Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Juni 2016

Kapolri Sesudah Reformasi//Tak Paham Visi Reklamasi//Tagihan Bengkak (Surat Pembaca Kompas)

Kapolri Sesudah Reformasi

Kepala Polri Jenderal Polisi Dibyo Widodo (15 Maret 1996-28 Juni 1998) adalah Kapolri ke-12 sejak kemerdekaan dan paling sibuk pada masa peralihan dari Orde Baru ke reformasi.

Dalam rentang waktu 18 tahun pasca reformasi, sudah ada 11 Kapolri silih berganti dengan variasi masa jabatan dua bulan (Jenderal Polisi Chairuddin Ismail sebagai pejabat sementara Kapolri, 2 Juni 2001-7 Agustus 2001); sampai 3 tahun 7 bulan (Jenderal Polisi Da'i Bachtiar, 29 November 2001-7 Juli 2005).

Masa jabatan terlama, 14 tahun, dipegang Kapolri pertama Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (29 September 1945-14 Desember 1959).

Sejak kemerdekaan sampai berakhirnya Orde Baru, hanya empat Kapolri yang bertahan empat tahun atau lebih beberapa bulan. Jenderal Hoegeng Iman Santoso hanya 3 tahun 4 bulan 17 hari (15 Mei 1968–2 Oktober 1971). Namun, dengan masa jabatan yang relatif singkat, Kapolri Hoegeng meninggalkan suri teladan luar biasa.

Sebentar lagi NKRI akan mendapatkan Kapolri ke-24, Komisaris Jenderal Muhammad Tito Karnavian, yang relatif muda dibandingkan para komisaris jenderal seniornya, cukup senior dibandingkan para Kapolri awal kemerdekaan. Jika tidak ada aral melintang ia dapat menjadi Kapolri yang menjabat cukup lama (7 tahun) di masa pasca reformasi.

Bangsa Indonesia mendoakan agar Kapolri baru senantiasa mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan dapat mengembangkan Polri semakin profesional, berwibawa, dan dicintai masyarakat.

WIM K LIYONO

Surya Barat, Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Tak Paham Visi Reklamasi

Salah satu kendala pembangunan adalah ketidaksiapan pemerintah memaparkan visi pembangunan kepada masyarakat, serta bagaimana implikasi positif pembangunan tersebut bagi kehidupan masyarakat.

Visi pembangunan adalah harapan dari proses pembangunan yang direncanakan, termasuk di dalamnya rencana tata kelola kehidupan masyarakat di kawasan pembangunan tersebut. Dapatkah mereka berperan serta dan sekaligus menikmati dampak pembangunan? Ataukah mereka justru tersingkir dan kehilangan sumber hidupnya?

Inilah yang terjadi dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta yang mendapat penolakan dari masyarakat nelayan karena khawatir proyek mematikan mata pencarian dan menggusur tempat mereka bermukim selama ini.

Namun, pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta gagal mengedukasi terkait penjelasan visi reklamasi ini kepada masyarakat nelayan utara Jakarta. Wajar saja para nelayan gaduh soal nasib mereka nanti, karena tidak adanya jaminan dari pemerintah daerah.

Seharusnya Pemprov DKI Jakarta menyampaikan tujuan baik pembangunan dengan memberikan penjelasan detail, termasuk bagaimana skema penempatan permukiman nelayan, kawasan menambatkan kapal, dan fasilitas lain yang bisa mereka dapat.

Pemprov DKI Jakarta dapat mengoptimalkan jajaran birokrasi sampai level bawah untuk menyosialisasikan bahwa visi besar reklamasi tak mengorbankan nelayan. Bahkan, kalau perlu mengajak abang dan none Jakarta sebagai duta pembangunan.

Tanpa penjelasan, masyarakat gagal melihat dampak positif reklamasi bagi kehidupan mereka.

ACHMAD SUHARDI

Jl Rawa Bebek RT 006 RW 010, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara

Tagihan Bengkak

Pada 26 Mei saya mengadukan tagihan bulanan pemakaian Kartu Halo yang tidak sesuai pemakaian, Rp 553.752.

Bagian call center setuju bahwa penggunaan paket internet saya hanya Rp 150.000 dan untuk telepon dan SMS Rp 50.000-an. Janjinya saya akan dikonfirmasi untuk revisi dalam waktu 3 x 24 jam.

Keesokan harinya saya telepon call center, mengecek apakah keluhan sudah ditangani. Ternyata, saya harus mengulang komplain saya, alasannya sistem Telkomsel sedang down. Saya diminta menunggu 1 x 24 jam.

Beberapa hari kemudian saya telepon kembali untuk konfirmasi. Lagi-lagi saya harus menunggu 1 x 24 jam.

Akhirnya pada 7 Juni datang SMS untuk membayar tagihan. Saya telepon lagi, ternyata keluhan saya belum dikerjakan,

Saya tak mau bayar kalau tagihan belum direvisi. Namun, petugas layanan mengatakan, "Dibayarkan saja dulu tagihannya, nanti kelebihan bayar bisa jadi deposit bulan berikutnya."

SAUL A DIAZ

Bukit Pamulang Indah, Tangerang Selatan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger