Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 Juli 2016

Mengakhiri Hukuman Mati (KEN MATAHARI)

Mayoritas masyarakat Indonesia masih melihat hukuman mati sebagai solusi terhadap tingkat kriminalitas dan masalah-masalah sosial yang sulit untuk dibereskan.

Benarkah hukuman mati jawaban yang tepat untuk menegakkan keadilan? Pemerintah Indonesia sendiri dua hari lalu sudah mengumumkan eksekusi terhadap 14 terpidana mati kasus narkoba akan dilakukan dalam waktu 72 jam.

Tidak bisa dimungkiri, posisi Indonesia dalam hal hukuman mati bisa membawa dampak yang negatif dalam diplomasi Indonesia dengan dunia internasional. Tahun lalu, sentimen masyarakat di beberapa negara, seperti Australia dan Perancis, terhadap Indonesia menjadi cukup negatif. Dampak negatif ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Reputasi internasional sebuah negara menjadi salah satu komponen kekuatan diplomasi negara itu. Hal ini bisa memengaruhi berbagai hal, mulai dari perdagangan dan investasi, hingga perlakuan terhadap WNI di negara lain. Posisi negara kita yang masih menggunakan hukuman mati tentunya mencoreng legitimasi moral Indonesia untuk mendesak negara lain menghapuskan hukuman mati. Ini menjadi dilema untuk negara kita yang ingin melindungi WNI dari hukuman mati di luar negeri. Pada Mei 2015, diperkirakan ada 208 WNI terancam hukuman mati.

Kita melihat, betapa panjang dan kompleksnya proses hukum yang harus dilewati ketika seseorang divonis hukuman mati. Bahkan dengan proses yang panjang dan kompleks tersebut, ada orang-orang tidak bersalah yang dieksekusi. Tak sedikit dari mereka yang telah divonis hukuman mati dan dipenjara selama bertahun-tahun sambil menunggu eksekusi. Beberapa puluh tahun kemudian, orang-orang ini akhirnya terbukti tak bersalah. Salah satu kasus adalah kasus Henry McCollum dan Leon Brown di North Carolina, AS. Mereka kakak-beradik berumur 19 tahun dan 15 tahun yang pada 1983 divonis hukuman mati atas tuduhan membunuh dan memerkosa seorang gadis berumur 11 tahun.

Kakak-beradik ini memiliki difabel mental dan mereka bersikeras tak bersalah. Mereka mengaku menandatangani surat pengakuan karena paksaan. Pada 2010, bukti DNA yang ditemukan tim investigator menunjukkan pelakunya orang lain. Kakak-beradik ini akhirnya dibebaskan pada 2014 setelah dipenjara selama lebih dari 30 tahun sambil menunggu eksekusi mereka. Kedua orang ini telah kehilangan berpuluh-puluh tahun hidupnya walaupun mereka tidak bersalah. Bayangkan apabila mereka sudah dieksekusi mati!

Efektivitas hukuman mati

Sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2014 dalam The Proceedings of the National Academy of Sciencememperkirakan, hampir 4 persen kasus hukuman mati di AS melibatkan orang-orang yang akhirnya terbukti tak bersalah. Itu artinya, dari setiap 100 orang yang dihukum mati, empat di antaranya orang-orang tidak bersalah seperti kita yang mati sia-sia.

Beberapa dari kita mungkin berpikir 4 persen bukan angka tinggi. Tetapi pikirkan, bagaimana kalau 4 persen itu adalah kita atau orang-orang di keluarga kita yang secara tak sengaja terjerat hukuman mati hanya karena kebetulan mereka berada di tempat dan waktu yang salah? Jika di negara maju seperti AS saja ada empat nyawa yang melayang secara sia-sia dalam 100 kasus eksekusi, berapa nyawa yang terenggut sia-sia dalam kasus-kasus hukuman mati di Indonesia?

Tak ada sistem hukum yang sempurna dan bebas dari kesalahan. Kematian bersifat mutlak, final dan tak dapat diubah. Apakah negara kita sudah layak menggunakan hukuman mati dengan segala keterbatasan yang ada?

Bagaimana dengan penjahat kelas berat seperti pembunuh? Banyak dari kita berpendapat, hukuman mati dibutuhkan untuk mengganjar dan mencegah kejahatan kelas berat seperti pembunuhan. Hukuman mati dianggap bisa memberi efek jera terhadap para penjahat kelas berat. Permasalahan yang muncul di sini, tak ada bukti empiris yang menunjukkan hukuman mati bisa memberi efek jera dan menurunkan tingkat kriminalitas secara lebih efektif dibandingkan bentuk hukuman lain (misalkan hukuman seumur hidup).

Bahkan di Singapura—negara yang dulu sering dijadikan contoh bagaimana hukuman mati diberlakukan secara efektif untuk menurunkan tingkat kriminalitas— penelitian telah membuktikan, klaim tersebut patut dipertanyakan. Penelitian oleh tim dari Universitas Hawaii tahun 2010 membandingkan tingkat kasus pembunuhan di Singapura dan Hongkong, dua negara yang sangat mirip dalam banyak hal. Temuannya, kedua negara cenderung memiliki tingkat pembunuhan yang sangat mirip meski Hongkong sudah menghapuskan hukuman mati sejak 1983. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati tidak lebih efektif dibandingkan hukuman lain dalam mengatasi masalah kejahatan.

Polemik eksekusi mati

Indonesia adalah salah satu negara yang masih memberlakukan hukuman mati dalam tiga kategori: pembunuhan berencana, terorisme, dan pengedaran obat-obatanterlarang. Penggunaan hukuman mati, terutama dalam perang melawan narkoba, merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional. Hal ini karena Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik di mana di dalamnya telah dinyatakan bahwa hukuman mati hanya bisa diberlakukan untuk kasus "kejahatan paling serius". Pengedaran narkoba adalah masalah yang serius yang patut untuk diperangi. Namun, berdasarkan hukum internasional, kejahatan ini tidak dikategorikan dalam definisi "kejahatan paling serius".

Pakar hukum internasional mendefinisikan "kejahatan paling serius" sebagai kejahatan di mana ada maksud sengaja untuk menyebabkan kematian secara langsung dari tindakan kejahatan itu. Motivasi utama pengedar narkoba adalah mendapatkan keuntungan finansial dengan mudah. Dalam kasus narkoba, pengguna juga mempunyai peran dan pilihan untuk tak mengonsumsi narkoba. Dengan demikian, kejahatan narkoba tak masuk dalam kategori kejahatan "paling serius".

Presiden Joko Widodo telah bertekad memerangi krisis narkoba di Indonesia dan menolak memberi pengampunan pada narapidana narkoba. Tahun lalu, polemik hukuman mati di Indonesia mencapai titik puncak ketika dua warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dieksekusi setelah keduanya dinyatakan bersalah atas penyelundupan narkoba pada 2005. Meski kasus ini menyebabkan adanya tekanan-tekanan internasional, Presiden Jokowi tidak tergerak.

Kompleksnya masalah kriminal di Indonesia, seperti pengedaran narkoba, perlu penanganan khusus dari berbagai pihak. Penegakan hukum harus dibenahi, sistem keamanan bandara dan perbatasan harus diperkuat, rehabilitasi terhadap korban kecanduan narkoba harus diprioritaskan, kasus korupsi dalam institusi dan penegak hukum harus diberantas, dan pendidikan anti narkoba harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.

Hukuman mati jelas bukan jawaban yang tepat. Kini, sudah ada 140 negara yang berhenti menggunakan hukuman mati. Sudah saatnya Indonesia menghapuskan hukuman mati.

KEN MATAHARI, STAF AMNESTY INTERNATIONAL DI SYDNEY

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengakhiri Hukuman Mati".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger