Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 12 Maret 2016

Berdamai dengan Sejarah (AMURWANI DWI LESTARININGSIH )

Limapuluh tahun sudah sejak diterbitkannya Surat Perintah 11 Maret 1966—lebih populer singkatannya: Supersemar—hingga saat ini masih menimbulkan perdebatan. Pangkal dari perdebatan itu karena masih belum ditemukannya naskah asli Supersemar.

Sampai saat ini minimal ada empat versi Supersemar, yaitu versi Pusat Penerangan TNI AD, versi Akademi Kebangsaan, dan dua versi Sekretariat Negara. Semua naskah tersebut tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Banyaknya versi itulah yang kemudian menimbulkan berbagai persepsi di kalangan masyarakat, sehingga muncul anggapan bahwa Supersemar sebagai "sejarah gelap" bangsa Indonesia.

Untuk menemukan naskah asli Supersemar tentu bukan masalah mudah karena para pelaku sebagian besar sudah meninggal. Sebenarnya, ditemukan atau tidak naskah asli Supersemar kini sudah tak punya implikasi politik. Namun, sebagai sebuah bangsa beradab, dokumen sepenting itu mestinya menjadi dokumen yang dapat digunakan sebagai cermin dalam menata bangsa Indonesia ke depan.

Supersemar dan implikasi politik

Terlepas dari berbagai perdebatan di balik "sejarah gelap", terutama terkait isu adanya kudeta terselubung oleh Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal Soeharto atas Presiden Soekarno, yang pasti sejarah mencatat Surat Perintah 11 Maret 1966 telah mengantarkan Jenderal Soeharto menuju puncak pemimpin tertinggi negara pada saat itu. Berlandaskan surat itu dan ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966, Jenderal Soeharto mengambil tindakan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan seluruh onderbouw-nya.

Kemunculan Supersemar itu sendiri didahului serangkaian amuk massa setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang disebut-sebut didalangi oleh PKI. Gedung-gedung kantor milik PKI dan organisasi onderbouw-nya, seperti Gerwani dirusak massa rakyat. Begitu pula rumah-rumah milik orang-orang PKI dan Gerwani, serta para simpatisannya, juga dirusak dan dihancurkan oleh massa.

Ketika itu pembunuhan massal menjadi hal yang biasa dilakukan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Sasaran utamanya adalah kaum komunis dan mereka yang dituduh komunis. Para aktivis Gerwani pun menjadi sasaran pengejaran dan pembunuhan. Sejak saat itu dendam terus menyulut. Pembunuhan disebutkan sebagai tindakan spontan rakyat sebagai balas dendam.

Guna memulihkan keamanan dan ketertiban, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas khusus oleh Presiden Soekarno. Pada 1 November 1965, di samping menjabat Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto juga menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Koopskamtib). Lembaga itu bertugas untuk memulihkan keamanan dan ketertiban dari situasi dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa Gerakan 30 September.

Lewat Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat dan Menteri Kehakiman No KEP-1196/10/1965 tanggal 25 Oktober 1965, lembaga ini diberi kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penyelidikan, dan penuntutan terhadap orang- orang yang terlibat Gerakan 30 September. Penangkapan yang dilakukan secara terus-menerus dan penahanan tanpa jangka waktu itu mengakibatkan penuhnya rumah-rumah tahanan di seluruh Indonesia. Pemerintahan baru di bawah Presiden Soeharto kemudian membentuk proyek rehabilitasi para tahanan politik golongan B, terutama untuk meninjau kembali bagi yang belum terselesaikan.

Proyek pemanfaatan Pulau Buru belum cukup untuk menampung tahanan politik golongan B, terutama mereka yang berstatus wanita. Mereka ini masih banyak dititipkan di rumah-rumah tahanan wanita di Pulau Jawa. Dalam kaitan inilah, pada 1970, pemerintah kemudian membentuk Proyek Rehabilitasi Tempat Pemanfaatan Sementara Tahanan Gerakan 30 September/PKI Golongan B untuk wanita di Plantungan, Jawa Tengah.

Melepas "dendam sejarah"

Para wanita tahanan politik golongan B itu pada 1979 secara bertahap dibebaskan. Masa pembebasan bukanlah masa-masa yang mudah bagi mereka untuk membaur dengan masyarakat. Hak-hak politik mereka dihilangkan. Stigma yang telanjur disandang oleh para tahanan politik 1965 membuat mereka tersingkir secara sosial. Di tengah situasi demikian, penghilangan identitas adalah jalan yang dilakukan untuk mengawali hidup mereka yang baru. Apalagi perasaan curiga juga selalu muncul di masyarakat yang akan berinteraksi dengan mereka.

Setelah Reformasi 1998, babakan baru dimulai. Dukungan pada para eks tahanan politik itu mulai terbuka sedikit demi sedikit. Sejumlah tahanan politik mulai menunjukkan eksistensi dirinya. Mereka yang selama ini menyembunyikan diri mulai berani menampakkan identitasnya.Kesaksian-kesaksian mulai disuarakan. Mereka ingin melupakan apa yang sebenarnya mereka ingin lupakan.

Dari berbagai pengakuan yang berhasil direkam, sebetulnya mereka yang mengalami "pembersihan ideologi" pun enggan berbagi duka. Namun, gugatan terhadap upaya ketidakadilan itu mulai terus disuarakan. Beberapa film yang mulai muncul, seperti Surat dari Praha,JagalSenyap, adalah keinginan untuk memberikan warna lain terhadap sejarah yang telah dibangun selama ini. Sejarah yang dipahami secara tunggal hendaknya juga mulai membuka diri untuk diberi warna lain, dan biarlah nanti masyarakat yang akan memberikan penilaiannya sendiri.

Bila kita mulai memahami satu dengan lainnya, dengan melakukan rekonsiliasi alami, biarlah masyarakat yang melakukan rekonsiliasi secara kultural dan pemerintah sebagai fasilitator memfasilitasi upaya- upaya itu. Bila kita ingin mencapai rekonsiliasi berjalan dengan wajar, yang tidak dapat membawa pelupaan kita dan tidak dapat dilupakan, maka—pertama-tama— haruslah kita mulai membenahi pikiran kita untuk berdamai dengan sejarah: dengan diri kita, dengan sesama kita. Untuk melakukan upaya rekonsiliasi alami itu diperlukan kebesaran jiwa, kejujuran, dan keterbukaan terhadap orang-orang yang kita anggap sebagai lawan.

Bila kita membicarakan juga apa yang ingin kita lupakan, hal itu bukan semata- mata kita ingin membuka "luka lama bangsa" dan memupuk "dendam sejarah". Kita memang tidak dapat menghindar dari sejarah, meskisejarah itu pahit dan kelam. Janganlah pula kita ingin melupakan sesuatu yang telah terjadi: biarlah sesuatu yang telah terjadi itu menjadi bagian dari kehidupan kita.

Kita harus berdamai dengan sejarah karena kita yakin pemahaman dan pengetahuan tentang tragedi bangsa itu adalah langkah awal untuk menerima sejarah sebagaimana adanya. Hanya dengan menerima kenyataan itulah kita dapat berdamai dengan diri kita, dengan sesama kita. Dari situlah kita akan dapat menemukan kearifan sejarah agar kita tidak mengulang pada hal yang sama.

AMURWANI DWI LESTARININGSIH, MENULIS TESIS TENTANG KAMP TAPOL WANITA DI PLANTUNGAN; SAAT INI BEKERJA DI DIREKTORAT SEJARAH NASIONAL, DITJEN KEBUDAYAAN, KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Berdamai dengan Sejarah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger