Ade dan Novanto seperti bertukar posisi saja. Novanto mengundurkan diri sebelum Majelis Kehormatan Dewan menjatuhkan vonis pelanggaran etik sedang sampai berat dalam kasus yang disebut publik skandal "papa minta saham". Setelah Novanto mundur, Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie mengusulkan Ketua Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin sebagai Ketua DPR. Sementara Novanto beralih posisi sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar.
Kontroversi dan perdebatan soal kepatutan memang terjadi. Biarlah kontroversi yang muncul itu menjadi tanggung jawab Golkar sendiri. Namun, kita tidak ingin DPR terus menjadi bulan-bulanan publik karena problem yang dibawa anggota atau pimpinannya ataupun kinerja DPR yang tidak baik.
Pelantikan Ade sebagai Ketua DPR ke-17 sejak Indonesia merdeka sudah menjadi fakta politik kendati masih dipersoalkan sejumlah anggota DPR. Benar kata Ade, dirinya tidak mau memperdebatkan soal dualisme kepemimpinan Partai Golkar. Ade berniat konsentrasi membenahi lembaga legislatif yang berada di titik nadir. Kinerja DPR memproduksi undang-undang rendah. Target Program Legislasi Nasional tidak terpenuhi. Bahkan ada pengamat yang menyebutkan kinerja DPR sekarang ini terburuk sepanjang sejarah.
Rendahnya kepercayaan publik kepada DPR adalah pekerjaan rumah yang harus dihadapi Ade. Ketua DPR bukanlah pemilik DPR. Ketua DPR hanyalah juru bicara (speaker) dari sebuah lembaga bernama DPR.
Kita berharap, sebagai ketua baru DPR, Ade mempunyai narasi besar bagaimana membangun bangsa Indonesia ke depan dan menerapkannya dalam kerja organisasi DPR. Bagaimana menempatkan fungsi DPR sebagai lembaga pengawas dan penyusun anggaran. Pikiran menerobos diharapkan muncul untuk mengubah persepsi publik terhadap anggota DPR sebagai "calo anggaran".
DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga demokratis di mana suara rakyat diolah menjadi keputusan politik. Logikanya, eksistensi DPR seharusnya seiring dan sejalan dengan pikiran yang berkembang di masyarakat. Jadi, terasa ironis ketika program DPR kerap tidak sejalan dengan kehendak rakyat.
DPR perlu mengadopsi perubahan perilaku politik seiring dengan perkembangan demokrasi digital. Petisi yang dikembangkan pada era digital perlu menjadi perhatian anggota DPR agar DPR tidak kian teralienasi dari rakyatnya. Selama ini, anggota DPR kian teralienasi karena kokohnya oligarki kepartaian.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Pekerjaan Rumah Ade".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar