Perkembangan terakhir ini gambaran dari kian memburukya krisis ekonomi negara di Amerika Selatan ini, ditandai kontraksi tajam ekonomi dan inflasi hingga 500 persen (tiga digit). Kelangkaan bahan kebutuhan pokok memicu lonjakan harga, antrean panjang warga, maraknya penjarahan, kerusuhan, dan aksi main hakim sendiri. Kelangkaan energi juga terjadi di negara anggota OPEC ini, salah satu pemilik cadangan minyak terbesar dunia.
Di tengah situasi kian tak terkendali, Presiden Nicolas Maduro, pertengahan Mei lalu, mengumumkan dekrit yang menyatakan negara dalam situasi darurat. Sweeping dilakukan terhadap pabrik yang menolak beroperasi, dan pemiliknya ditangkap. Maduro juga menuding kekuatan asing berada di balik destabilitas yang terjadi di Venezuela.
Krisis Venezuela dipicu anjloknya harga minyak sejak 2014 yang membuat kolapsnya ekonomi. Minyak menyumbang 95 persen penerimaan ekspor. Ketergantungan besar pada pangan impor juga kian menyulitkan posisi Venezuela di tengah cadangan devisa dan valas ketat.
Banyak pengamat juga mengaitkan krisis sekarang dengan langkah Presiden Chavez (berkuasa 1999-2013) yang menerapkan kebijakan pengendalian harga sejumlah bahan kebutuhan pokok pada 2003 untuk menjamin harga bahan kebutuhan pokok penting, seperti gula, kopi, susu, beras, tepung, dan minyak jagung, terjangkau oleh rakyat miskin.
Kebijakan ini dikeluhkan para produsen karena membuat mereka merugi. Sebagian mereka menolak memasok ke toko-toko yang dikelola pemerintah yang menjual barang yang harganya dikendalikan pemerintah. Sebagian lain memilih berhenti produksi. Akibatnya, negara itu kian tergantung pangan impor. Tercipta pasar gelap untuk semua komoditas, barang disubsidi banyak diselundupkan keluar.
Memburuknya ekonomi yang menyebabkan banyak penerbangan kosong menjadi salah satu alasan maskapai internasional mengurangi atau menghentikan penerbangan. Di tambah lagi kebijakan kontrol devisa yang diterapkan Venezuela sejak era Chavez 2003 dan diperketat dua tahun terakhir membuat maskapai asing kesulitan merepatriasi dan mengonversi pendapatan dari tiket ke dollar AS.
Sebelum Lufthansa dan LATAM memutuskan menghentikan sementara penerbangan, Delta Air dan American Airlines mengurangi frekuensi penerbangan ke negara itu. Langkah ini kemungkinan diikuti maskapai internasional lain, dan membuat ekonomi Venezuela kian terpuruk. IMF memprediksi PDB Venezuela mengalami kontraksi hingga 8 persen tahun ini, menyusul kontraksi 5,7 persen pada 2015.
Dengan terus memburuknya ekonomi, desakan mundur terhadap Maduro kian kencang. Petisi dilancarkan oposisi yang mengklaim berhasil mengumpulkan 1,85 juta tanda tangan untuk mendesak referendum guna memaksa Maduro mundur dari kursi kekuasaan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Babak Baru Krisis Venezuela".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar