Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 27 Mei 2016

TAJUK RENCANA: Kontroversi Perppu Kebiri (Kompas)

Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No 1/2016 sebagai respons merebaknya kekerasan seksual. Substansi perppu itu memicu pro-kontra.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 disebut media sebagai Perppu Kebiri. Sebutan media itu tidak salah karena perppu yang ditandatangani Presiden Jokowi, 25 Mei 2016, dan berlaku sejak ditandatangani itu mengadopsi hukuman mati dan pidana tambahan kebiri dan pemasangan cip. Pidana tambahan kebiri itu menuai kontroversi karena berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Selain ada yang kontra, ada juga yang mendukungnya.

Komisi Nasional HAM menilai pengebirian melanggar HAM. Pengebirian bukan solusi atas maraknya pemerkosaan. Meskipun hukum harus menimbulkan efek jera, hukum tidak boleh melanggar prinsip kemanusiaan. Pendapat senada disampaikan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Kompas, 26/5).

Perppu kebiri dibuat seperti terburu-buru dan cenderung reaktif. Pemberatan hukum dan penetapan pidana tambahan yang tidak lazim mempersyaratkan sistem peradilan yang bersih. Apakah peradilan kita sudah bersih dan mampu menegakkan itu? Namun, nyatanya, perppu itu telah menjadi fakta hukum dan politik. Konstitusi memberikan hak kepada Presiden untuk menerbitkan perppu dalam hal terjadi kegentingan memaksa.

Apa itu kegentingan memaksa, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi penafsiran adanya kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat; undang-undang tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum; kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang prosedur biasa karena keadaan mendesak itu membutuhkan penyelesaian segera.

Tafsir kegentingan memaksa dari Presiden saat mengeluarkan perppu akan diuji DPR. Jika mengonfirmasi kegentingan memaksa itu—apa pun rasionalitasnya—Perppu No 1/2016 itu akan menjadi undang-undang. Ruang terbuka menguji konstitusionalitas perppu itu adalah membawa Perppu No 1/2016 ke MK.

Kita memandang pengenaan pidana tambahan dengan kebiri dan pemasangan cip dalam Perppu No 1/2016 bukanlah solusi atas maraknya pemerkosaan. Perppu itu belum menyentuh causa prima terjadinya pemerkosaan yang boleh jadi adalah karena cara pandang yang tidak seimbang seorang lelaki terhadap perempuan. Perppu itu pun tak menyentuh penyebab terjadi pemerkosaan, seperti maraknya pornografi dan kurangnya kita memberikan pendidikan seksualitas. Perppu itu reaktif di akhir tanpa melihat faktor penyebab dan mempertimbangkan korban.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Kontroversi Perppu Kebiri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger