Kumpulan para pemuda ini tampak tidak ramah dan seperti akan menuju medan perang. Kemudian ditambah dengan kehadiran ormas lainnya memprotes keberadaan kelompok minoritas yang sering diistilahkan sebagai LGBT-singkatan dari lesbian, gay, biseksual, transgender. Mereka pun berpose di tiap sisi monumen dengan gaya menantang seperti mengepalkan tangan dan berkacak pinggang, sementara sebagian di antaranya memegang spanduk-spanduk protes dengan pernyataan penolakan atau vonis tentang gangguan kejiwaan kelompok yang mereka anggap akan membahayakan umat.
Gaya dan tampilan mereka yang sedemikian rupa telah menimbulkan perasaan tegang bagi siapa pun yang melihatnya karena mengisyaratkan ancaman kekerasan dan kebencian. Yang bisa membuat siapa pun merasa waswas dan khawatir bahwa sesuatu yang membahayakan bisa terjadi setiap saat. Memang, menurut info yang menyebar di media sosial, mereka mendapat tantangan dari para aktivis pro LGBT. Maka, bagi siapa,pun yang mengetahui masalah ini pasti akan terbawa suasana tegang di siang hari yang mendung itu.
Akan tetapi, sementara mereka berpose demikian seraya berfoto dan terkadang meneriakkan yel-yel pembangkit semangat sambil mengacungacungkan kepalan tinju ke udara, saya melihat seorang lelaki muda duduk di satu sisi di pinggir jalan. Sambil menonton adegan-adegan tersebut ia merajut! Benang yang lembut itu dirajut dan membentuk rangkaian yang tampak indah. Sungguh seperti sebuah adegan "pertunjukan" ganjil yang sangat mengesankan dan inspiratif.
Ya, ancaman yang mengisyaratkan kekerasan dan kebencian ini seperti mendapatkan tanggapan yang cerdas dan tepat. Tidak ditanggapi dengan perlawanan bersifat macho, jantan, dan balas menantang seperti umum dilakukan jika merujuk ke dalam konteks budaya kita. Akan tetapi, secara tak terduga dan mengejutkan malah ditanggapi dengan sikap yang mengisyaratkan sesuatu yang lembut dan feminin serta memunculkan keindahan. Namun, sekaligus hadir dengan cara yang cukup konfrontatif karena menghadirkan kualitas maskulin dalam bentuk fisik seorang lelaki.
Hal ini membangkitkan renungan dan kesadaran tentang fungsi tradisional monumen tersebut. Yang memiliki nilai simbolis berupa garis penghubung antara Laut Selatan, keraton, dan Gunung Merapi yang bersifat magis, yang secara filosofis menggambarkan koordinat keseimbangan antara energi feminin dan maskulin. Perbedaan yang tampak berlawanan dianggap berada dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Keseimbangan
Pemahaman keseimbangan atas hal yang berlawanan (dualistis) di sini tidak untuk dipilih salah satu di antara dua hal itu-atau dengan lain perkataan bisa dikatakan tidak dibebani pemahaman positif dan negatif di mana ke dua sisi dianggap penting dan memiliki kekuatan. Dengan gambaran koordinat keraton berada di antara Laut Selatan yang mewakili sifat feminin dan Gunung Merapi yang bersifat maskulin. Menggambarkan simbol posisi "Sang Ratu" yang berada tepat di tengahnya. Memberikan gagasan yang jelas mengenai fungsinya di alam semesta ini. Ia yang sanggup merangkul dan mengoordinasikan dua macam kekuatan dan "kesadaran berlawanan" sehingga menjadi lengkap, seimbang, dan sempurna. Falsafah kuno ini tampaknya berbeda dengan cara pikir modern yang cenderung menggunakan pendekatan dan sistem oposisi biner yang linier. Seakan memisah hal berlawanan di mana satu dan lainnya seperti tak berhubungan.
Ketika dihadapkan pada hal berlawanan, manusia modern cenderung didorong untuk memilih salah satu. Memilih di antara kutub positif dan negatif atau yang benar dan salah- bukan memahami alam dan kehidupan dalam keberagaman sebagai kesatuan. Menetapkan pemenang sebagai yang benar dan yang kalah sebagai yang salah-bukan pemahaman kebenaran dalam pengertian arif bijak dan mendalam. Demikian tugu yang dibangun pada tahun 1755 oleh Hamengku Buwono I yang telah berubah bentuk di masa penjajahan sehingga sudah tak bisa dibaca lagi sesuai dengan pemikiran filosofis yang ingin disampaikan. Kala itu sesudah hancur terlanda gempa, kemudian direnovasi pihak penjajah yang lalu menjadikan bentuknya seperti kita bisa saksikan sekarang. Demikian pula dengan namanya dulu disebut Golong-Gilig (yang menunjukkan patokan arah meditasi Sang Sultan) lalu berubah nama menjadi Tugu Pal Putih terjemahan dari nama yang diberikan penguasa Belanda: De White Paal.
Diskriminasi dan stigmatisasi kelompok minoritas saat ini seperti tiba-tiba menjadi gencar. Beberapa pejabat pemerintah, politisi, dan pemimpin ormas-ormas agama menggelar pernyataan-pernyataan penolakan atau anggapan bahwa kelompok ini menderita gangguan jiwa. Bahkan, Komisi Penyiaran Indonesia membuat peraturan yang mendiskriminasi waria-melarang yang dianggap lelaki tampil dengan dandanan dan hiasan yang biasa digunakan kaum perempuan.
Hal tersebut membuat kita bertanya apa gerangan sebetulnya yang terjadi? Mengingat kenyataan keberadaan kelompok minoritas ini sudah dipahami sejak lama dan tidak menimbulkan kehebohan seperti sekarang. Mengapa isu ini seperti tiba-tiba menyedot perhatian semua orang? Dan begitu intensif hingga seakan menutupi isu lain yang sebetulnya jauh lebih penting, seperti penggembosan KPK atau kelanjutan kasus Papa Minta Saham. Selain gugatan aktivis atas kasus pelanggaran HAM pemerintah Orde Baru pada tahun 1965 yang masih belum ditanggapi dengan semestinya. Ataupun kebakaran masif berjuta hektar hutan belum lama berselang yang tidak jelas kelanjutan penanganannya.
Ya, peraturan tersebut di atas sebetulnya bukan saja diskriminatif, tetapi juga tak menghargai dunia seni, dalam hal ini khususnya dunia seni pertunjukan. Adalah tradisi yang tua dan dianggap lumrah di dalam seni pertunjukan di Tanah Air ketika dalam pertunjukan-pertunjukan tertentu para lelaki berperan sebagai perempuan. Tidak pernah ada yang menyatakan bahwa hal ini salah dan menjadikannya semacam pelanggaran seperti sekarang. Ini sungguh merupakan langkah mundur di wilayah kebudayaan yang hanya menunjukkan ketidakberadaban karena perlakuan tak manusiawi seperti ini bisa dianggap sebagai "pertunjukan dan pameran" budaya kekerasan.
Sesungguhnya kekerasan tak perlu dilawan dengan kekerasan lagi karena hanya akan tampak konyol dan memerangkap kita dalam lingkaran kekerasan yang tak ada putusnya. Terus-menerus terjebak dalam laku kekerasan hingga akhirnya menemui kehancuran. Apakah kehidupan dan budaya seperti ini yang kita inginkan dan wariskan pada generasi mendatang? Dan lalu menyalahkan pihak liyan menuntut mereka untuk bertanggung jawab serta menganggap diri ini hanya sekadar korban? Atau menjadi begitu sangat yakin bahwa agama yang kita anut adalah agama keras dan kejam tanpa kasih sehingga kita tak perlu merasa bersalah jika melakukan kekejian terhadap sesama makhluk hidup?
Banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan dalam situasi kerancuan dan manipulasi nilai-nilai yang cukup membingungkan ini. Tentunya dengan harapan situasi tegang dan kacau ini akan menemui akhir yang melegakan. Tidak terus berlanjut dan menyebabkan kembalinya tragedi seperti di masa lalu. Dan tidak perlu menjadi lembaran gelap lain dalam sejarah kehidupan bangsa.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2016, di halaman 26 dengan judul "Menolak Tragedi Kekerasan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar