Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 07 April 2016

TAJUK RENCANA:: Turki Sulit Sejajar dengan Eropa (Kompas)

Relasi Turki-Uni Eropa turun naik selama dekade terakhir. Namun, saat ini, setelah krisis pengungsi di Eropa, momentum berpihak kepada Turki.

Negara yang berbatasan dengan wilayah timur Eropa dan wilayah barat Asia itu kini menjadi penentu dalam penyelesaian krisis pengungsi di Eropa.

Tercapainya kesepakatan pengungsi antara Uni Eropa (UE) dan Turki, Maret lalu, secara signifikan menyetop upaya pengungsi menyeberang ke Eropa dari Turki. Kenyataan ini untuk sementara melegakan negara-negara UE.

Namun, seperti kita ketahui, imbalan UE bagi Turki pun tidak "murah". Selain dana, Turki menginginkan pembebasan visa Schengen bagi warganya dan dibukanya kembali pembicaraan keanggotaan Turki di UE. Persoalannya, UE tidak yakin Turki mampu menerapkan prinsip demokrasi ataupun hak asasi manusia (HAM) sesuai standar Eropa.

Dulu, agar bisa diterima sebagai anggota blok, Turki berupaya keras melakukan reformasi politik di bidang HAM. Namun, Turki kini berada di atas angin. Hanya beberapa hari sebelum terjadi kesepakatan UE-Turki, otoritas Turki mengambil alih surat kabar terbesar,Zaman, karena dinilai terlalu kritis kepada pemerintah. Hampir semua pemimpin Eropa tutup mata atas peristiwa ini.

Presiden Recep Tayyip Erdogan merupakan tokoh di balik langkah-langkah kontroversial untuk membungkam pers. Pekan lalu, ia memerintahkan penahanan sejumlah jurnalis dari beberapa media terkemuka Turki karena liputan investigatif yang membongkar skandal pemerintah, di antaranya soal bantuan senjata Turki untuk kelompok oposisi di Suriah, juga skandal korupsi di lingkaran dalam Erdogan. Atas tuduhan "membocorkan rahasia negara", para wartawan itu bisa dituntut hukuman seumur hidup.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengkritik langkah Ankara. Namun, Erdogan tak kalah sengit membalas dengan mengatakan Barat harus berkaca dulu sebelum mengkritik. Tak ayal, Erdogan kini menjadi bulan- bulanan hampir semua media di Eropa. Ankara mencoba menekan para mitranya, antara lain Jerman, untuk mengendalikan media dan menghentikan pemberitaan negatif tentang Erdogan. Tentu saja, ini upaya sia-sia.

Di dalam negeri, Erdogan mungkin orang kuat. Akan tetapi, di luar Turki, ia menghadapi dunia tanpa batas yang saling terkoneksi. Ia mungkin bisa memenjarakan jurnalis, tetapi ia tidak bisa membungkam kebenaran.

Di hari-hari ini, kita menyaksikan bagaimana produk kolaborasi jurnalis internasional, "Panama Papers", mampu melengserkan Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugson. Artinya, ada kekuatan demokratis besar yang beroperasi di luar wilayah kekuasaan politik dan negara.

Momentum kini ada di tangan Turki. Jika tetap bertahan dalam prinsip-prinsip otoriterian, akan sulit bagi Turki untuk berdiri sejajar di klub Eropa.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Turki Sulit Sejajar dengan Eropa".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger