Upaya penguasaan teritorial dilakukan dengan beragam cara: mulai dari reklamasi pulau, membangun pelabuhan, landasan udara, hingga menempatkan rudal dan radar yang diyakini mampu mendukung operasi militer bagi angkatan laut dan udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) pada wilayah sengketa.
Upaya Tiongkok dalam penaklukan teritorial ini perlu dilihat dengan mempertimbangkan kontestasi politik domestik Tiongkok sehingga membentuk pola penaklukan teritorial. Dalam konteks ini, Tiongkok memiliki pola politik penaklukan teritorial dengan cara memobilisasi patriotisme Tiongkok melalui klaim sejarah, militerisasi wilayah penaklukan, dan konsolidasi kepemilikan teritorial.
Mobilisasi patriotisme adalah upaya utama membangkitkan semangat persatuan bangsa Tiongkok sejak era Mao Zedong hingga Xi Jinping, dan tidak terpisahkan dari sejarah hilangnya kepemilikan teritorial Tiongkok. Makna strategis mobilisasi patriotisme dengan klaim sejarah tidak hanya bermanfaat untuk memobilisasi rakyat Tiongkok untuk mendukung perilaku politik teritorialnya, juga sekaligus dapat memberikan legitimasi politik domestik Tiongkok, khususnya di tengah rentannya instabilitas politik terkait dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Klaim sejarah bukan merupakan hal yang baru dalam upaya penaklukan teritorial seperti yang dilakukan dalam klaim kepemilikan Laut Tiongkok Selatan (LTS). Keberhasilan Tiongkok dalam penaklukan teritorial Tibet pada 1949 diawali dengan penggunaan klaim sejarah. Demikian pula dengan sengketa kepemilikan Pulau Diaoyu/Senkaku, juga didasarkan oleh klaim sejarah. Interpretasi klaim sejarah terbukti tidak hanya memberikan legitimasi dan stabilitas politik domestik, juga meningkatkan posisi tawar Tiongkok untuk menantang tata aturan yang berlaku dalam norma pergaulan internasional. Dengan memobilisasi patriotisme rakyat, setidaknya stabilitas politik domestik dapat menjadi aset mendukung politik teritorial Tiongkok yang agresif terhadap negara lain.
Militerisasi teritorial
Penempatan radar dan rudal HQ-9 di kawasan LTS merupakan bentuk militerisasi untuk mendukung kontinuitas politik penaklukan teritorial Tiongkok. Selain diarahkan untuk dapat menguasai wilayah udara dan perairan LTS, upaya militerisasi tersebut juga mengirimkan pesan politik yang strategis Tiongkok.
Pertama, konteks militerisasi yang dilakukan setelah KTT ASEAN-AS, Tiongkok bermaksud mengirimkan pesan bahwa mereka merupakan kekuatan hegemoni di Asia Tenggara sekaligus ditujukan sebagai upaya provokasi terhadap kemesraan hubungan AS-ASEAN. Kedua, militerisasi juga mengindikasikan kesiapan kapabilitas PLA untuk mendukung ambisi politik teritorial Tiongkok dan mengamankan wilayah maritim di LTS yang kaya potensi ekonomi.
Menariknya, militerisasi teritorial akan semakin terintegrasi dengan kebijakan pembangunan Tiongkok. Dalam proposalThe 13th Five Year Development Plan 2016-2020—Repelita ala Tiongkok—disebutkan akan adanya kemungkinan ekspansi geografis dalam aktivitas kemaritiman Tiongkok. Artinya, kesiapan dan peningkatan kapabilitas PLA dalam hal ini berkaitan erat untuk melindungi kepentingan ekonomi Tiongkok, khususnya dengan sumber daya alam dan nilai strategis jalur kelautan internasional yang terdapat di LTS.
Konsolidasi teritorial yang dilakukan Tiongkok tidak hanya menggunakan pendekatan hard power melalui upaya militerisasi teritorial yang bersengketa, tetapi juga menggunakan pendekatansoft power dengan cara memberikan insentif ekonomi bagi negara di kawasan yang teritorialnya bersengketa.
Hard power dilakukan Tiongkok dengan memungkinkan teritorial sengketa berintegrasi dengan wilayah bagian Tiongkok. Artinya, Tiongkok bisa saja memasukkan teritorial yang dipersengketakan berada dalam pemerintah provinsi Tiongkok, seperti halnya yang terjadi di Tibet ketika Tiongkok mendefinisikan kembali luas dan batas wilayah Tibet melalui kebijakan otonomi khusus Tibet di tahun 1965. Sejauh ini, upaya paling mungkin dilakukan pasca militerisasi di beberapa pulau palsu di LTS adalah dengan mendeklarasikan air defense identification zone (ADIZ). Namun, tak juga menutup kemungkinan bahwa Tiongkok akan memasukkan kepulauan di Spratly dan Paracel di bawah pemerintah provinsi Tiongkok dalam waktu mendatang.
Dalam konteks soft power, Tiongkok menawarkan insentif apabila jadi kawan dan intimidasi apabila memilih menjadi lawan. Perlu dipahami juga bahwa insentif dan intimidasi politik penaklukan teritorial Tiongkok dilakukan pada negara-negara yang memiliki sengketa teritorial.
Pelajaran dari gagalnya konsensus ASEAN di tahun 2012 mengenai code of conduct(COC) LTS menjadi gambaran bahwa konsolidasi teritorial dapat dilakukan melalui jalur diplomasi. Aktifnya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) sebagai alternatif pendanaan internasional bagi pembangunan infrastruktur semakin berpotensi menjadi alat diplomasi Tiongkok untuk memperkuat konsolidasi politik teritorialnya.
Saat ini, prioritas utama Tiongkok adalah menyelesaikan tahapan militerisasi dan memulai tahapan konsolidasi teritorial. Mobilisasi patriotisme juga akan terus dilakukan untuk mengawal kepentingan Tiongkok demi mendapatkan ambisi penguasaan teritorial di LTS.
Politik penaklukan Tiongkok seyogianya perlu menjadi perhatian khusus dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu lebih giat mendorong sentralitas ASEAN yang memberikan insentif bagi Tiongkok untuk berkomitmen mematuhi norma di ASEAN dan hukum internasional.
STEVEN YOHANES POLHAUPESY, PENELITI THE HABIBIE CENTER
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Politik Penaklukan Teritorial Tiongkok".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar