Kritik dan masukan soal lemahnya pola komunikasi sudah sering disampaikan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui berbagai forum. Perang pernyataan terbuka atau perdebatan antarmenteri mengenai sebuah isu adalah masalah yang dihadapi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Satu masalah kadang dilempar begitu saja dalam ruang publik tanpa pernah diberi konteks atau latar belakang masalah. Akibatnya, sebuah teks berkembang tak terkendali karena ditafsirkan pihak ketiga sesuai dengan kepentingannya.
Publik mencermati kontroversi pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang melibatkan menteri koordinator dan Wapres, perbedaan pendapat antarmenteri dalam kasus Freeport, dan polemik soal program bela negara, termasuk program kereta Jakarta-Bandung, yang mempertontonkan tidak utuhnya strategi komunikasi pemerintah.
Pola komunikasi yang berbeda-beda antarmenteri, bahkan seperti berseberangan, dipandang sebagian orang sebagai adanya polarisasi kepentingan di tubuh pemerintahan. Inilah ciri komunikasi dalam masyarakat yang tidak tulus yang harus diatasi.
Masalah ekonomi yang kompleks, termasuk masalah internasional, membutuhkan peran komunikator yang berwibawa dan dipercaya. Komunikator yang bisa menjelaskan substansi masalah, termasuk latar belakang. Berangkat dari latar belakang itulah penunjukan Johan Budi SP menjadi relevan.
Hampir 10 tahun Johan menjadi juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sukses mempertahankan KPK dalam masa-masa krisis. Terakhir Johan diangkat sebagai Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, tetapi gagal dalam pencalonan menjadi Ketua KPK karena kalah suara dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR.
Menjadi juru bicara Presiden tentu berbeda dengan juru bicara KPK. Kebijakan pemerintah yang harus dikomunikasikan kian kompleks. Rentang masalah yang harus disampaikan kepada publik pun kian luas. Inilah tantangan yang harus dihadapi Johan dan tim juru bicara kepresidenan.
Manajemen organisasi di lingkungan Istana juga perlu diperjelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pola dan strategi komunikasi atau malah menciptakan friksi di antara mereka sendiri. Perlu ada pembagian tugas dan kewenangan yang jelas di antara orang-orang komunikasi di lingkungan Istana yang membuat pesan-pesan akan efektif sampai kepada masyarakat.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Pola Komunikasi Pemerintah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar