Pada 2015, misalnya, silang pendapat itu antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya soal proyek pembangkit listrik 35.000 MW, berlanjut soal perpanjangan kontrak Freeport. Lalu silang pendapat antara Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan soal impor beras.
Di tahun 2016, yang baru beberapa bulan ini, telah muncul silang pendapat antara Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN soal kereta cepat. Lalu kembali silang pendapat antara Menteri ESDM dan Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya soal Blok Masela. Terakhir, polemik antara Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan Sekretaris Kabinet soal Garuda Indonesia.
Bahkan, yang lebih parah, ada menteri yang berani mendahului Presiden, seperti diungkapkan Jubir Presiden Johan Budi SP belum lama ini. Sementara Presiden Jokowi dengan jelas telah memberikaan "arahannya" beberapa kali bahwa silang pendapat cukup terjadi di sidang kabinet. Namun, kenapa silang pendapat yang memalukan sebagai refleksi rendahnya soliditas kabinet yang notabene kurangnya kewibawaan (kepemimpinan) Presiden itu terus terjadi, seolah arahanPresiden itu masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan?
Psikologi organisasi
Tampaknya, Jokowi harus menyadari heterogenitas latar belakang—termasuk motif, kepentingan, serta kompetensi dan kesetiaan para menteri dalam kabinetnya—baik dari aspek politik maupun profesionalisme. Setelah dua tahun berjalan, soliditas kabinet tak kunjung membaik. Bukan cuma soal kewibawaan Presiden, terlebih penting lagi: kinerja Kabinet Kerja secara holistik. Dari tinjauan psikologi organisasi, problem ini terutama terkait dengan aspek terpentingnya, yaitu kepemimpinan.
Ada dua tipe kepemimpinan spesifik yang relevan dengan konteks permasalahan rendahnya soliditas kabinet ini. Pertama, kepemimpinan yang ditakuti. Tipe kepemimpinan ini landasan psikologi (kepemimpinannya) dimulai dari proses "menaklukkan hati" para pengikut. Penaklukan hati pengikut ini lebih dilandasi oleh posisiseorang pemimpin, SK (surat keputusan), atau legitimasi formal kepemimpinan. Jika meminjam konsep John Maxwell, pemimpin menjalankan kepemimpinannya karena dia punya hak (formal) kepemimpinan, dan pengikut mengikuti pemimpin karena mereka harus/diharuskan.
Jenis interaksi relasional pemimpin–pengikut bersifat transaksional: saya akan melakukan sesuai apa yang saya dapatkan. Atau saya akan melakukan sesuai apa yang diminta dan dituntut dari saya. Kadar kewibawaan pemimpin berada di lapis terluar, perifer: pengikut akan patuh dan menurut ketika berada di depan pemimpin. Namun, tatkala pemimpin berbalik, pengikut akan menjulurkan lidahnya di belakang punggung pemimpinnya (baca: kewibawaan pemimpin menurun bahkan lenyap, pengikut bisa sama sekali tidak mengindahkan kepemimpinan sang pemimpin). Kehadiran fisikal pemimpin sangat diperlukan. Ibaratnya, jika kucing tak di tempat, tikus akan berlarian merajalela.
Kedua, kepemimpinan yang disegani. Tipe kepemimpinan ini landasan psikologi kepemimpinannya dimulai dari proses "memenangkan hati" para pengikut. Proses pemenangan hati pengikut ini tidak semata-mata mengandalkan legitimasi formal kepemimpinan karena posisi atau SK, tetapi lebih kepada legitimasi moral pribadi, juga karena kualitas dan keberadaan diri sang pemimpin. Diawali proses aktualisasi diri kepemimpinan yang menjadi bukti kualitas dan keberadaan kepemimpinan, dan dari proses itu terbentuklah portofolio kepemimpinan sang pemimpin di mata pengikutnya.
Meminjam konsep John Maxwell, pemimpin menjalankan kepemimpinannya karena dia punya atau mendapatkan respek dari pengikutnya, dan pengikut mengikuti pemimpin karena mereka memang mengakui dan menerima pribadi sang pemimpin.
Jenis interaksi relasional pemimpin–pengikut bersifat transformasional: saya akan melakukan apa pun lebih dari yang saya dapat.Atau saya akan melakukan jauh lebih baik, bahkan terbaik dari yang diminta dan dituntut dari saya. Kadar kewibawaan pemimpin berada di lapis terdalam: pengikut akan patuh dan menurutdi mana pun pemimpin berada. Fungsi dan wibawa kepemimpinantak memerlukan kehadiran fisikalsang pemimpin.
Jelas dan tegas
Melihat berbagai gejala yang diuraikan di atas, tampaklah Jokowi lebih mengarah pada tipe kepemimpinan yang ditakuti. Dia memimpin dan diikuti hanya berdasarkan kursi formal kepresidenannya.
Jika Jokowi mau bertahan pada tipe kepemimpinan yang ditakuti, itu sah saja, tetapi dia harus melengkapi kepemimpinannya dengan mekanismereward-punishment yang jelas dan tegas. Polanya tidak bisa hanya memberikan arahan, imbauan, teguran, dan lainnya. Kalau perlu model hukuman yang diberikan harus lebih tegas dan jelas, sampai pemberhentian. Jokowi tidak perlu ragu untuk melakukan perombakan kabinet sebagai bentuk hukuman padamenteri- menteri pembangkang.
Opsi lain, berpindah dimensi kepemimpinan, menuju tipe kepemimpinan disegani. Konsekuensinya, Jokowi harus meningkatkan legitimasi moral kepemimpinannya melalui proses aktualisasi diri kepemimpinan terus-menerus lewat peningkatan kapasitas, kompetensi kepresidenan, dan integritas dirinya (satunya kata dan perbuatan). Pada saat yang sama, diimbangi dengan pola apresiasi yang jelas dan tegas kepada menteri yang bukan hanya punya kinerja bagus, melainkan juga menunjukkan kepatuhan moral yang bagus.
Tentu saja Jokowi bisa memakai keduanya secara situasional, tetapi untuk saat inidia lemah sekali soal kapasitas kepemimpinan yang disegani. Sementara kompleksitas dan tantangan permasalahan saat ini dan ke depan lebih membutuhkan tipe kepemimpinan yang disegani.
HERRY TJAHJONO, TERAPIS BUDAYA PERUSAHAAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Kepemimpinan Disegani".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar