi dengan penanggung jawab halaman penggemar tidak mendapat tanggapan. Panitia lomba pun tak dapat dihubungi, baik lewat telepon maupun situs resmi Perindo. Saya bukannya yakin menang, tetapi adanya pengumuman setidaknya akan sangat melegakan.
Panitia lomba ternyata pemberi harapan palsu. Lomba digelar hanya demi pencitraan. Melalui surat ini saya dan para peserta lain mohon kejelasan.
IRFAN ANSORI, SUKAHARJA, SARIWANGI, TASIKMALAYA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar