Satuan Polisi Pamong Praja Serang.
Saeni, penjual warung makan di Serang, Banten, menuai simpati begitu video yang direkam Kompas TV menjadi viral di media sosial. Dalam tayangan video itu tergambar, Saeni menangis ketika Satpol PP Serang menyita makanan di warungnya. Dia memang berjualan di bulan Ramadhan. Memang ada surat edaran dari Pemerintah Kota Serang mengenai kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadhan.
Voluntarisme netizen menjadi semacam koreksi atas perilaku represif yang dilakukan Satpol PP Kota Serang. Solidaritas netizen sebenarnya sudah menjadi sanksi sosial bagi Satpol PP Kota Serang dan Pemerintah Kota Serang, dan termasuk Gubernur Banten, sebelum aparat pemerintah melakukan koreksi.
Menyita makanan tentunya merugikan pedagang. Langkah itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Itu adalah bentuk arogansi kekuasaan lokal. Penggalangan dana melalui media sosial itu berhasil mengumpulkan dana Rp 265 juta dengan 2.427 donatur. Satu jumlah yang besar untuk pengumpulan dalam tempo singkat.
Kasus di Serang itu telah memancing reaksi. Wali Kota Serang Haerul Jaman menilai Satpol PP melakukan kesalahan prosedur ketika mengangkut barang dagangan milik Saeni. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut setiap kebijakan hendaknya diambil dengan tetap mengedepankan prinsip saling menghormati. Prinsip saling menghormati memang harus dipegang. Melalui pemberitaan media, kita belum mendengar langkah yang diambil Gubernur Banten.
Kisah Saeni mungkin saja terjadi di daerah lain. Kehadiran pemerintah pusat itu penting, bahkan amat penting, untuk menyampaikan sinyal kepada daerah lain agar masalah itu tidak menular. Pemerintah pusat harus berani mengoreksi secara terbuka jika ada tindakan dari pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan konstitusi dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Langkah utusan Presiden Joko Wdodo menyumbang Rp 10 juta adalah hal positif, tetapi kehadiran negara dituntut lebih dari itu. Negara harus hadir mengatasi perilaku represif dan cenderung arogan yang dilakukan pemerintah kota.
Dalam tata urutan perundang-undangan, ada hierarki perundang-undangan yang bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 seharusnya menjadi penjuru dari semua pembuatan produk hukum di daerah. Penyimpangan terhadap konstitusi di semua tingkat pusat maupun daerah harus bisa dikoreksi agar Indonesia menjadi negara yang menghormati konstitusinya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Pelajaran dari Saeni".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar