Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 Juli 2016

Islam di Garis Batas (KOMARUDDIN HIDAYAT)

Percobaan kudeta di Turki pada Jumat (15/7) malam sungguh mengagetkan.

Kudeta ini mengingatkan kita pada kudeta militer yang terjadi pada 1960, 1971, 1980, dan 1997, yang terhitung berhasil. Hanya saja, yang jadi alasan sangat berbeda. Kudeta sebelumnya kekuatan militer sekuler berhadapan dengan kekuatan sipil, sekarang—berita yang beredar—yang berseteru sama-sama kekuatan islamis. Namun, keterlibatan pihak ketiga mungkin saja ada.

Secara geografis ataupun kultural, Turki merupakan garis batas, atau titik temu, antara Timur Tengah dan Eropa. Warga Turki, sekitar 80 juta, 95 persen adalah Muslim Sunni, meskipun negaranya sekuler. Islam di Turki memiliki sejarah panjang dan sangat kaya. Pernah menjadi pusat kekuatan politik dan militer yang disegani dunia selama enam abad di bawah Kesultanan Usmani (Ottoman Empire), yang berakhir pada Perang Dunia II ketika Ottoman bersama Jerman dikalahkan tentara Sekutu. Eksistensi Turki sebagai bangsa diselamatkan oleh Mustofa Kemal Ataturk dan pasukannya kemudian mendirikan sebuah negara baru bernama Republik Turki (1923).

Prinsip republikanisme dan sekularisme yang diperjuangkan Ataturk merupakan antitesis terhadap ideologi dinasti Islamisme Ottomanisme. Ideologi Turkisme ditampilkan sebagai antitesis terhadap Pan-Ottomanisme. Menurut Ataturk, hanya dengan mengobarkan ideologi nasionalisme, maka Turki bisa bertahan melawan gempuran Sekutu dan rongrongan bangsa-bangsa Arab yang diprovokasi oleh Inggris dan Perancis dengan janji mereka akan memiliki negara sendiri jika melepaskan diri dari Ottoman.

Sejak awal berdirinya Republik Turki, militer menempatkan diri sebagai pendiri dan pengawal paham sekularisme, juga merasa warga negara kelas satu. Jika Republik Indonesia diperjuangkan oleh rakyat, Turki dilahirkan oleh jajaran elite militer di bawah komando Mustofa Kemal Ataturk, sehingga muncul istilahrevolution from above dan democracy under the bayonet. Mustofa Kemal pun diberi gelar Ataturk— Bapak Bangsa Turki—oleh Majlis Agung Turki pada 1934.

Islam pinggiran

Terdapat cara pandang terhadap Islam dengan kategori pusat dan pinggiran, di mana dunia Arab, khususnya Arab Saudi, sebagai pusatnya (the heartland of Islam). Masyarakat Islam Turki dan Indonesia diposisikan pinggiran, baik secara geografis maupun budaya, sehingga dua masyarakat ini masuk kategori the least Arabized Muslim countries, masyarakat Muslim, tetapi pengaruh Arabnya tak kental. Masyarakat Turki dan Indonesia memiliki bahasa dan budaya nasional tersendiri, sangat berbeda dari Arab.

Pertanyaan yang muncul, adakah Islam pinggiran semacam Turki dan Indonesia berarti juga kualitas dan kuantitas keislamannya juga pinggiran dan supervisial? Ternyata tidak selalu demikian. Bandingkan saja dengan Yahudi dan Nasrani yang keduanya lahir di Timur Tengah. Sekarang kedua agama ini selalu diposisikan sebagai agama Barat. Budaya dan peradaban Yahudi dan Nasrani dengan segala capaian politik, ekonomi, dan sains selalu dipersepsikan sebagai prestasi dan budaya Barat. Jerusalem merupakan bukti dan jejak sejarah Yahudi dan Nasrani, tetapi bukan pusat peradaban. Yang mengemuka justru wilayah konflik dan perang yang sulit diprediksi kapan akan berakhir.

Kondisi serupa mirip Islam, meski kondisinya jauh lebih baik. Posisi Mekkah-Madinah bukti dan saksi otentik jejak sejarah Islam. Akan tetapi, situasi Timur Tengah saat ini justru tengah diwarnai kegaduhan politik dan peperangan sehingga menghancurkan warisan peradaban masa lalu, alih-alih membangun yang baru. Jadi, kategori pusat-pinggiran dalam memandang Islam tak lagi tepat.

Sekarang ini, muncul pusat-pusat studi Islam di luar wilayah Arab yang memiliki keunikan dan keunggulan yang tidak ditemukan di Timur Tengah. Banyak intelektual Muslim Arab yang memilih berkarier di luar negara asalnya. Islam yang berkembang di Turki, Iran, dan Indonesia memiliki distingsi dan diferensiasi yang sarat dengan inovasi budaya non-Arab dan semua ini telah memperkaya lanskap kebudayaan Islam.

Eksperimentasi Turki

Menurut beberapa pengamat, Islam di Turki dan Indonesia memiliki kemiripan. Keduanya bukan Arab, melainkan sekaligus juga telah meratakan jalan bagi sebuah eksperimentasi historis bagaimana Islam masuk dan berinteraksi secara intens dengan ide dan praktik demokrasi, modernisasi, dan pluralisme, suatu hal yang sulit dilakukan oleh masyarakat Arab. Kemal Ataturk sendiri dinilai sebagai pelaksana dari gagasan Zia Gokalp (1878-1924), pengagum Emile Durkheim, dengan gagasannya untuk menyatukan nasionalisme, islamisme, dan modernisme bagi masa depan Turki. Bagi Gokalp, Islam merupakan identitas dan kekuatan kohesi sosial masyarakat Turki, tetapi pemerintahannya mesti dimodernisasi dengan model Barat.

Mesti dipisahkan antara urusan agama dan negara. Maka, Kemal Ataturk pun melakukan revolusi kebudayaan, salah satu elemennya adalah de-Arabisasi. Berbagai simbol Arab digusur, tetapi Islam sebagai agama tetap dipertahankan. Orang-orang Turki di Eropa memiliki formula, I am Turk, therefore I am a Muslim. Oleh karena itu, orang-orang Turki tetap setia dengan identitas keislamannya meskipun tak mesti taat menjalankan ritual agama.

Di wilayah Turki yang sistem pemerintahannya sekuler itu, tidak ditemukan bangunan gereja baru, sementara masjid bermunculan. Suasana kampus di Turki pun tak ubahnya kampus di Barat, pergaulan muda-mudi terlihat begitu bebas, tetapi begitu kembali ke lingkungan keluarganya mereka menjadi konservatif. Sekalipun pemerintah, terutama militer, tetap setia menjaga paham sekularisme, orang Turki sangat sadar bahwa kejayaan Islam semasa Ottoman menjadi kebanggaan dan sumber inspirasi serta motivasi mereka untuk bangkit kembali membangun kebesaran bangsa Turki di masa depan. Jadi, semangat islamisme dan pemerintahan sekularisme adalah dua hal yang eksis dan tumbuh bersamaan.

Baik Fethullah Gulen maupun Erdogan datang dari keluarga dan pendidikan santri par excellence. Namun jika Erdogan tergoda untuk membawa dan mengubah politik Turki ke pendulum islamis, pasti akan memancing reaksi, terutama dari sayap militer. Bagi blok Barat, Turki berada di garis batas untuk membendung ekspansi blok Timur. Posisi Turki sangat dibutuhkan Barat. Namun karena dihambat bergabung ke Uni Eropa, Turki lalu mendekati blok Rusia dan sekutunya.

Negara-negara Asia Tengah mayoritas berbahasa Turki dan mitra bisnis bagi Turki. Suatu kekuatan politik dan ekonomi yang jadi perebutan pengaruh Turki, Iran, dan Rusia. Oleh karena itu, Uni Eropa terbelah sikapnya, apakah menerima atau menolak keanggotaan Turki. Kelihatannya Erdogan memiliki insting politik tajam, ingin memainkan posisi strategisnya di antara kekuatan Barat, Timur, dan Arab. Ketiganya memerlukan Turki sebagai sahabat baik mereka; bahkan mitra strategis dari sisi militer, bisnis, dan tenaga kerja.

Kudeta kilat

Hanya dalam waktu lima jam kudeta bisa dijinakkan, yang dilanjutkan dengan penangkapan ribuan tokoh yang dituduh terlibat, terdiri atas sedikitnya 50.000 orang yang dianggap lawan politiknya, termasuk tentara, 100 polisi, 755 hakim, gubernur, bupati, dan jajaran fungsionaris universitas; mulai dari rektor, dekan, dan dosen. Mereka dianggap pengkhianat negara dan kelompok teroris. Fethullah Gulen (75), yang sejak 1999 tinggal di Pennsylvania, AS, dituduh sebagai dalangnya.

Padahal, kalau saja keduanya bersinergi, sesungguhnya Erdogan-Gulen pasangan ideal bagi kemajuan dan eksperimentasi Islam Turki pada era global ini. Erdogan memegang kendali politik dalam negeri, lalu Gulen berkiprah melakukan diplomasi dan kontribusi kultural-intelektual pada panggung dunia. Tidak kurang dari 3.000 sekolah dan pusat kebudayaan Turki tersebar di sejumlah negara, di bawah kepemimpinan Gulen.

Dengan kekayaan sejarah dan posisinya di garis batas, diharapkan Turki mampu memberikan salah satu model keislaman yang kontributif kepada masyarakat Barat dengan tetap setia pada identitas keislamannya. Namun, terjadinya kudeta dan mengerasnya perseteruan antara Erdogan dan Gulen, yang bisa mengguncang stabilitas dan progresivitas Turki, jangan-jangan Turki akan mundur kembali terbawa demam politik Arab yang lelah dengan konflik serta menguras ongkos sosial, politik, dan ekonomi yang teramat mahal. Dalam situasi demikian, apa yang hendak diperankan Indonesia?

KOMARUDDIN HIDAYAT, GURU BESAR FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Islam di Garis Batas".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger