Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Juli 2016

Asas Proporsionalitas UU Pengampunan Pajak (ADRIANTO DWI NUGROHO)

Langkah pemerintah untuk menerapkan amnesti pajak akhirnya disetujui parlemen. Undang-Undang Pengampunan Pajak 2016 menjadi senjata terbaru menteri keuangan untuk memenuhi target penerimaan pajak, meningkatkan investasi, dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan.

Target penerimaan negara Rp 165 triliun ditetapkan untuk dicapai dalam kurun sembilan bulan masa berlaku amnesti pajak.

Tak proporsional

Tanpa mengurangi apresiasi terhadap pengundangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (UUPP), ada dua ketentuan dalam UU tersebut yang tidak proporsional. Pertama, UUPP memperluas subyek amnesti pajak hingga mencakup wajib pajak yang memiliki harta di dalam negeri dan wajib pajak yang memiliki harta di luar negeri tetapi tidak merepatriasikan hartanya dalam rangka amnesti pajak. Ketentuan ini tidak sesuai dengan tujuan peningkatan investasi karena justifikasi terhadap amnesti pajak justru terletak pada adanya dana yang direpatriasikan ke dalam negeri dalam rangka memperluas basis pemungutan pajak.

Upaya menutup kekurangan (shortfall) penerimaan pajak dari uang tebusan dengan cara memperluas subyek amnesti pajak merupakan kebijakan yang tidak proporsional karena shortfallpenerimaan pajak merupakan permasalahan laten yang memerlukan solusi jangka panjang, dan bukan amnesti pajak.

Perluasan subyek amnesti pajak juga tidak sesuai dengan tujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan.

Amnesti pajak terjustifikasi karena keberhasilan upaya penegakan hukum terhadap wajib pajak yang memiliki harta di luar negeri (offshore) ditentukan oleh efektivitas tax collection assistancesebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara mitra. Amnesti pajak juga terjustifikasi karena kerangka kerja sama pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information /AEOI) baru akan diimplementasikan pada 2018.

Sebaliknya, upaya penegakan hukum yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak (DJP) terhadap wajib pajak yang memiliki harta di dalam negeri tidak memerlukan bantuan atau persetujuan pihak lain, termasuk badan peradilan. Prima facie, perluasan subyek amnesti pajak merupakan bentuk relaksasi penegakan hukum terhadap wajib pajak yang memiliki harta di dalam negeri sehingga ada kesetaraan perlakuan dengan wajib pajak yang memiliki harta di luar negeri.

Meski demikian, wajib pajak yang memiliki harta di dalam dan di luar negeri merupakan dua subyek pajak yang memerlukan pendekatan penegakan hukum yang berbeda, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Oleh karena itu, perlakuan yang identik terhadap keduanya justru mendekatkan pada ketidaksetaraan. Perlu diingat pula bahwa pada 2015 pemerintah telah menerapkan kebijakan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sesuai ketentuan yang terdapat pada Pasal 36 UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP). Artinya, tidak ada urgensi untuk memperluas subyek amnesti pajak dalam UUPP.

Prinsip keadilan

Kedua, sebagai bentuk sanksi terhadap wajib pajak yang tidak memanfaatkan amnesti pajak untuk melaporkan hartanya dengan benar, UUPP akan mengualifikasikan ulang harta yang tidak dilaporkan wajib pajak berdasarkan temuan DJP sebagai penghasilan kena pajak yang akan dikenai tarif normal pajak penghasilan (PPh).

Ketentuan ini tidak sesuai dengan tujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan karena UUPPh menganut fruit and tree concept, yaitu konsep simbolis yang memisahkan harta, yang diumpakan sebagai tree, dan penghasilan, yang diumpamakan sebagaifruit (IBFD: 2005). Pengenaan tarif PPh terhadap nilai harta akan menimbulkan pajak yang eksesif.

Selain itu, legislasi pajak di Indonesia juga hanya mengatur tentang pemungutan pajak atas penghasilan yang diperoleh subyek pajak, dan bukan atas harta yang diakumulasikan olehnya. Harta dan utang yang dilaporkan pada SPT Tahunan PPh hanya bertujuan untuk memberikan informasi kepada fiskus tentang kewajaran akumulasi harta dan utang dengan perolehan penghasilan yang menjadi obyek atau non-obyek PPh, dan bukan sebagai dasar pengenaan pajak.

Sementara itu, ketentuan ini juga tidak proporsional karena secara konseptual pajak tak dapat dikenakan sebagai bentuk sanksi akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (IBFD: 2005). Sebaliknya, pajak dipungut karena seseorang atau badan memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dalam konteks pemungutan PPh, seorang subyek pajak memiliki utang PPh karena memperoleh penghasilan yang jadi obyek PPh, dan bukan karena melanggar UUPPh.

Akhirnya, asas proporsionalitas dalam UUPP hanya dapat diwujudkan apabila ketentuan-ketentuan pemberian amnesti pajak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pengundangan UUPP. Ketepatan dalam mengidentifikasi subyek amnesti pajak dapat mendekatkan UUPP pada tujuan peningkatan investasi melalui repatriasi dana offshore, dan secara simultan mengurangi dampak ketidakadilan amnesti pajak terhadap wajib pajak patuh. Meski demikian, pengenaan pajak yang eksesif sebagai bentuk sanksi terhadap penerima amnesti pajak yang melanggar ketentuan pemberian amnesti juga tidak dapat dibenarkan secara konseptual.

ADRIANTO DWI NUGROHO, DOSEN ILMU HUKUM PAJAK FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Asas Proporsionalitas UU Pengampunan Pajak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger