Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 Juni 2016

Masyarakat Adat dan Keindonesiaan (SULISTYOWATI IRIANTO)

NKRI bukan satu-satunya nation karena di Nusantara ini terdapat nation lain yang kecil, tua, dan berbasis kesukubangsaan. Nation kecil itulah masyarakat adat dengan kebudayaannya sendiri.

Mereka pemangku pengelolaan sumber daya alam dan penge- tahuan lokal tentang obat dan pangan yang jadi kebutuhan dasar kita bersama. Namun, justru sejak Indonesia merdeka terjadi pembiaran dan peminggiran terhadap masyarakat adat. Mereka mengalami ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, dan kehi- langan keragaman hayati. Jika ini dibiarkan, besar kemungkinan penguasaan sumber kekayaan alam oleh asing tinggal menunggu waktu (Kompas, 25/5). Masyarakat adat adalah Indonesia; kehancuran mereka dengan pengetahuan dan kekayaannya adalah kehilangan Indonesia.

Pola peminggiran

Meski masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke berbudaya beragam, terdapat kesamaan pola peminggiran terhadap mereka. Pertama, inkonsistensi hukum. Di satu sisi terdapat sejumlah instrumen hukum-termasuk konstitusi-yang mengakui keberadaan mereka, tetapi sejumlah kebijakan dan produk hukum lain menyangkal keberadaan mereka.

Kedua, ketiadaan identitas hukum sebagai penghayat. Kebudayaan masyarakat adat berkelindan dengan kepercayaan/agama asli, tetapi justru karena itulah mereka dipolitisasi sebagai "liyan". Agama mereka di KTP dikosongkan. Negara menolak mencatatkan perkawinan mereka dan tidak mengeluarkan surat kawin. Anak mereka tak memiliki akta lahir; kalaupun diurus untuk keperluan sekolah, statusnya ditulis "anak luar kawin". Di sekolah anak-anak dapat stigma sebagai anak aliran sesat, dikeluarkan dari kelas pelajaran agama, tak dapat penilaian obyektif.

Ketiga, kehilangan hak sipil. Bila ada yang jadi pegawai negeri: meskipun menikah, statusnya lajang karena ketiadaan surat kawin. Bila jadi saksi di pengadilan, biasanya dalam sengketa mempertahankan tanah ulayat, kesaksian warga adat bisa diabaikan hakim. Sebagai penghayat, tidak termasuk agama resmi negara, mereka tak bisa disumpah sebagai saksi dan mereka dianggap tak memiliki legalitas hukum. Tak mengherankan jika mereka banyak dikalahkan dalam sengketa tanah ulayat.

Keempat, kehilangan ruang hidup demi pembangunan. Tanah ulayat bersifat kepemilikan komunal dan tidak mengenal pewarisan individual. Tanah tidak boleh dipindahtangankan demi keberlangsungan hidup bersama, sungguhpun boleh dikelola untuk kesejahteraan warga. Batas-batas wilayah kepemilikan tanah komunal adalah batas-batas alam yang saling diakui dan dihormati sesama komunitas adat.

Karakter hukum adat itu tidak diakui negara karena atributnya berbeda dengan hukum negara (hukum Barat) yang legal formal. Akibatnya, atas nama pembangunan dan modernisasi, negara bisa mengubah tanah ulayat menjadi hutan lindung, hutan negara, hutan komersial, dan pertambangan. Warga adat yang ratusan tahun hidup di tanah leluhur mendadak berstatus sebagai perambah hutan karena ruang hidupnya berubah jadi kebun sawit atau wilayah komersial. Anak perempuan terpaksa menyingkir dari kampungnya menjadi buruh migran atau korban perdagangan perempuan.

Dalam negara hukum, memiliki identitas hukum adalah hak asasi. Tak memberi identitas hukum kepada warga negara atas dasar apa pun adalah pelanggaran hak asasi manusia. Validitas statistik kependudukan yang dibuat negara, dengan ini, dapat dipertanyakan karena sengaja menghilangkan catatan atas keberadaan mereka. Padahal, semua program dan kebijakan pemerintah didasarkan pada data statistik itu. Jumlah mereka tak kecil, setidaknya dari kategori kepercayaan saja, Kemdikbud mencatat ada 1.035 organisasi penghayat, tetapi ada banyak lagi yang tak berorganisasi.

Persinggungan masyarakat adat dan kaum penghayat dinyatakan pendiri bangsa kita, seperti Mr Soepomo. Masyarakat adat memiliki sifat magis religius, kebersamaan, tunai, dan konkret. Sifat magis religius mengacu pada keberadaan mereka yang erat dengan keyakinan tentang kesatuan diri dengan Sang Pencipta dan alam semesta yang adalah bagian dari kebudayaan. Mengapa generasi setelah kemerdekaan menegasikan kebudayaan masyarakat adat?

Perebutan ruang hidup

Konflik tanah ulayat berkelindan dengan konflik agraria yang begitu masif, dan berpotensi menjadi konflik laten di kemudian hari. Selama 2015 saja terdapat 252 konflik agraria meliputi 108.714 hektar dan melibatkan 400.430 keluarga. Konflik tertinggi-yaitu 127-ada di sektor perkebunan, kemudian pembangunan infrastruktur, kehutanan, pertambangan, pertanian, dan pesisir kelautan. Tidak banyak sengketa tanah ulayat yang dibawa ke pengadilan. Budaya menghindari sengketa, ketiadaan kekuasaan, dan stigma sebagai "liyan" menyebabkan banyak sengketa tak diselesaikan, malah dibiarkan menjadi konflik yang kronis.

Dari sedikit yang dibawa ke pengadilan, gambarannya adalah sengketa tanah ulayat Akur Urang di Cigugur, Kuningan, yang sebagian besar warganya penghayat Sunda Wiwitan. Mereka mempertahankan tanah ulayat dari korporasi yang mengincar kekayaan alam Gunung Ciremai, dan berbagai pihak yang hendak menghapuskan masyarakat adat.

Dalam persidangan terlihat isu sengketa tanah ulayat dipolitisasi menjadi isu "aliran sesat", yang dialamatkan kepada masyarakat adat. Organisasi massa intoleran didatangkan untuk menekan hakim. Masyarakat adat dikalahkan. Hakim lebih memperhatikan bukti secarik kertas dari mantan sekretaris desa dibandingkan dengan bukti tertulis dalam naskah kuno yang menyatakan tanah adat tidak bisa diwariskan/dipindahtangankan.

Rekomendasi

Banyaknya sengketa tanah yang mengalahkan bahkan mengkriminalkan warga adat berimplikasi pada hilangnya ruang hidup. Tanah ulayat adalah tempat hidup menurut filosofi, hukum, dan pengetahuan lokal warga adat. Meniadakan pengakuan terhadap teritori mereka sama dengan meniadakan mereka. Merampas teritori dan sumber daya alam mereka atas nama pembangunan dengan menggunakan hukum adalah ahistoris dan sangat tidak adil.

Para penegak hukum, terutama para hakim, di republik ini sangat penting memiliki pengetahuan hukum tentang sejarah bangsa yang berakar pada masyarakat adat. Menerapkan hukum secara tekstual dan prosedural tanpa memperhitungkan pengalaman dan realitas masyarakat sama dengan menjauhkan keadilan dari mereka. Para hakim memiliki kesempatan emas menciptakan hukum baru yang menjamin keadilan substantif melalui putusannya.

Para pengambil kebijakan hendaknya memiliki sifat kenegarawanan berhadapan dengan masyarakat adat. Telah terbukti, pembangunan bertujuan pertumbuhan ekonomi telah gagal menyejahterakan rakyat. Paradigma pembangunan yang melintasi wilayah adat seharusnya memanusiakan masyarakatnya. Perencanaan pembangunan harus didasarkan pada penelitian akademik berkualitas yang menangkap suara warga adat. Setiap tahap kegiatan harus diuji dampaknya dan selalu mengikutkan masyarakat. Demi ke-Indonesia-an kita.

SULISTYOWATI IRIANTO GURU BESAR ANTROPOLOGI HUKUM, FAKULTAS HUKUM UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Masyarakat Adat dan Keindonesiaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

  1. E. POTRET BANGSA KINI

    Rendahnya martabat bangsa karena telah kehilangan jatidiri. Pandangan hidup & kehidupan sehari hari telah dipengaruhi asing. Dapat dikiaskan sebagai Mr Ali Babah.
    Mr sebagai simbol pengaruh Barat, Ali sebagai tanda budaya Arab, Babah sebagai bukti kebanjiran produk Cina. Jadi kehidupan sehari hari diwarnai kebarat baratan, kearab araban & kebabah babahan. Hilang sudah kepribadiannya sendiri.
    Demokrasi menggusur Gotong royong. Seperti pilkada yang katanya langsung dipilih rakyat, faktanya suara rakyat dapat dibeli bahkan KPU/D bisa dibayar untuk merubah suara. Sedang gotong royong adalah kebersamaan dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara ikhlas tanpa pamrih & tanpa harapan dibayar, demi untuk kepentingan bersama. Jadi jelas nilai demokrasi yang terjadi di bumi Pratiwi sangat rendah dibandingkan dengan nilai luhur yang ada pada makna gotong royong.
    Ajaran Islam menggusur Budaya Daerah yang tersebar di Nusantara ini. Hal ini sudah dipaparkan diatas. Faktanya banyak pejabat tinggi dan anggota DPR/D yang beragama Islam, bahkan banyak yang bernama Arab, berbuat korupsi, menyalah gunakan wewenang dan menyengsarakan rakyat.
    Import hasil bumi, yang sebagian besar dari Cina, menggusur Lapangan kerja ratusan juta petani. Padahal kehidupan pertanian dengan segala ritual & cara bercocok tanam adalah bagian dari kekayaan budaya bangsa. Akibat dari kebijaksanaan pemerintah yang membuka lebar lebar keran import, yang nota bene menguntungkan pengusaha & birokrat, maka hasil bumi petani sendiri menjadi kalah bersaing & tidak laku. Masalahnya diera sekarang ini pemerintah kurang membantu petani dalam hal pengadaan prasarana (seperti jalan desa & irigasi), penyediaan sarana (seperti pupuk & alat pertanian) serta pemasaran (seperti angkutan & distribusi hasil tani). Sedang negara lain sangat membantu petaninya untuk ketiga hal tersebut diatas, sehingga produksinya melimpah, berkwalitas & murah.
    Sebagai pembanding, sejahat jahatnya penjajah Belanda, mereka datang ke Indonesia membawa uang Gulden untuk beli hasil bumi petani Indonesia, maka jadilah Indonesia waktu itu sebagai pengexport hasil bumi terbesar didunia. Kehidupan petani tercukupi, terbukti selama 350 th hampir tidak ada gejolak yang dilakukan oleh petani. Sekarang sebaik baiknya pemerintah RI, mereka mengumpulkan uang Rupiah bahkan pinjam dollar, untuk beli hasil bumi petani Negara lain, maka jadilah Indonesia sebagai pengimport hasil bumi terbesar didunia. Habis sudah riwayat petani Indonesia, maka berbondong bondonglah puluhan juta petani kekota untuk menjadi pekerja apa saja. Yang tidak kebagian kerjaan, menjadi preman, pengamen, pengemis, pencuri & perampok. Kaum perempuan terpaksa menjadi TKW yang di negeri Arab tak ubahnya sebagai budak pemuas sahwat. Jadilah kita bangsa antek Barat, cekokan Cina & budak Arab.
    Semua ini kurang disadari oleh para pemimpin bangsa, bahkan menjadi kebanggaan.
    Yang dibanggakan kerjasama untuk mengatasi issue issue internasional, faktanya Sumber Daya Alam dikuasakan ke Negara Barat.
    Yang dibanggakan TKW sebagai pahlawan devisa, faktanya sebagai budak Arab yang jelas jelas menginjak injak martabat bangsa.
    Yang dibanggakan telah mencapai ketahanan pangan, faktanya dibanjiri hasil bumi & produk Cina.
    Menyedihkan sekali, kebanggaan yang palsu tersebut diatas, yang notabene kebohongan kepada publik itu, dinilai sebagai keberhasilan pemerintah.

    BalasHapus

Powered By Blogger