Di BaliClean Energy Forum (BCEF), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan, empat tahun ke depan akan dikembangkan8,8 gigawatt (GW), berarti 25 persen energi terbarukan (ET), dari proyek 35 GW. Tanpa merinciapa jenis ET yang akan dibangun, berapabesar, dan di mana lokasinya. Bagaimana sinkronisasi ini terkait pengurangan gas rumah kaca (GRK) sesuai Kesepakatan KTT Perubahan IklimCOP21 Paris 2015?
Pembangkitan listrik darinuklir,fosil perluinput bahan bakar hasil tambang. ET—energisurya, angin, air terjun, biomassa, sampah,panas bumi—tidak perlu inputbahan bakar dan tersediadi alam bebas. Teknologi ETtelah berkembang,bersaing memproduksi listriksecarabebas, tanpa biaya inputbahan bakar,dirancang tidak rentan gangguan,dan takkekuranganbahan bakar.
Tiga langkah upaya perlu dilakukanpengurangan GRK. Pertama, bukan hanyadengan pembangunan proyek ET.Tidak kalah pentingupaya kedua: peningkatanefisiensienergi. Upaya ketiga, penyusunan, penetapanperaturanregulasicerdas danbijak.
Proyek energi terbarukan
Sifat pasokan ETpenuhperubahan, ketidakpastian, sehingga perlu sistemcadangan dari bateraiatau sumber daya energilain. Negara industri majusudah memilikidaya terpasangbesar,sistem cadanganbesar puladibandingkannegara berkembang.Karena itu, negara maju dapat membangunlebihbanyakET.
Disistem interkoneksi Jawa-Bali dengan daya terpasang yangsudah relatifbesar (beban puncak 25 GW, daya terpasang 40 GW) dapat membangun ET lebih banyak daripada di sistem kecil seperti di luar Jawa-Bali.
Disistem Jawa-Bali sudah dapat dibangun energi surya (ES) di atas atap rumah sebesar 4 GW, tanpa pakaibaterai sebagai cadangan karena masih mahal. Untuk 4 GW dibutuhkan 400.000 rumah berluas atap 100 m
EShanya memproduksi listrik pada siang hari. Untuk kebutuhanmalam hari, perlucadangan pengganti. Ini dapat dibangkitkandari sistem hidrobendunganbesar, sepertiPLTA Jati Luhur, Cirata, Saguling, Panglima Sudirman, dan Sutami, jumlah cadangan 1.000 megawatt (MW). Jugadari sistem cadanganpembangkit termis besar (PLTU Batubara Suralaya, Paiton, Cirebon, Batang, PLTGU Muara Karang, dan Muara Tawar)2.000 MW. Juga daripompa simpan PLTA Cisokan Hulu yang sedang dibangun berdaya 1.000 MW.
Tambahan pembangunanES dapatditingkatkan sejalan dengan pertambahan pembangunan sistem pembangkitantermismaupun hidro, terutama pompa simpan, misal PLTAMatenggeng, Jawa Barat. Untuk itu perlu sistem jaringancerdas, selaraskecepatan perubahan beban sistem jaringan serta daya bangkit ES.
ESdi atap-atap rumah di Jakarta danJawa Baratakan mengurangi imporlistrik dari Jawa Timur. ES adalah sistem pembangkitan tersebar sehingga mengurangi pemakaianlahan, beban, serta pembangunanjaringan transmisi 150 kilovolt dan 500 kVyang panjangdan mahal.Waktu pembangunan ES singkat, 6-9 bulan, dapat mempercepat target pembangunan proyek listrik 35.000 MW. Bandingkan waktu pembangunan PLTU batubara 4-5 tahun dan PLTN 6-10 tahun.
Biaya pembangkitan ESmenyaingiPLTU batubara. Padahal, kontrak jual beliPLN dengan PLTU Batubara Batang di Jawa Tengah, 6,1 sen dollar AS per kilowatt hour (kWh) juga jauh lebih murah dari perkiraan harga jual listrik swastaStudi KelayakanKonsultan Jepang untuk PLTN Bangka, 12 sen dollar AS per kWh. Artinya, darimodal pembangunan PLTN dapat dibangun 3-5 unit PLTU Batubara dengan daya terpasang sama. Di daerah terpencil juga dapat dipasang ES kecil dengan baterai atau pembangkit lainuntuk malam hari.
Energi biomassa
Indonesiaterletak di kawasan tropis,tidak memiliki potensi energiangin sebesar negaradi kawasan subtropis, tetapi memiliki potensi sumber energi biomassabesar. Maka, bisa dibangunPLT Biomassa 2.000-4.000 MW dengan biaya pembangkitan8 sen per kWh.
Sementara referensi potensipanas bumi (PB) Indonesia masih mengacu versi lama 29 GW, tanpa memperbarui kelayakannya. Sebagaimana energi hidro, tidak semua potensi PB layak dibangun. Perlu penelitian dan evaluasi kelayakan ulang karena hanya PB dengan harga 4-7 c per kWh pantas dikembangkan, agar tariflistrik kompetitif.
Energi efisiensi memang harus cermat diterapkan. Langkah kebijakan energi efisiensipadadasarnya tidak merupakan upaya padat modal, tidak memerlukan air pendingin, tidakmengeluarkanGRK, dan tidak melelehkan bahan bakar nuklir. Tujuan utamanya mengurangipenggunaan sumber daya energi,yangsuatu saat akanhabis.
Langkah efisiensi ini dinamakan Negawatt, antitesis Megawatt, proyek besar. Langkahkebijakan peningkatan EE dilaksanakan di sisi pasokan dankonservasi di sisi pemakaian. Semisal naik sepeda, jalan kaki, pengurangan pemakaian kendaraan bermotor, penggunaan lampu hemat energi, pengurangan suhu kamar, akan mendorong penghematan energi. Di negara maju,langkah-langkah tersebut terbuktimenurunkan beban puncak dan menunda investasi pembangunan sistem pembangkitan.
Sebuah studi di Amerika Serikat melaporkan langkah efisiensi menundaprogram pembangunan 1.300 pembangkit untuk 20 tahun kemudian.
Untuk itu perlu disiapkanperaturan standarnasional dengan pengawasan ketat. Indonesia bisa belajar standar emisi kendaraan angkutan dari Standar Eropa 1-6 bagi berbagai jenis kendaraan bermotor dan mengurangi kemacetan lalu lintas. Sayangnya,langkah kebijakan efisiensi energi di Indonesia sepertitidakterdengar dipikirkan,padahal potensi penghematannya besar.
Selain penguasaan teknis, proses penyusunankebijakan regulasi sepatutnya dilakukan berdasarkan studi, analisis, danbukti- bukti. Agar transparan proses penetapannya mengacu asasgood governance,melalui proses dengarpendapat publik.
Pemilik rumah di Jakarta pembayar Pajak Bumi Bangunan tinggi, bisa diberi keringanan pajak agar tertarikberinvestasi. Ini terkaitregulasi pengaturan subsidi, perpajakan, kebijakan harga cerdas,demi kepentingan konsumen, investor,sertakesejahteraanbangsa dan negara.
Arifin Panigoro menorehkan lompatan teknologi. Maka, BCEF dapat menjadisaranakerja sama untuk ambilalih teknologi.
RUPTL 2016-2025
Guna pencapaian target energi baru dan terbarukan 23 persen, draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disampaikan ke KementerianESDMmemuat pembangunan 3 GW PLTN. Sungguh suatu hal yang aneh karena PLTNyang sudah dioperasikan sejak 1954 diklasifikasikansebagai energi baru. Di dunia internasional yang digolongkan sebagai energi baru adalah yang benar-benar baru dan belum berkembang, seperti energi arus dan gelombang laut.
Keanehan selanjutnya, sementara negara industri sudah sadarbetapa mahal dan berbahayanya PLTN, mulai meninggalkan atau menguranginya, Indonesia malah memasukkan dalam draf perencanaan. Italia, Swiss, Jerman, dan Austria sudahphase out. Bahkan, Perancis mengurangi PLTNdari produksi75 persen jadi 50 persen pada 2030.
Dalam Pedoman Pengamalan Catursila Penyediaan Tenaga Listrik, keamanan pasokan energi diutamakandengan pasokan energiyang kompetitif, berkelanjutan, ramah lingkungan, dan menjangkau seluruh wilayah dan warga Indonesia.
NENGAH SUDJA, DOSEN PASCASARJANA ENERGI EKONOMI UKI, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Catursila Pasokan Listrik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar