Banyak lembaga pemerintah bergonta-ganti nama dan singkatan. Misalnya, Kementerian Pendidikan Nasional, yang disingkat menjadi Kemdiknas, kini kembali jadi Kemdikbud. Dulu, istilah SMP dan SMA diganti dengan SLTP dan SMU. Namun, kini kembali ke SMP dan SMA.
Hal yang menurut saya paling fatal dilakukan Kemdikbud adalah mengganti nomor-nomor urutan sekolah. Misalnya, SD 2 bisa menjadi SD 13, SMP 2 menjadi SMP 5, SMA 6 menjadi SMA 8. Dengan demikian, jika seorang alumnus ingin mengirim sesuatu ke sekolah asalnya, alamat atau tujuan bisa salah. Begitu juga jika ada yang ingin mengadakan reuni, pasti akan repot karena harus ada keterangan tambahan tentang nomor sekolah.
Di lembaga-lembaga pemerintahan lain juga terjadi hal serupa. Penggantian nama Departemen Penerangan (Deppen) menjadi Kementerian Penerangan mungkin tak banyak menimbulkan masalah. Namun, apakah perlu mengganti istilah "penerangan" dengan "kominfo" sehingga akronimnya menjadi Kemenkominfo? Belum lagi istilah PNS (pegawai negeri sipil) yang diganti dengan ASN (aparat sipil negara). Sungguh membingungkan.
Silakan Bapak Presiden, Wapres, dan para menteri menanyakan kepada siswa SMP, SMA, atau bahkan mahasiswa, apakah mereka tahu nama-nama kementerian, apalagi nama menteri-menterinya. Saya yakin, jawaban mereka akan mengecewakan. Namun, itu bukan salah mereka, salah pemerintah sendiri yang suka mengganti nama.
PANDU SYAIFUL
Perum Cendana, Balai Raja, Pekanbaru
Tanggapan Bank Mega
Sehubungan dengan surat Bapak Bambang di harian Kompas (23/2), berjudul "Tak Transaksi", kami telah menghubungi yang bersangkutan untuk menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami, sekaligus memberi penjelasan terkait keluhannya.
Kemudian, pada 26 Februari 2016, kami telah menyelesaikan masalah yang dihadapi Bapak Bambang sesuai dengan permintaan, dan yang bersangkutan tidak mempermasalahkan lagi.
Terima kasih atas kepercayaan Anda dalam menggunakan produk dan layanan Bank Mega. Apabila masih ada pertanyaan, silakan melapor secara tertulis melalui formulir pengaduan nasabah pada situs www.bankmega.comatau layanan Mega Call 60010 (HP)/1500010.
CHRISTIANA M DAMANIK
Corporate Secretary PT Bank Mega Tbk
Paket Tak Sampai
Saya adalah pemilik online shop Ratu Daster. Hampir setiap hari saya menggunakan jasa pengiriman barang melalui JNE ke berbagai wilayah di Indonesia.
Pada 28 september 2015 pukul 12.59, saya mengirim barang melalui JNE Suryakencana, Pamulang. Ada dua paket, masing-masing dengan nomor resi TGRH900344194615 (alamat penerima di Jakarta) dan nomor resi TGRH900344245215 (alamat penerima di Palangkaraya).
Ternyata paket pertama malah tiba di Palangkaraya, padahal jelas-jelas saya tulis di sana alamat Jakarta. Paket nomor dua ternyata tidak sampai ke pelanggan saya di Palangkaraya.
Setelah saya menelepon call center, ternyata paket nomor dua belum dikirim dan saat itu masih di Jakarta. Saya mendapat janji paket akan segera dikirim sesuai alamat tercantum. Kemudian, saya mengirim e-mail sebagai bukti bahwa saya sudah komplain ke layanan pelanggan JNE dengan cc e-mail ke pelanggan saya.
Kemudian, saya lupa tanggal berapa, paket nomor dua akhirnya sampai ke pelanggan saya dengan alamat Palangkaraya. Namun, paket nomor satu ternyata masih ada di pelanggan Palangkaraya juga. Pihak JNE belum juga datang mengambil paket tersebut untuk dikirim kembali ke Jakarta. Saya setiap hari sudah mengirim e-mail dan komplain ke JNE via telepon. Namun, lagi-lagi hanya ada janji akan diinvestigasi dan ditindaklanjuti.
Sebagai pemilik online shop,saya membutuhkan tingkat kepercayaan tinggi dari pelanggan. Oleh karena itu, akhirnya saya berinisiatif menghubungi pelanggan saya di Palangkaraya dan meminta tolong mengirimkan paket nomor satu yang belum diambil pihak JNE untuk dikirim kembali ke Jakarta dengan ongkos kirim lagi dari saya.
Saya benar-benar kecewa karena tidak ada tanggung jawab dari pihak JNE. Saya sudah mencantumkan nomor ponsel di paket dan di resi JNE, tetapi tidak pernah dihubungi.
EKA DIAN
Jalan Kenari Kompleks Reni Jaya, Pamulang, Tangerang Selatan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar