Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 Juli 2016

Ekologi-Politik Natuna (ARIF SATRIA)

Ada dua peristiwa penting dalam satu bulan terakhir ini.

Pertama, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Natuna yang kini menjadi tonggak percepatan pembangunan Natuna. Kunjungan ini memiliki makna penting pada saat mencuatnya potensi konflik dengan Tiongkok akibat tertangkapnya kapal ikan asing ilegal asal Tiongkok, tetapi mereka mengklaim beroperasi di wilayah perairan yang masuk dalam "Sembilan Garis Putus" (Nine Dash Line) di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Dalam Sembilan Garis Putus tersebut ternyata ada bagian yang tumpang tindih dengan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Kedua, keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) yang memenangkan Filipina dalam sengketa dengan Tiongkok ternyata juga mencakup keputusan bahwa Sembilan Garis Putus yang selama ini diklaim Tiongkok di LTS tak diakui. Tentu ini momentum bagi posisi Indonesia di LTS. Dari dua peristiwa itu, agenda apa yang mesti kita lakukan?

Agenda kedaulatan

Dimensi kedaulatan sangat penting dalam pembangunan pulau terdepan seperti Natuna, lebih-lebih di wilayah yang menyimpan potensi konflik dan masalah, antaralain perikanan ilegal. Hingga Januari-Juni 2016, terdapat 57 kasus penangkapan ikan secara ilegal di LTS, yang dilakukan nelayan Vietnam (49), Tiongkok (3), Malaysia (4), dan Thailand (1). Data ini menunjukkan jumlah kapal ikan asing asal Tiongkok yang tertangkap di LTS relatif sedikit, tetapi bobot politisnya sangat besar. Hal ini karena Tiongkok menegaskan klaim atas Sembilan Garis Putus yang tumpang tindih dengan ZEEI kita sehingga seolah yang mereka lakukan bersifat legal.

Persoalan ini harus segera diselesaikan dan pemerintah harus tegas menunjukkan posisinya terkait garis batas wilayah ini. Ketegasan dapat ditunjukkan dengan menyatakan dukungan terhadap keputusan PCA karena jelas-jelas keputusan itu menguntungkan kita. Mengambangkan masalah batas wilayah di LTS ini sama saja dengan menunda masalahyang berpotensi muncul kembali di kemudian hari.

Tiongkok memang negara besar dan hubungan kerja sama ekonomi RI-Tiongkok pun sedang baik, tetapi mestinya kita tak ragu ketika yang kita perjuangkan adalah penegakan kedaulatan. Penguatan diplomasi maritim ini komponen penting dalam pilar poros maritim dunia. Karena itu, pemerintah perlu membuktikan dalam kasus LTS ini. Penguatan diplomasi harus diikuti penguatan sistem pengawasan laut di LTS, baik personel, sarana dan prasarana, teknologi, maupun manajemen.

Percepatan pembangunan

Dalam percepatan pembangunan Natuna, dimensi ekonomi yang berdampak langsung pada kedaulatan adalah modernisasi perikanan. Dengan makin ramainya armada perikanan nasional di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 di LTS, secara otomatis laut akan terjaga. Tugas aparat makin ringan ketika nelayan dijadikan mitra dalam menjaga kedaulatan.

Potensi sumber daya ikan (SDI) di LTS sekitar1,14 juta ton atau sekitar 10 persen total potensi SDI nasional. Namun, status pemanfaatan sebagian sudah lampu kuning dan lampu merah. Cumi-cumi dan pelagis kecil sudah mengalami tangkap lebih, sementara ikan karangsudah 80 persen tingkat pemanfaatannya. Hanya pelagis besar yang potensinya masih besar.Persoalannya adalah dari potensi itu, nelayan Natuna yang berjumlah 3.843 orang hanya bisa memanfaatkan 4,2 persen dari potensi lestari. Artinya, selama ini SDI di sekitar Natuna dimanfaatkan nelayan luar Natuna dan nelayan asing. Karena itu, agenda pentingnya bagaimana nelayan lokal bisa meningkatkan benefit daripemanfaatan SDI Natuna.

Namun, percepatan modernisasi perikanan bukan hanya fokus pada peningkatan armada penangkapan, melainkan juga aspek hilir dan pemerintah sudah memulai gerakan percepatan sentra perikanan terpadu ini.Tentu di dalamnya diperkuat pula sistem logistik ikan nasional sehingga kualitas, harga, dan akses pasar bisa terjaga dan nelayan dalam posisi yang diuntungkan.

Demikian pula potensi budidaya perikanan yang bernilai ekonomi tinggi seperti ikan kerapu dan ikan napoleon juga sangat besar. Saat ini, di Kabupaten Natuna ada 2.132 karamba ikan dengan jumlah pembudidaya 1.040 orang. Belum lagi kalau ditambah budidaya ikan di Kabupaten Anambas. Masalahnya, ikan napoleon tergolong dilindungi dan saat ini masuk dalam Apendiks II di CITES, yang berarti pemanfaatan dan perdagangan makin dibatasi sistem kuota.

Kuota ekspor ikan napoleon hanya 2.000 ekor, padahal kini jumlah ikan napoleon di karamba milik pembudidaya di Natuna dan Anambas bisa mencapai 300.000 ekor. Dengan syarat ikan napoleonsudah bisa dibudidayakan, benih ditangkap dengan teknik ramah lingkungan, ada pembatasan ukuran yang boleh diperdagangkan, serta kondisi sumber daya memadai, maka isu ini bisa dibawa ke CITES untuk dibicarakan kembali. Hingga saat ini, budidaya inilah yang bisa menghidupi masyarakat Natuna dan Anambas. Tentu prinsip keseimbangan kelestarian dan kesejahteraan harus kita jaga. Karena itu, otoritas regulasi ikan napoleon yang kini masih ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mestinya bisa dialihkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan sehingga penanganan bisa lebih memperhatikan prinsip keseimbangan.

Percepatan pembangunan ini perlu dilakukan secara total football dengan dukungan penuh seluruh sektor. Cetak biru percepatan harus disusun secara komprehensif dengan peta jalan yang jelas, terukur, dan inklusif. Ini berarti, masyarakat harus terlibat dalam proses ini sehingga mereka tak teralienasi dari hasil percepatan pembangunan. Relasi antaraktor (pemerintah, masyarakat, swasta, BUMN) harus seimbang. Di sini isu Natuna bukanlah isu teknis, melainkan isu ekologi-politik, di mana kontestasi perebutan kontrol atas sumber daya laut ternyata terjadi antarnegara, dan pada saat yang sama masyarakat lokal harus diperjuangkan agar bisa menikmati hasil pembangunan secara adil.

Penegakan kedaulatan di LTS harus diiringi percepatan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di Kepulauan Natuna dan Anambas. Kedaulatan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang. Begitu pula kesejahteraan dan kelestarian lingkungan.

ARIF SATRIA, DEKAN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Ekologi-Politik Natuna".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger