K menyatakan bahwa usia pernikahannya baru sembilan tahun.
Ternyata tiga hal spesifik yang selama berapa bulan terakhir ini ia lakukan demi perbaikan relasi dengan istrinya adalah sebagai berikut.
. Ia memasak makanan kesukaan istrinya pada waktu senggang.
. Ia membawa anak-anak (tiga orang) pergi ke mal, suatu hari Minggu, agar istri dapat melepas lelah pada akhir minggu dan bersantai di rumah tanpa diganggu oleh ulah anak-anak (yang berada dalam kisaran usia 3-7 tahun).
. Ia mau mendengar keluhan istri dengan kesabaran yang luar biasa tentang sikap ibunya yang membedakan perlakuan terhadap dirinya dan adik kandungnya. Istri berpendapat bahwa adiknya sangat dikasihi ibunya, sementara ia merasa dianaktirikan oleh ibu kandungnya itu. Padahal, terus terang K bosan mendengar keluhan tersebut.
Dari upaya konkret yang diutarakan K, saya mengambil kesimpulan bahwa K benar-benar menginginkan perubahan iklim relasi dengan istrinya di rumah. K menginginkan relasi yang penuh kasih dengan istrinya seperti yang pernah K rasakan selama tiga tahun pertama pernikahannya. Pada dasarnya upaya K merupakan ide yang luhur dari seorang suami dan cukup spesifik untuk diri K agar harapannya terpenuhi. Apalagi jika keinginannya menjalin kembali tali kasih yang lebih hangat dengan istrinya.
Banyak artikel di majalah keluarga dan tabloid yang mengungkap berbagai tips untuk membuat pasangan merasa berharga dan spesial. Namun, kita tidak membutuhkan berbagai saran dan tips semacam itu, sejauh mana pun jarak emosi kita dengan pasangan kita atau sesungguh apa pun kita telah mendesak keinginan kita untuk menjalin relasi kita dengan pasangan menjadi hangat kembali. Tidak satu pun orang di dunia ini yang ahli dalam membuat hati pasangan kita menjadi lebih hangat pada diri kita. Mengapa? Karena hal yang paling menghambat kita dalam hal ini adalah kecenderungan kita untuk justru memusatkan perhatian kita pada apa yang kita inginkan pasangan memperlakukan diri kita dan apa yang kita tidak inginkan pasangan memperlakukan kita.
Ketahuilah bahwa semakin lama kita menjalin kehidupan perkawinan, kian mudah kita jatuh ke dalam situasi yang membuat diri kita terbiasa tidak berupaya menciptakan interaksi positif yang menguatkan relasi penuh kasih. Pada awal perkawinan, biasanya kita mengungkapkan penghargaan dan memberikan penilaian positif terhadap apa pun yang dilakukan pasangan kita. Semakin lama usia perkawinan kita, justru kita melakukan kebalikannya, yaitu lebih sering mengkritik dan menjelekkan hal yang dilakukan pasangan.
Serta-merta saya berusaha mengingat kapan terakhir mendapatkan ungkapan penghargaan suami, seperti "Kamu perlakukan anak-anakmu dengan cara yang bijaksana" atau "Hai, indah sekali karangan bunga yang Mama susun" atau "Enak banget sup yang Mama buat pagi ini". Ternyata ungkapan-ungkapan itu lebih terasa masuk ke hati paling dalam dan membuat saya benar-benar merasa dicintai suami. Efeknya, tentu saja kecintaan saya kepada suami meningkat kembali sehingga suasana interaksi dalam keluarga menghangat kembali.
Jadi, ternyata pendapat bahwa jika kita memiliki keyakinan diri (self esteem) yang optimal sekalipun, kita tetap memerlukan sejenis ungkapan penghargaan spesifik dari luar diri kita. Seperti halnya anak-anak yang membutuhkan penghargaan, seperti "Gitu, dong, ternyata anak Papa bisa merapikan kamar sendiri" atau "Anakku sudah besar, ya, bisa menata meja makan dengan rapi". Begitu pula halnya dengan pasangan kita sebagai orang yang telah dewasa, jelas sesekali ia membutuhkan apresiasi dan penghargaan tulus yang merupakan suara batin kita agar pasangan kita tetap merasakan bahwa ia kita cintai sepenuh hati. Pasangan kita membutuhkan ungkapan bersifat spesifik dengan frekuensi tertentu.
Untuk memecah kebekuan interaksi antarpasangan dalam perkawinan yang sudah bertahun terjalin, kiranya kita dapat memulai dari diri kita, yaitu dengan mengubah kecenderungan mengkritik menjadi mulai menghargai dan mengungkap sisi positif pasangan dalam keseharian kehidupan berkeluarga. Misalnya, "Papa hebat, deh, ternyata bisa juga masak steik yang lezat" atau "Enggak perlu panggil tukang listrik, ya, Pa. Papa sendiri bisa membetulkan sekring di kamar kita. Jago juga, ya, Papaku ini".
Kembali pada kasus K, dapat kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan K adalah apa yang sebenarnya K ingin diperlakukan oleh istrinya sehingga istri K bergeming. K tidak mencermati apa yang sebetulnya dibutuhkan istrinya. Istri K sebenarnya membutuhkan pengakuan dan penghargaan dari lubuk hati mendalam K, yaitu penghargaan dan apresiasi K atas kontribusi istrinya yang bekerja keras di kantor untuk membantu menunjang kebutuhan ekonomi keluarga. Misalnya, "Capek, ya, Ma, kerja berat. Terima kasih, ya, mudah-mudahan suatu saat Papa bisa mendapat kenaikan tunjangan". Selama ini, istri K menilai K cenderung mengambil manfaat keberadaan istri saja tanpa menyadari kerja keras istri dalam hal menunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang sebetulnya secara penuh adalah kewajiban K sebagai kepala keluarga.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2016, di halaman 25 dengan judul "Anda Orang yang Ahli dalam Hal Ini, Apa Itu?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar